“POLITIK
HUKUM PIDANA: Rekonstruksi Hukuman Paten Bagi Koruptor”
(Suatu
Kritik Sosial)
Oleh
Yosep
Copertino Apaut, SH.,MH
Ketua
DPC POSPERA Kab.TTU
Beberapa kesempatan yang lalu di opini
Timex ini, saya perna menulis tentang BUDAYA
KORUPSI: Kristalisasi Hedonisme Modern yang pada intinya berbicara tentang
konsep korupsi, bentuk dan ciri- ciri umumnya serta semua pola yang mengarah
pada ungkapan minor korupsi sebagai budaya yang mungkin merupakan bentuk
kristalisasi hedonisme modern. Pada kesempatan ini, saya masi tertarik membahas
tentang korupsi namun lebih kepada bagaimana menghasilkan hukuman yang paling
tepat bagi pelaku tindak pidana korupsi sebagai aksi dari politik hukum untuk
menjawab tantangan penanganan tindak pidana korupsi yang seakan menjadi fenomena
dan mungkin juga menjadi trend kekinian. Langkah ini menjadi sangat penting
mengingat kasus korupsi tumbuh subur di negeri ini,
KONSEP POLITIK HUKUM
PIDANA
Pada prinsipnya politik hukum pidana
merupakan bagian terkecil dari prinsip dasar politik hukum itu sendiri yang
bermuara pada tujuan pencapaian keadilan yang hakiki. Sebelum masuk pada
pengertian politik hukum pidana, maka sangat penting untuk memahami terlebih
dahulu tentang konsep politik hukum. secarah sederhana Politik Hukum dapat diartikan bentuk legal policy atau arah
hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang
bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Dalam
arti yang seperti ini politik hukum harus berpijak pada tujuan negara dan sistem
hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan yang dalam konteks Indonesi, tujuan
dan sistem itu terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya Pancasila yang
melahirkan kaidah-kaidah hukum.
Menurut Sudarto, Politik hukum terdapat dua dimensi . Dimesi pertama adalah
politik hukum yang menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan
perundang-undangan (“Kebijakan Dasar” atau basic
policy) Dimesi kedua dari politik hukum adalah tujuan atau alasan yang
muncul dibalik pemberlakukan suatu peraturan perundang-undangan (“Kebijakan
Pemberlakuan” atau enactment policy).
Sementara Politik Hukum Pidana (penal policy) atau dengan istilah lain
disebut sebagai “Kebijakan Hukum Pidana”
oleh Marc Ancel diartikan sebagai
suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan
peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman
kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan undang-undang dan
kepada para pelaksana putusan pengadilan. Kebijakan hukum pidana (penal policy) tersebut merupakan salah
satu komponen dari modern criminal
science disamping criminology dan
criminal law.
Secarah keilmuan, politik hukum (termasuk
politik hukum pidana) merupakan suatu konsep berpikir dan sekaligus menjadi aksi
nyata negara dalam Pembangunan hukum yang mencakup upaya-upaya pembaruan
tatanan hukum di Indonesia, yang sedianya harus selalu dilakukan secara terus
menerus. Alasan pembenarannya adalah agar hukum dapat memainkan peran dan
fungsinya sebagai pedoman bertingkah laku (fungsi ketertiban) dalam hidup
bersama yang imperatif dan efektif sebagai penjamin keadilan di dalam
masyarakat. Upaya pembangunan tatanan hukum yang terus menerus ini diperlukan
negara sebagai bukti pernyataan negara Sebagai pelayan bagi masyarakat. Alasan
lain mengapa politik hukum menjadi sangat penting adalah bahwa Karena hukum itu
tidak berada pada tataran kevakuman, karena itu hukum harus senantiasa
disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
Kesimpulan akhir dari suatu konsep politik
hukum ala Indonesia adalah bahwa dalam Upaya pembaruan tatanan hukum itu, tentu
tetap melihat Pancasila sebagai paradigmanya, yang berkedudukan sebagai dasar,
ideologi, cita hukum dan norma fundamental negara yang patut dijadikan
orientasi arah, sumber nilai-nilai dan karenanya juga kerangka berpikir dalam
setiap upaya pembaruan hukum harus berorientasi pada tujuan luhur bangsa yaitu
keadilan.
