Selasa, 25 Juli 2017

“POLITIK HUKUM PIDANA: Rekonstruksi Hukuman Paten Bagi Koruptor”



“POLITIK HUKUM PIDANA: Rekonstruksi Hukuman Paten Bagi Koruptor”
(Suatu Kritik Sosial)
Oleh
Yosep Copertino Apaut, SH.,MH
Ketua DPC POSPERA Kab.TTU
Beberapa kesempatan yang lalu di opini Timex ini, saya perna menulis tentang BUDAYA KORUPSI: Kristalisasi Hedonisme Modern yang pada intinya berbicara tentang konsep korupsi, bentuk dan ciri- ciri umumnya serta semua pola yang mengarah pada ungkapan minor korupsi sebagai budaya yang mungkin merupakan bentuk kristalisasi hedonisme modern. Pada kesempatan ini, saya masi tertarik membahas tentang korupsi namun lebih kepada bagaimana menghasilkan hukuman yang paling tepat bagi pelaku tindak pidana korupsi sebagai aksi dari politik hukum untuk menjawab tantangan penanganan tindak pidana korupsi yang seakan menjadi fenomena dan mungkin juga menjadi trend kekinian. Langkah ini menjadi sangat penting mengingat kasus korupsi tumbuh subur di negeri ini,

KONSEP POLITIK HUKUM PIDANA
Pada prinsipnya politik hukum pidana merupakan bagian terkecil dari prinsip dasar politik hukum itu sendiri yang bermuara pada tujuan pencapaian keadilan yang hakiki. Sebelum masuk pada pengertian politik hukum pidana, maka sangat penting untuk memahami terlebih dahulu tentang konsep politik hukum. secarah sederhana Politik Hukum dapat diartikan bentuk legal policy atau arah hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Dalam arti yang seperti ini politik hukum harus berpijak pada tujuan negara dan sistem hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan yang dalam konteks Indonesi, tujuan dan sistem itu terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya Pancasila yang melahirkan kaidah-kaidah hukum.
Menurut Sudarto, Politik hukum terdapat dua dimensi . Dimesi pertama adalah politik hukum yang menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan perundang-undangan (“Kebijakan Dasar” atau basic policy) Dimesi kedua dari politik hukum adalah tujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakukan suatu peraturan perundang-undangan (“Kebijakan Pemberlakuan” atau enactment policy). Sementara Politik Hukum Pidana (penal policy) atau dengan istilah lain disebut sebagai “Kebijakan Hukum Pidana” oleh Marc Ancel diartikan sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan undang-undang dan kepada para pelaksana putusan pengadilan. Kebijakan hukum pidana (penal policy) tersebut merupakan salah satu komponen dari modern criminal science disamping criminology dan criminal law.
Secarah keilmuan, politik hukum (termasuk politik hukum pidana) merupakan suatu konsep berpikir dan sekaligus menjadi aksi nyata negara dalam Pembangunan hukum yang mencakup upaya-upaya pembaruan tatanan hukum di Indonesia, yang sedianya harus selalu dilakukan secara terus menerus. Alasan pembenarannya adalah agar hukum dapat memainkan peran dan fungsinya sebagai pedoman bertingkah laku (fungsi ketertiban) dalam hidup bersama yang imperatif dan efektif sebagai penjamin keadilan di dalam masyarakat. Upaya pembangunan tatanan hukum yang terus menerus ini diperlukan negara sebagai bukti pernyataan negara Sebagai pelayan bagi masyarakat. Alasan lain mengapa politik hukum menjadi sangat penting adalah bahwa Karena hukum itu tidak berada pada tataran kevakuman, karena itu hukum harus senantiasa disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
Kesimpulan akhir dari suatu konsep politik hukum ala Indonesia adalah bahwa dalam Upaya pembaruan tatanan hukum itu, tentu tetap melihat Pancasila sebagai paradigmanya, yang berkedudukan sebagai dasar, ideologi, cita hukum dan norma fundamental negara yang patut dijadikan orientasi arah, sumber nilai-nilai dan karenanya juga kerangka berpikir dalam setiap upaya pembaruan hukum harus berorientasi pada tujuan luhur bangsa yaitu keadilan.

