Minggu, 18 Juni 2017

“FILSAFAT HUKUM: Masihkah Hukum Sebagai Panglima”

“FILSAFAT HUKUM: Masihkah Hukum Sebagai Panglima”
(Suatu kritik sosial)
Oleh
Yosep Copertino Apaut, SH.,MH
Ketua DPC POSPERA Kab.TTU

Dunia hukum adalah dunia yang indah dan sekaligus kejam, Ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat di pisahkan antara satu dengan yang lain. Paling tidak kalimat ini dapat digunakan sebagai pengantar awal bagi praktisi, pemerhati hingga mahasiswa Fakultas Hukum. Tentu akan timbul pertanyaan singkat dari pembaca sekalian, Mengapa demikian?. Jawaban sederhana adalah dari sudut mana anda berpikir. Apakah dari sudut pandang hukum sebagai dunia yang kejam atau sebaliknya. Setidaknya jawaban itu adalah gambaran sederhana tentang bagai menjelaskan tentang hukum dalam konsep filsafat. Dalam konteks ini saya tidak membicarakan empat hal yang melahirkan filsafat (ketakjuban, ketidak puasan, hasrat bertanya, dan keraguan), akan tetapi melihat lebih spesifik dengan meminjam metode filsafati untuk menjamah hukum sedikit lebih dalam.
Jika kita menyimak sedikit lebih jauh ke belakang, karya-karya para filsuf Yunani purba, sebut saja Plato dan Aristoteles, filsafat hukum seyogianya merupakan filsafat politik, akan tetapi, dewasa ini filsafat hukum telah menjadi bagian dari filsafat yang berdiri sendiri. Patut diingat bahwa filsafat hukum berbeda dengan ilmu hukum. Ilmu hukum berbicara tentang nilai, asas, norma, aturan, motode, model, peradilan, dan banyak konsep lainnya, sementara filsafat hukum lebih menitik beratkan pada suatu refleksi filsafati dari persoalan- persoalan hukum, dengan banyaknya pertanyaan seperti, apakah sebenarnya hukum itu?, apakah hakikat hukum?, apakah keadilan itu?, mengapa manusia harus takluk kepada hukum, dan lain sebagainya. Plato dalam bukunya yang berjudul Republik, politicus, dan the laws, banyak membahas tentang hukum yang pada intinya mennyatakan bahwa hukum merupakan bagian dari pengetahuan yang dimiliki oleh penguasa negara yaitu Filsuf-Raja (saat itu), karena itu tidak tidak harus tunduk kepada hukum, karena mereka dipandang sebagai orang  yang paling arif dan memiliki pengetahuan yang paling sempurna, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir akan penyalahgunaan kebebasannya itu. Akan tetapi, kemudian sang filsuf menyadari bahwa ternyata sangat sulit menemukan orang yang arif dan benar-benar memiliki pengetahuan yang sempurna, sehingga rekomendasi akhir darinya adalah betapa pentingnya hukum untuk mengendalikan penguasa dalam dalam memerintah. Pada prinsipnya Plato menitik beratkan maksudnya lebih kepada hukum yang lahir bukan semata-mata untuk memelihara ketertiban dan menjaga stabilitas negara, akan tetapi hukum yang mampu menolong warga negara mencapai keutamaan atau kebijakan pokok, sehingga layak menjadi warga masyarakat yang ideal.
Di Indonesia, ada ungkapan yang sangat familiar dalam dunia hukum yaitu Hukum Sebagai Panglima. Mendengar kata Panglima, tentu yang terbayang adalah pejuang, mungkin juga seorang pendekar yang berada pada garda terdepan untuk bertarung demi suatu tujuan luhur. Saat saya masi berstatus sebagai mahasiswa fakultas Hukum, kalimat ini seperti suatu ungkapan penuh makna penyemangat, sekaligus memberikan rasa optimis yang nyata terhadap Eudaimonia (kebahagiaan/kenyamanan hidup) sebagai bangsa Indonesia. Pada suatu sesi perkuliahan, terungkap kalimat hebat dari guru besar saya bahwa “kendatipun hukum adalah produk politik, namun seketika ia diundangkan, maka pada saat itu dia adalah hukum yang berdiri sebagai panglima yang tidak bisa di jadikan alat politik”. Untuk sesaat, kalimat ini mengundang kekaguaman yang tak terkira terhadap hukum di Indonesia. Rasa pesimis saya mulai nampak ketika melihat fenomena sosial, politik, yang menekan  hukum akhir-akhir ini. Hukum Indonesia seolah sekarat menunggu ajalnya. Keadaan ini Seperti dongeng penghantar tidur bagi mereka yang berupaya keras melemahkan hukum. Timbul banyak pertanyaan saat ini. Bagaimana kalau kekuasaan justru menunggangi hukum untuk suatu niat jahat?, Bagaimana kalau hukum tidak mampu meredam tekanan kepentingan suatu kelompok?, Masihkah Hukum sebagai panglima?, atau Mungkinkah hukum tidak lagi bertaring sehingga mudah di kalahkan?