REKONSTRUKSI HUKUMAN
PATEN BAGI KORUPTOR
Kenyataan empiris hari ini membenarkan
bahwa di negeri ini, korupsi agaknya telah
menjadi penyakit akut yang sangat sulit untuk diberantas. Bertahun-tahun di
bawah pemerintahan yang korup, menjadikan penyebaran korupsi semakin meluas dan
sistematis, bahkan korupsi memiliki kecenderungan untuk menjadi masalah publik,
yang dilakukan secara bersama-sama. Korupsi yang meluas dengan gampang kita
jumpai pada hampir semua sisi kehidupan bangsa. Korupsi juga telah menjadi
bagian sistem pengelolaan negara. Celakanya korupsi kerap melibatkan
petinggi-petinggi negeri ini. Hasil riset juga menunjukkan korupsi meningkat
dari waktu ke waktu, baik kuantitas maupun kualitas, bahkan korupsi menjadi
kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crimes), seiring dengan
predikat Indonesia sebagai negara terkorup.
Beberapa praktisi dan ahli hukum menyebut perilaku
korup di Indonesia sebagai bentuk Korupsi
Berjamaah. Tentu ini bukan ungkapan untuk menyanjung suatu prestasi kerja
atau apapun yang positif, ungkapan ini tidak lain adalah ungkapan pemberian
julukan/alias/istilah yang paling memalukan yang akan selalu diingat oleh
setiap kita sebagai kenyataan pahit yang terjadi pada bangsa ini. Beranjak dari
istilah negatif diatas, tentu yang dipikirkan oleh kita sekalian adalah
bagaimana cara yang tepat untuk memutus mata rantai korupsi ini. Secarah
kelembagaan negara Indonesia sudah sangat luar biasa berupaya keras untuk
memerangi pratek korupsi dengan dibentuknya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Pada sisi yang lain antar lembaga penegak hukum juga terlihat sangat optimal
bersinergi untuk saling bahu membahu memberantas praktek KKN (Korupsi Kolusi
dan Nepotisme). Secara yuridis, negara telah menetapkan UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Korupsi, dan juga UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidanana Pencucian Uang sebagai dasar yang memuat tentang segala hal menyangkut
korupsi yang juga dapat disebut sebagai barometer untuk menyebut tindakan apa
saja yang teridentifikasi menjadi bagian dari korupsi.
Realita yang terjadi bahwa para pelaku
korup tidak sedikitpun gentar apalagi takut melakukan tindakan korup. Pertanyaan
sederhana yang bisa kita pikirkan bersama adalah Apa Yang Salah Dengan
Penegakan Hukum Kita? Pada titik ini, tentu tidak ada yang dapat dilakukan
selain menjalankan prinsip hukum pidana untuk menjerat setiap pelaku korup,
namun apakah itu sudah cukup? tentu itu belum cukup. Ada hukuman yang lebih
berat dari pada sekedar hukuman penjara, contohnya saja penerapan hukuman mati
bagi koruptor, akan tetapi hal itu hanya sebatas pada pernyataan “keadaan
tertentu” seperti yang termuat dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Thn
1999 jo. UU No. 20/2001 yang menyebut sebagai berikut: dalam hal tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu,
pidana mati dapat dijatuhkan. Penjelasan pasal tersebut menyebutkan: Yang
dimaksud “Keadaan Tertentu“ini
adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak
pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana
yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional,
penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis
ekonomi dan moneter dan pengulangan tidak pidana korupsi.
Dari pernyataan ini saja dapat kita lihat
bahwa negara tidak tegas untuk memberlakukan aturan. Negara terkesan ragu-ragu
menghukum mati pelaku korup yang nota bene adalah pelaku kejahatan luar biasa (extra ordinary
crimes) yang juga sejajar dengan aksi penyelundup, pengedaran narkoba yang pada
hari ini telah berani di hukum mati oleh negara. Mengapa harus menunggu keadaan
tertentu baru bisa di hukum mati?. Tentu ini akan menjadi pertanyaan masyarakat
pada umumnya. Lihat saja negara tetangga kita, China misalnya, dengan berani
tanpa ampun memberikan hukuman mati bagi para pelaku korup yang juga sangat
efektif dalam menekan perilaku korup.
Adapun
Pola lain yang bisa digunakan apabila hukuman mati tidak bisa dijalankan oleh
negara, misalnya saja dengan menggunakan pendekatan politik hukum pidana sebagai
jalan keluar, dengan mencantumkan hukuman Pemiskinan
dalam setiap aturan tentang korupsi.
Pemiskinan itu antara lain bisa dilakukan dengan mengikutseratakan bunga
yang diperoleh dari hasil korupsi sebagai uang pengganti yang harus dibayar.
Konsep ini merujuk dari konsep ganti rugi dalam ranah perdata dimana bunga termasuk
yang dihitung sebagai kewajiban yang harus dipenuhi jika seseorang wanprestasi.
Pembuktian terbalik dan perampasan aset juga bisa dilakukan sehingga orang
takut melakukan tindakan korupsi. Namun yang paling dibutuhkan saat ini adalah
negara tegas mengambil sikap untuk memulai. Mari berpikir untuk kebaikan
bangsa.