REKONSTRUKSI HUKUMAN PATEN BAGI KORUPTOR
Kenyataan empiris hari ini membenarkan bahwa di negeri ini, korupsi agaknya telah menjadi penyakit akut yang sangat sulit untuk diberantas. Bertahun-tahun di bawah pemerintahan yang korup, menjadikan penyebaran korupsi semakin meluas dan sistematis, bahkan korupsi memiliki kecenderungan untuk menjadi masalah publik, yang dilakukan secara bersama-sama. Korupsi yang meluas dengan gampang kita jumpai pada hampir semua sisi kehidupan bangsa. Korupsi juga telah menjadi bagian sistem pengelolaan negara. Celakanya korupsi kerap melibatkan petinggi-petinggi negeri ini. Hasil riset juga menunjukkan korupsi meningkat dari waktu ke waktu, baik kuantitas maupun kualitas, bahkan korupsi menjadi kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crimes), seiring dengan predikat Indonesia sebagai negara terkorup.
Beberapa praktisi dan ahli hukum menyebut perilaku korup di Indonesia sebagai bentuk Korupsi Berjamaah. Tentu ini bukan ungkapan untuk menyanjung suatu prestasi kerja atau apapun yang positif, ungkapan ini tidak lain adalah ungkapan pemberian julukan/alias/istilah yang paling memalukan yang akan selalu diingat oleh setiap kita sebagai kenyataan pahit yang terjadi pada bangsa ini. Beranjak dari istilah negatif diatas, tentu yang dipikirkan oleh kita sekalian adalah bagaimana cara yang tepat untuk memutus mata rantai korupsi ini. Secarah kelembagaan negara Indonesia sudah sangat luar biasa berupaya keras untuk memerangi pratek korupsi dengan dibentuknya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Pada sisi yang lain antar lembaga penegak hukum juga terlihat sangat optimal bersinergi untuk saling bahu membahu memberantas praktek KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme). Secara yuridis, negara telah menetapkan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, dan juga UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidanana Pencucian Uang sebagai dasar yang memuat tentang segala hal menyangkut korupsi yang juga dapat disebut sebagai barometer untuk menyebut tindakan apa saja yang teridentifikasi menjadi bagian dari korupsi.
Realita yang terjadi bahwa para pelaku korup tidak sedikitpun gentar apalagi takut melakukan tindakan korup. Pertanyaan sederhana yang bisa kita pikirkan bersama adalah Apa Yang Salah Dengan Penegakan Hukum Kita? Pada titik ini, tentu tidak ada yang dapat dilakukan selain menjalankan prinsip hukum pidana untuk menjerat setiap pelaku korup, namun apakah itu sudah cukup?  tentu itu belum cukup. Ada hukuman yang lebih berat dari pada sekedar hukuman penjara, contohnya saja penerapan hukuman mati bagi koruptor, akan tetapi hal itu hanya sebatas pada pernyataan “keadaan tertentu” seperti yang termuat dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Thn 1999 jo. UU No. 20/2001 yang menyebut sebagai berikut: dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Penjelasan pasal tersebut menyebutkan: Yang dimaksud “Keadaan Tertentu“ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter dan pengulangan tidak pidana korupsi.
Dari pernyataan ini saja dapat kita lihat bahwa negara tidak tegas untuk memberlakukan aturan. Negara terkesan ragu-ragu menghukum mati pelaku korup yang nota bene adalah pelaku kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) yang juga sejajar dengan aksi penyelundup, pengedaran narkoba yang pada hari ini telah berani di hukum mati oleh negara. Mengapa harus menunggu keadaan tertentu baru bisa di hukum mati?. Tentu ini akan menjadi pertanyaan masyarakat pada umumnya. Lihat saja negara tetangga kita, China misalnya, dengan berani tanpa ampun memberikan hukuman mati bagi para pelaku korup yang juga sangat efektif dalam menekan perilaku korup.
Adapun Pola lain yang bisa digunakan apabila hukuman mati tidak bisa dijalankan oleh negara, misalnya saja dengan menggunakan pendekatan politik hukum pidana sebagai jalan keluar, dengan mencantumkan hukuman Pemiskinan dalam setiap aturan tentang korupsi. Pemiskinan itu antara lain bisa dilakukan dengan mengikutseratakan bunga yang diperoleh dari hasil korupsi sebagai uang pengganti yang harus dibayar. Konsep ini merujuk dari konsep ganti rugi dalam ranah perdata dimana bunga termasuk yang dihitung sebagai kewajiban yang harus dipenuhi jika seseorang wanprestasi. Pembuktian terbalik dan perampasan aset juga bisa dilakukan sehingga orang takut melakukan tindakan korupsi. Namun yang paling dibutuhkan saat ini adalah negara tegas mengambil sikap untuk memulai. Mari berpikir untuk kebaikan bangsa.

Minggu, 18 Juni 2017

“FILSAFAT HUKUM: Masihkah Hukum Sebagai Panglima”

“FILSAFAT HUKUM: Masihkah Hukum Sebagai Panglima”
(Suatu kritik sosial)
Oleh
Yosep Copertino Apaut, SH.,MH
Ketua DPC POSPERA Kab.TTU

Dunia hukum adalah dunia yang indah dan sekaligus kejam, Ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat di pisahkan antara satu dengan yang lain. Paling tidak kalimat ini dapat digunakan sebagai pengantar awal bagi praktisi, pemerhati hingga mahasiswa Fakultas Hukum. Tentu akan timbul pertanyaan singkat dari pembaca sekalian, Mengapa demikian?. Jawaban sederhana adalah dari sudut mana anda berpikir. Apakah dari sudut pandang hukum sebagai dunia yang kejam atau sebaliknya. Setidaknya jawaban itu adalah gambaran sederhana tentang bagai menjelaskan tentang hukum dalam konsep filsafat. Dalam konteks ini saya tidak membicarakan empat hal yang melahirkan filsafat (ketakjuban, ketidak puasan, hasrat bertanya, dan keraguan), akan tetapi melihat lebih spesifik dengan meminjam metode filsafati untuk menjamah hukum sedikit lebih dalam.
Jika kita menyimak sedikit lebih jauh ke belakang, karya-karya para filsuf Yunani purba, sebut saja Plato dan Aristoteles, filsafat hukum seyogianya merupakan filsafat politik, akan tetapi, dewasa ini filsafat hukum telah menjadi bagian dari filsafat yang berdiri sendiri. Patut diingat bahwa filsafat hukum berbeda dengan ilmu hukum. Ilmu hukum berbicara tentang nilai, asas, norma, aturan, motode, model, peradilan, dan banyak konsep lainnya, sementara filsafat hukum lebih menitik beratkan pada suatu refleksi filsafati dari persoalan- persoalan hukum, dengan banyaknya pertanyaan seperti, apakah sebenarnya hukum itu?, apakah hakikat hukum?, apakah keadilan itu?, mengapa manusia harus takluk kepada hukum, dan lain sebagainya. Plato dalam bukunya yang berjudul Republik, politicus, dan the laws, banyak membahas tentang hukum yang pada intinya mennyatakan bahwa hukum merupakan bagian dari pengetahuan yang dimiliki oleh penguasa negara yaitu Filsuf-Raja (saat itu), karena itu tidak tidak harus tunduk kepada hukum, karena mereka dipandang sebagai orang  yang paling arif dan memiliki pengetahuan yang paling sempurna, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir akan penyalahgunaan kebebasannya itu. Akan tetapi, kemudian sang filsuf menyadari bahwa ternyata sangat sulit menemukan orang yang arif dan benar-benar memiliki pengetahuan yang sempurna, sehingga rekomendasi akhir darinya adalah betapa pentingnya hukum untuk mengendalikan penguasa dalam dalam memerintah. Pada prinsipnya Plato menitik beratkan maksudnya lebih kepada hukum yang lahir bukan semata-mata untuk memelihara ketertiban dan menjaga stabilitas negara, akan tetapi hukum yang mampu menolong warga negara mencapai keutamaan atau kebijakan pokok, sehingga layak menjadi warga masyarakat yang ideal.
Di Indonesia, ada ungkapan yang sangat familiar dalam dunia hukum yaitu Hukum Sebagai Panglima. Mendengar kata Panglima, tentu yang terbayang adalah pejuang, mungkin juga seorang pendekar yang berada pada garda terdepan untuk bertarung demi suatu tujuan luhur. Saat saya masi berstatus sebagai mahasiswa fakultas Hukum, kalimat ini seperti suatu ungkapan penuh makna penyemangat, sekaligus memberikan rasa optimis yang nyata terhadap Eudaimonia (kebahagiaan/kenyamanan hidup) sebagai bangsa Indonesia. Pada suatu sesi perkuliahan, terungkap kalimat hebat dari guru besar saya bahwa “kendatipun hukum adalah produk politik, namun seketika ia diundangkan, maka pada saat itu dia adalah hukum yang berdiri sebagai panglima yang tidak bisa di jadikan alat politik”. Untuk sesaat, kalimat ini mengundang kekaguaman yang tak terkira terhadap hukum di Indonesia. Rasa pesimis saya mulai nampak ketika melihat fenomena sosial, politik, yang menekan  hukum akhir-akhir ini. Hukum Indonesia seolah sekarat menunggu ajalnya. Keadaan ini Seperti dongeng penghantar tidur bagi mereka yang berupaya keras melemahkan hukum. Timbul banyak pertanyaan saat ini. Bagaimana kalau kekuasaan justru menunggangi hukum untuk suatu niat jahat?, Bagaimana kalau hukum tidak mampu meredam tekanan kepentingan suatu kelompok?, Masihkah Hukum sebagai panglima?, atau Mungkinkah hukum tidak lagi bertaring sehingga mudah di kalahkan?
Indonesia dibangun dengan darah perjuangan anak bangsa, yang berusaha mengalahkan ketakutan terhadap sejarah kelam penjajahan dengan satu pekikan “ Merdeka Atau Mati”, yang kemudian terkristalisasi dalam ideologi besar yang oleh pendiri bangsa disebut sebagai Pancasila, kemudian dibalut dalam suatu hukum dasar yang dinamakan Konstitusi yang akhirnya melahirkan UUD 1945 (hukum dasar tertulis) dan KONVENSI (Hukum dasar tidak tertulis/kebiasaan). Fungsi dari pembentukan konstitusi menurut Prof. Mahfud M.D, semata-mata untuk membatasi kekuasaan antara 3 pilar penyelenggara negara  (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif), sekaligus jaminan atas hak politik rakyat. Tujuan akhirnya adalah sesuai dengan batang tubuh UUD 1945 yakni, mencerdaskan dan memajukan kehidupan bangsa, mencapai kebahagiaan nasional (tujuan nasional), serta melaksanakan ketertiban dunia (tujuan internasional), yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan soasial. Penjelmaan dari nilai-nilai luhur bangsa inilah yang selanjutnya disebut sebagai Hukum  ala Indonesia, yang mestinya menjadi senjata ampuh dalam menegakan tata kehidupan sebagai bangsa Indonesia, dengan berbagai keberagamannya tanpa alasan pelemahan terhadap hukum itu sendiri.
THE LAW IN ACTION / HUKUM DALAM PRAKTEK
Pada kenyataannya, para penyelengara negara justru melakukan berbagai kasalahan yang berakibat pada pelemahan hukum secara tidak langsung. Misalnya, praktek KKN yang marak terjadi pada lembaga-lembaga negara, kebijakan pemerintah yang bersifat diskresi akibat tekanan, dan lain sebagainya. Dalam praktek penegakan hukum pun demikian berbeda dan sangat tidak bersinergi antara The law in the books (hukum dalam tulisan/buku) dan The Law in action (hukum dalam praktek). Contoh sederhana misalnya, asas praduga tak bersalah dalam aturan hukum  menempatkan seorang terduga pelaku kejahatan sebagai individu yang bebas merdeka, sepanjang belum ada putusan pengadilan yang mengikat kebebasannya akibat terbukti melakukan perbuatan pidana. Konsep ini dalam praktek penegakan hukum justru sangat tidak dipahami secara benar, sehingga proses pencarian fakta dan selanjutnya pencarian keadilan hanya akan menjadikan seorang tersangka sebagai Victim (korban) proses Law Enforcement (penegakan Hukum). Terkait dengan asas ini, bagian yang sangat melemahkan Hukum adalah tentang letak penggunaan/penerapan asas praduga tak bersalah dalam setiap tingkatan proses penegakan hukum. Artinya apakah asas praduga tak bersalah dipakai saat pemeriksaan seseorang sebagai saksi, sebagai tersangka, atau sebagai terdakwa, mengingat dalam prakteknya seseorang hanya boleh di tetapkan sebagai pelaku kejahatan/bersalah ketika telah ada putusan yang Berkekuatan Hukum Tetap. Sementara pada posisi yang lain, berdasarkan pemikiran rasional berhukum saya, tidaklah mungkin seseorang yang dinyatakan sebagai tersangka apabila tidak didasarkan pada suatu dugaan. Logikanya bahwa diduga keras seseorang telah melakukan perbuatan pidana sehingga berdasarkan 2 alat bukti atau lebih kepada sang terduga dapat dinyatakan sebagai tersangka pelaku kejahatan tertentu.
Dengan demikian kesimpulan sederhananya adalah bahwa ada praduga bersalah atas suatu kejadian yang dikalasifikasikan sebagai perbuatan pidana, sehingga penegakan hukumnya dapat dijalankan, tinggal bagaimana melihat proses selanjutnya yang patut dipandang menggunakan asas praduga tak bersalah untuk semata-mata pencapain hukum yang elegant dan tanpa tekanan terhadap tersangka demi pencapaian keadilan yang sesungguhnya. Berpijak pada pandangan sederhana ini, maka sangat diperlukan ketegasan penyelenggara negara untuk mencarmati dan menguatkan pandangan-pandangan hukum bangsa ini sehingga tidak dijadikan alat politik bagi oknum yang tidak menginginkan perdamaian. Penegakan hukum pun harus sekurang-kurangnya mengedepankan aspek kemanfaatan, keadilan, kebahagiaan dan juga ketegasan yang kukuh, sehingga tidak dengan mudah diarahkan, dipaksakan, didesak kelompok/golongan, kepentingan kaum kuat, sehingga pencapain hukum sebagai panglima menjadi nyata dalam proses penegakan Law Enforcement/Penegakan hukum yang bersih dari praktek KKN. Pada tingkatan yang lebih tinggi dari kesemuanya, hukum harus kembali ke awal mulanya, terkait tujuan akhir dari hukum itu sendiri, sekaligus saya mengajak kita sekalian untuk merefleksi lagi dan lagi tentang untuk apa kita berhukum. Mari berpikir bersama.

Minggu, 11 Juni 2017

“MENGUKUR WIBAWA KONSTITUSI PADA ERA MODERNISASI”



“MENGUKUR WIBAWA KONSTITUSI PADA ERA MODERNISASI”
(Suatu Kritik Sosial)
Oleh
Yosep Copertino Apaut, SH.,MH
Ketua DPC POSPERA Kab.TTU

Dimulai dari ungkapan sederhana Seorang pemikir Romawi kuno Cicero (106 – 43 SM) yang menyatakan, “Ubi Societas Ibi Ius”, yang berarti “Dimana Ada Masyarakat Di Situ Ada Hukum”, yang pada prinsipnya ungkapan ini menunjukkan bahwa dalam setiap kehidupan kelompok masyarakat dimanapun, senantiasa terdapat aturan yang mengikat warganya guna menjamin keamanan dan ketertiban dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Kalimat sederhana pemikir kuno inilah yang pada akhirnya bertransformasi dalam bentuk yang lebih tinggi yang oleh bangsa-bangsa di dunia dikenal dengan sebutan Konstitusi.
Istilah konstitusi itu sendiri berasal dari bahasa Perancis, “Constitere” yang artinya menetapkan atau membentuk. Dalam bahasa Inggris disebut “Constitution”. Sedangkan dalam bahasa Belanda digunakan istilah “Constitutie” disamping kata “Grondwet”. Ada anggapan keliru yang menyamakan anntara konstitusi dengan Undang-Undang Dasar (UUD). Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “Grondwet”, “Grond” artinya dasar dan “Wet” artinya undang-undang. Namun dalam praktek ketatanegaraan, konstitusi dipandang lebih luas dari UUD, alasannya adalah bahwa konstitusi mencakup keseluruhan peraturan, baik yang tertulis seperti UUD maupun yang tidak tertulis seperti convention/konvensi. Jadi UUD hanya bagian dari konstitusi, yang oleh beberapa ahli hukum, istilah konstitusi lebih tepat diartikan sebagai Hukum Dasar. Menurut Prof. Moh. Mahfud M.D, Konstitusi secara konseptual memiliki tiga karakter utama, Pertama, Konstitusi sebagai hukum tertinggi suatu negara (a constitution is a supreme law of the land), Kedua, Konstitusi sebagai karangka kerja suatu sistem pemerintahan  (a constitution is a frame work for goverment), Ketiga, Konstitusi merupakan instrument yang memiliki legitimasi dalam membatasi kekuasaan dan kewenangan pejabat pemerintahan (constitution is a letimate way to grand and limit powers of government officials).
Kenyataan empiris membenarkan bahwa konstitusi menjadi referensi utama dalam praktek ketatanegaraan bangsa Indonesia hari ini, dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Penghormatan terhadap HAM inilah yang diwujud nyatakan dalam bentuk kebebasan yang beretika atas bentuk ekspresi pada setiap sisi kehidupan sebagai masyarakat hukum. Konstitusi sendiri lahir sebagai wujud nyata keterlibatan pemerintah dalam menjamin keberlangsungan bangsa untuk mencapai tujuan luhur dari keberadaannya sebagai negara yaitu pencapaian kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatnya, termasuk terciptanya perdamaian dan keamanan, keadilan, serta bentuk kesetaraan dalam segalah aspek kehidupan

Pengaruh Modernisasi Terhadap Konstitusi Indonesia
Tidak dapat dipungkiri bahwa suatu konstitusi memiliki masanya sendiri termasuk konstitusi Indonesia. Hal ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa konstitusi adalah produk kesepakatan politik, dimana berlandaskan pada kondisi politik, ekonomi, dan budaya saat dibuatnya. Karena itulah konstitusi meiliki keterbatasan dalam menyelesaikan permasalahan ketatanegaraan kontemporer, dimana persoalan-persoalan itu berdimensi insidentil maupun temporer yang terkadang jauh dari pemahaman konstitusi itu sendiri. Kendatipun demikian, konstitusi tetap dipaksa untuk mampu menjawab permasalahan tersebut dengan mengunakan mekanisme perubahan konstitusi.
Sangat dipahami bahwa modernisasi menjadi bagian paling berpengaruh dalam perkembangan suatau negara menuju arah kewibawaan sebagai bangsa yang tangguh dan bermartabat, mengingat perkembangan jaman dengan disertai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebebasan dalam berbagai hal. Aspirasi modernisasi tentu bukan isu satu bangsa saja, melainkan menjadi trend sekaligus gejalah dunia yang mencakup proses transformasi total dari kehidupan bersama yang boleh di katakan tradisionil/pra-modern menuju titik baru dari kehidupan yang Sosio-Demografis. Modernisasi juga dapat dipandang sebagai bentuk perubahan sosial yang terarah (Directed Change) yang didasarkan pada suatu perencanaan (bisa juga merupakan  Intended atau Planned-Change) yang biasanya disebut sebagai “Social Planning”. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang tidak semata-mata menciptakan bentuk cultural Lag, akan tetapi perubahan yang mampu memberi ruang untuk terciptanya Reorganisasi dalam masyarakat.
Dalam dunia hukum, dengan melirik terlebih dahulu pada titik perubahan yang nyata, seperti terjadinya bentuk disorganisasi, dimana telah berpudarnya/melemahnya suatu norma dan nilai dalam masyarakat akibat pergerakan perubahan yang sangat signifikan, maka hal ini berimbas pada perubahan terhadap konstitusi. Ini terbukti dengan terciptanya perubahan-perubahan terhadap setiap peraturan, yang disebut sebagai Amandemen serta bertambahnya peraturan-peraturan yang memang pada dasarnya sengaja dibuat sebagai tindakan aktif pemimpin bangsa untuk mengakomidir setiap aspek perubahan. Point penting yang patut dipahami adalah bahwa acap kali perubahan itu dilakukan semata-mata untuk melengkapi kekurangan/Perbaharuan (Renewel), atau mungkin juga sebagai bentuk pergantian terhadap peraturan yang lesuh, mengingat dinamika sosial yang sangat dinamis dalam masyarakat. Di Indonesia perubahan itu telah terjadi 4 kali untuk UUD, pada tahun 1999, tahun 2000, tahun 2001, dan tahun 2002, dan untuk kesekian kalinya telah terjadi perombakan pada UU dengan mekanisme yang telah ditetapkan negara. Pada titik ini, jelaslah bahwa tuntutan dari suatu perubahan terhadap konstitusi atau sekurang-kurangnya keinginan untuk memperbaharui suatu tata aturan yang mendasari proses kehidupan masyarakat Indonesia adalah terkait dengan modernisasi, yaitu perubahan pola, tingkah laku dan pergeseran gejalah sosial kemasyarakatan yang kompleks dengan dinamika kehidupan yang menyertainya.

Tantanngan Konstitusi Kedepan
Akhir-akhir ini bangsa Indonesia dihadapkan dengan berbagai persoalan yang mengharuskan kita sedikit berpikir keras untuk membendung setiap dinamika kehidupan masyarakat, mulai dari kasus makar,, hingga upaya konstitusi dalam membatasi sepak terjang Organisasi radikal. Opinion dari berbagai latar belakang mulai dari LSM, aktivis, mahasiswa, birokrat dan para pencinta bangsa lainnya berteriak kencang menginginkan suatu perubahan besar dalam sistem ketatanegaraan agar terciptanya kesejahteraan dan terjaminnya kedaulatan bangsa Indonesia. Hasrat perubahan tersebut harus termaktub dalam setiap elemen konstitusi sebagaimana perubahan pertama sampai keempat UUD 1945 sebagai alat mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa ini secara damai dan progresif. Apalagi kalau kita mengingat genetika kultural (Cultural Genetic) masyarakat Indonesia dalam proses perubahan pasti sangat melampaui batas, dan bukan tidak mungkin terdapat pula potensi konflik secara horizontal maupun vertical yang senantiasa seiring sejalan.
Pada titik ini memang harapan terbesar segenap masyarakat Indonesia akan tertuju pada satu titik sentral yakni tindakan konstitusional. Tentu dengan harapan mulia sekaligus tuntutan kepada negara untuk suatu kebijakan yang berefek positif bagi keseluruhan masyarakat Indonesia yang plural. Ibarat kontrak kepentingan antara penguasa dan rakyatnya, penguasa mengkalim dirinya sebagai pemilik atas wilayah sekaligus pemilik rakyat, pada sisi yang lain rakyat akan mengharapkan kebijakan yang seyogianya merupakan representasi dari perasaan batin rakyat itu sendiri untuk sesuatu yang dipandang baik untuk diperjuangkan. Memang bukan suatu perkara yang mudah, manakalah negara harus berpikir keras untuk mencapai tujuan yang diinginkan rakyat. Tuntutan yang paling berat bagi konstitusi bangsa ini adalah bagaimana cara yang tepat untuk memindai norma abstrak yang menjadi konsep aturan ideal di dalam tubuh konstitusi untuk menyanggupi fakta dan praktek dalam penyelenggaraan negara. Harapan yang menjadi tantangan lain bagi negara dalam menjalankan penyelenggaraan negara berdasarkan konstitusi adalah penataan kembali kehidupan kenegaraan, sekaligus memberikan suatu action constitution semacam tindakan tegas dalam bentuk Shock Terapi tentang apa yang patut dan tidak patut. Dengan demikian, martabat konstitusi bangsa ini tidak disepelehkan. Setiap tindakan yang bertentangan dengan konstitusi juga harus mendapatkan tindakan tegas dan bertaring secara konstitusional dari negara, yang saya sebut sebagai tindakan Langsung Tunai.