Indonesia dibangun dengan darah perjuangan anak bangsa, yang berusaha mengalahkan ketakutan terhadap sejarah kelam penjajahan dengan satu pekikan “ Merdeka Atau Mati”, yang kemudian terkristalisasi dalam ideologi besar yang oleh pendiri bangsa disebut sebagai Pancasila, kemudian dibalut dalam suatu hukum dasar yang dinamakan Konstitusi yang akhirnya melahirkan UUD 1945 (hukum dasar tertulis) dan KONVENSI (Hukum dasar tidak tertulis/kebiasaan). Fungsi dari pembentukan konstitusi menurut Prof. Mahfud M.D, semata-mata untuk membatasi kekuasaan antara 3 pilar penyelenggara negara  (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif), sekaligus jaminan atas hak politik rakyat. Tujuan akhirnya adalah sesuai dengan batang tubuh UUD 1945 yakni, mencerdaskan dan memajukan kehidupan bangsa, mencapai kebahagiaan nasional (tujuan nasional), serta melaksanakan ketertiban dunia (tujuan internasional), yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan soasial. Penjelmaan dari nilai-nilai luhur bangsa inilah yang selanjutnya disebut sebagai Hukum  ala Indonesia, yang mestinya menjadi senjata ampuh dalam menegakan tata kehidupan sebagai bangsa Indonesia, dengan berbagai keberagamannya tanpa alasan pelemahan terhadap hukum itu sendiri.
THE LAW IN ACTION / HUKUM DALAM PRAKTEK
Pada kenyataannya, para penyelengara negara justru melakukan berbagai kasalahan yang berakibat pada pelemahan hukum secara tidak langsung. Misalnya, praktek KKN yang marak terjadi pada lembaga-lembaga negara, kebijakan pemerintah yang bersifat diskresi akibat tekanan, dan lain sebagainya. Dalam praktek penegakan hukum pun demikian berbeda dan sangat tidak bersinergi antara The law in the books (hukum dalam tulisan/buku) dan The Law in action (hukum dalam praktek). Contoh sederhana misalnya, asas praduga tak bersalah dalam aturan hukum  menempatkan seorang terduga pelaku kejahatan sebagai individu yang bebas merdeka, sepanjang belum ada putusan pengadilan yang mengikat kebebasannya akibat terbukti melakukan perbuatan pidana. Konsep ini dalam praktek penegakan hukum justru sangat tidak dipahami secara benar, sehingga proses pencarian fakta dan selanjutnya pencarian keadilan hanya akan menjadikan seorang tersangka sebagai Victim (korban) proses Law Enforcement (penegakan Hukum). Terkait dengan asas ini, bagian yang sangat melemahkan Hukum adalah tentang letak penggunaan/penerapan asas praduga tak bersalah dalam setiap tingkatan proses penegakan hukum. Artinya apakah asas praduga tak bersalah dipakai saat pemeriksaan seseorang sebagai saksi, sebagai tersangka, atau sebagai terdakwa, mengingat dalam prakteknya seseorang hanya boleh di tetapkan sebagai pelaku kejahatan/bersalah ketika telah ada putusan yang Berkekuatan Hukum Tetap. Sementara pada posisi yang lain, berdasarkan pemikiran rasional berhukum saya, tidaklah mungkin seseorang yang dinyatakan sebagai tersangka apabila tidak didasarkan pada suatu dugaan. Logikanya bahwa diduga keras seseorang telah melakukan perbuatan pidana sehingga berdasarkan 2 alat bukti atau lebih kepada sang terduga dapat dinyatakan sebagai tersangka pelaku kejahatan tertentu.
Dengan demikian kesimpulan sederhananya adalah bahwa ada praduga bersalah atas suatu kejadian yang dikalasifikasikan sebagai perbuatan pidana, sehingga penegakan hukumnya dapat dijalankan, tinggal bagaimana melihat proses selanjutnya yang patut dipandang menggunakan asas praduga tak bersalah untuk semata-mata pencapain hukum yang elegant dan tanpa tekanan terhadap tersangka demi pencapaian keadilan yang sesungguhnya. Berpijak pada pandangan sederhana ini, maka sangat diperlukan ketegasan penyelenggara negara untuk mencarmati dan menguatkan pandangan-pandangan hukum bangsa ini sehingga tidak dijadikan alat politik bagi oknum yang tidak menginginkan perdamaian. Penegakan hukum pun harus sekurang-kurangnya mengedepankan aspek kemanfaatan, keadilan, kebahagiaan dan juga ketegasan yang kukuh, sehingga tidak dengan mudah diarahkan, dipaksakan, didesak kelompok/golongan, kepentingan kaum kuat, sehingga pencapain hukum sebagai panglima menjadi nyata dalam proses penegakan Law Enforcement/Penegakan hukum yang bersih dari praktek KKN. Pada tingkatan yang lebih tinggi dari kesemuanya, hukum harus kembali ke awal mulanya, terkait tujuan akhir dari hukum itu sendiri, sekaligus saya mengajak kita sekalian untuk merefleksi lagi dan lagi tentang untuk apa kita berhukum. Mari berpikir bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar