“POLA PEMIDANAAN MENURUT KUHP DAN
KONSEP KUHP”
OLEH
YOSEP COPERTINO APAUT, SH
DASAR
PEMIKIRAN
Rangkaian sanksi
atau pidana merupakan bagian dari hukum panitensier yang meliputi jenis
pidana, cara dan dimana menjalankannya, termasuk pula mengenai
pengurangan, penambahan dan pengecualian penjatuhan pidana Stelsel Pidana
Indonesia pada dasarnya diatur dalam Buku I KUHP dalam Bab ke-2 dari Pasal
10 sampai Pasal 43, yang kemudian juga diatur lebih jauh mengenai hal-hal
tertentu dalam beberapa peraturan.
Peraturan tersebut sebagaimana
yang dikatakan Adami Chazawi adalah:
1. Reglement
Penjara (Stb. 1917 No. 708) yang diubah dengan LN1948 No. 77).
2. Ordonansi
Pelepasan Bersyarat (Stb. 1917 No. 749).
3. Reglement
Pendidikan Paksaan (Stb. 1917 No. 741).
4. UU No. 20
Tahun 1949 Tentang Pidana Tutupan.
Reglement
penjara ini kemudian diganti dengan UU Nomor 5 Tahun1995 Tentang
Permasyarakatan. Stelsel pidana Indonesia berdasarkan KUHP mengelompokkan
jenis-jenis pidana kedalam pidana pokok dan pidana tambahan. Dari luasnya
cakupan stelsel pidana tersebut, maka dapat diuraikan beberapa hal tentang
stelsel pidana Indonesia tersebut sebagai berikut:
PIDANA DAN TINDAKAN
Pidana (straf)
merupakan salah satu sarana yang dapat digunakan dalam kebijakan hukum
pidana. Roeslan Saleh pernah mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan hukum
pidana itu tidaklah semata-mata menjatuhkan pidana, akan tetapi juga ada-kalanya
menggunakan tindakan-tindakan.
Tindakan
merupakan suatu sanksi juga, tetapi tidak ada sifat pembalasan padanya dan
ditujukan sebagai prevensi khusus dengan maksud menjaga keamanan
masyarakat terhadap orang-orang yang dipandang berbahya, dan dikhawatirkan
akan melakukan perbuatan-perbuatan pidana. Batas antara pidana dan
tindakan walaupun secara teoritis agak sukar dibedakan tetapi secara
praktis batasannya cukup jelas seperti yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP
merupakan lingkup pidana, selain itu adalah termasuk tindakan.
Roeslan Saleh dalam hal ini mengutarakan,
walaupun tindakan itu juga merampas dan menyinggung kemerdekaan seseorang,
tetapi jika bukan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 10 KUHP bukanlah
pidana. Seperti pendidikan paksa pada anak-anak, penempatan seseorang
dalam rumah sakit jiwa.
Berbicara
tentang stelsel pidana adalah juga berbicara masalah sistem pemidanaan
yang memiliki pengertian yang sangat luas. L.
H. C.Hulsman sebagaimana dikutip oleh Barda
Nawawi Arief, mengemukakan bahwa sistem
pemidanaan (the sentencing sistem) adalah “peraturan perundang-undangan
yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan” (the statutory
rules relating to penal sactions andpunishment).
Barda Nawawi Arief juga mengemukakan bahwa apabila
pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian
atau penjatuhanpidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem
pemidanaanmencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang
mengaturbagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalisasikan
secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini
berarti semua aturan perundang-undangan mengenai hukum pidana subtantif,
hukum pidana formal dan hukum pidana pelaksanaan dapat dilihat sebagai
satu kesatuan sistem pemidanaan.
Selanjutnya
berkenaan dengan perbedaan antara pemidanaan (punishment) dan
tindakan (treatment), menurut Alf
Ross tidak didasarkanpada ada tidaknya unsur penderitaan, tetapi harus
didasarkan ada tidaknya unsur pencelaan, sedangkan menurut H. L. Packer perbedaan keduanyaBarda
Nawawi Arief,.harus dilihat dari tujuan dan seberapa jauh peranan dari
perbuatan si pelakuterhadap adanya pidana atau tindakan diperlakukan.
H. L. Packer mengemukakan bahwa tujuan
dari treatment adalah untuk memperbaiki orang yang
bersangkutan, sedangkan punishment sebenarnya didasarkan pada
tujuan sebagi berikut:
1. Untuk
mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yangtidak dikehendaki atau
perbuatan yang salah (the prevention ofcrime or undersired conduct of
offending conduct)b).
2. Untuk
mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada pelanggar (the
deserved infliction of suffering onevildoers/retribution for perceived wrong
doing).
Secara tradisional perbedaan antara
pidana dan tindakan menurut Sudarto yakni pidana merupakan pembalasan
(pengimbalan) terhadapkesalahan si pembuat, sedangkan tindakan adalah
untuk perlindungan masyarakat dan untuk pembinaan atau perawatan si
pembuat.
Berkenaan
dengan masalah perbedaan antara pidana dan tindakan ini, perlu kiranya
diperhatikan pendapat dari Roeslan Saleh,
bahwa batasan antara pidana dan tindakan secara teoritis sukar ditentukan,
karena pidana sendiripun dalam banyak hal juga mengandung pikiran-pikiran
melindungi dan memperbaiki, sebaliknya pada tindakan juga dapat dirasakan
berat oleh orang yang dikenal tindakan dan kerap kali pula dirasakan
sebagai pidana, karena berhubungan erat sekali dengan pencabutan atau
pembatasan kemerdekaan.
Dari
beberapa pendapat para ahli di atas bisa dilihat bahwasanya baik pidana
maupun tindakan pada hakikatnya merupakan bentuk sanksi yang diberikan
kepada orang yang melanggar hukum oleh penguasa yang berwenang. Perbedaan
diatara keduanya hanya terletak pada aspek pendekatannya saja, namun yang
jelas dengan semakin bervariasasinya bentuk sanksi, maka dapat dipilih
bentuk sanksi yang tepat untuk kejahatan tertentu sebagai upaya
penanggulangannya.
JENIS-JENIS SANKSI PIDANA DALAM KUHP
Menurut
KUHP, pidana dibedakan dalam pidana pokok dan pidanatambahan, terutama
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP.Dlam hal ini Roeslan Saleh
menjelaskan bahwa urutan pidana ini dibuatmenurut beratnya pidana, dan yang
terberat disebut lebih depan. Jenis-jenis pidana yang disebutkan dalam Pasal 10
KUHP adalah:
1.
Pidana Pokok
a. Pidana Mati;
b. Pidana
Penjara;
c. Pidana
Kurungan; dan,
d. Pidana
Denda.
e. Pidana
tutupan
2.
Pidana Tambahan:
a. Pencabutan
beberapa hak tertentu;
b. Perampasan
barang tertentu; dan,
c. Pengumuman
keputusan hakim.
Secara rinci dari jenis-jenis pidana
yang terdapat dalam Pasal 10 KitabUndang-undang Pidana tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut :
1.
Pidana Pokok.
a.
Pidana Mati
Pidana mati di dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Indonesia diatur dalam Pasal 11, yang menyatakan
bahwa pidana mati dijalankan algojo di atas tempat gantungan (schavot)
dengan cara mengikat leher si terhukum dengan jerat pada
tiang gantungan, lalu dijatuhkan papan dari bawah
kakinya. Berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964,
Lembaran Negara 1964 Nomor 38 yang ditetapkan menjadi Undang-undangdengan
UU Nomor 5 Tahun 1969, pidana mati dijalankan dengan menembak mati
terpidana.
b.
Pidana Penjara.
Pidana penjara merupakan pidana
utama diantara pidana penghilangan kemerdekaan dan pidana ini dapat
dijatuhkan untuk seumur hidup atau sementara waktu. Berbeda dengan jenis
lainnya, maka pidana penjara ini adalah suatu pidana berupa
pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan
dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga permasyarakatan.
Andi Hamzah pernah mengemukakan
bahwa pidana penjara disebut juga dengan pidana hilang kemerdekaan, tetapi
narapidana kehilangan hak-hak tertentu, seperti hak memilih dandipilih, hakim
memangku jabatan publik, dan beberpa hak sipil lain.
Pidana penjara bervariasi dari
penjara sementara minimal 1 (satu) hari sampai pidana penjara seumur
hidup. Namun pada umumnya pidana penjara maksimum 15 (lima belas) tahun
dan dapat dilampaui dengan 20 (dua puluh) tahun.
Roeslan Saleh menjelaskan bahwa
banyak pakar memiliki keberatan terhadap penjara seumur hidup ini,
keberatan ini disebabakan oleh putusan kemudian terhukum tidak
akanmempunyai harapan lagi kembali dalam masyarakat.
Padahal harapan tersebut
dipulihkan oleh lembaga grasi dan lembaga remisi. Maka dari itu walaupun
pidana penjara sudah menjadi pidana yang sudah umum diterapkan di seluruh
dunia namun dalam perkembangan terakhir ini banyak yang mempersoalkan
kembali manfaat penggunaan pidana penjara.
c.
Pidana Kurungan.
Pidana kurungan ini sama halnya
dengan pidana penjara, namun lebih ringan dibandingkan dengan pidana
penjara walaupun kedua pidana ini sama-sama membatasi kemerdekaan
bergerak seorang terpidana. Sebagai pembedaan itu dalam ketentuan Pasal 69
KUHP disebutkan, bahwa perbandingan beratnya pidana pokok yang tidak
sejenis ditentukan menurut urutan di dalam pasal 10 KUHP.
Dalam hal ini Roeslan Saleh
menjelaskan bahwa:” Dari urutan dalam Pasal 10 KUHP ternyata pidana
kurungan disebutkan sesudah pidana penjara, sedangkan Pasal 69 (1) KUHP menyebutkan
bahwa perbandingan beratnya pidana pokok yangt idak sejenis ditentukan menurut
urut-urutan dalam Pasal 10.
Demikian pula jika diperhatikan
bahwa pekerjaan yang diwajibkan kepada orang yang dipidana kurungan juga
lebih ringan daripada mereka yang menjalani pidana penjara”.
Lamanya pidana kurungan
sekurang-kurangnya adalah 1 (satu) hari dan selama-lamanya adalah satu
tahun. Akan tetapi lamanya pidana tersebut dapat diperberat hingga satu tahun
empat bulan, yaitu bila terjadi samenloop, recidive dan
berdasarkan Pasal 52 KUHP.
Dengan demikian jangka waktu pidana
kurungan lebih pendek dari pidana penjara, sehingga pembuat
undang-undang memandang pidana kurungan lebih ringan dari pidana penjara.
Olehkarena itu, pidana kurungan diancamkan
pada delik-delik yangd ipandang ringan seperti delik culpa dan
pelanggaran.
Menurut penjelasan di dalam Memori
Van Toelichting, dimasukkannya pidana kurungan di dalam KUHP terdorong
oleh dua macam kebutuhan masing-masing yaitu:
·
Oleh kebutuhan akan perlunya suatu bentuk
pidana yang sangat sederhana berupa pembatasan kebebasanbergerak atau
suatu vrijheidsstraf yang sifatnya sangatsederhana bagi
delik-delik yang sifatnya ringan;
·
Oleh kebutuhan akan perlunya suatu bentuk
pidana berupa suatu pembatasan kebebasan bergerak yang sifatnya tidak
begitu mengekang bagi delik-delik yang menurut sifatnya ”tidak menunjukkan
adanya sesuatu kebobrokan mental atau suatu maksud yang
sifatnya jahat pada pelaku, ataupun yang juga sering disebut sebagai
suatu custodia honesta belaka.
Berkenaan dengan perbedaan pidana kurungan dan pidana penjara dapat
dirinci sebagai berikut:
·
Pidana kurungan hanya diancamkan pada tindak pidana
yang lebih ringan daripada tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara.
·
Ancaman maksimum umum pidana penjara 15 tahun,
sedang ancaman maksimum umum pidana kurungan 1 tahun.
·
Pelaksanaan pidana denda tidak dapat diganti
dengan pelaksanaan pidana penjara, tetapi pelaksanaan pidana
denda dapat diganti dengan pelaksanaan pidana kurungan.
·
Dalam melaksanakan pidana penjara dapat dilakukan di
Lembaga Pemasyarakatan diseluruh Indonesia (dapat
dipindah-pindahkan),sedang pelaksanaan pidana kurungan LembagaPemasyarakatannya
di mana ia berdiam ketika putusan hakimdijalankan.
·
Pekerjaan-pekerjaan narapidana penjara lebih berat
dari pada pekerjaan-pekerjaan pada narapidana kurungan.
d.
Pidana Denda
Pidana denda ini banyak diancamkan
pada banyak jenis pelanggaran, baik sebagai alternatif dari pidana
kurungan atau berdiri sendiri. Adapun keistimewaan yang terdapat pada
pidana denda adalah sebagai berikut:
·
Pelaksanaan pidana denda bisa dilakukan atau dibayar
olehorang lain.
·
Pelaksanaan pidana denda boleh diganti dengan
menjalani pidana kurungan dalam hal terpidana tidak membayarkan denda.
Hal ini tentu saja diberikan kebebasan kepada terpidana untuk memilih.
Dalam pidana denda ini tidak terdapat maksimum umum, yang ada hanyalah
minimum umum. Sedang maksimum khususnya ditentukan pada masing-masing
rumusan tindak pidana yangbersangkutan.
e.
Tindak
Pidana Tutupan
Pidana tutupan ini ditambahkan ke
dalam Pasal 10 KUHP, melalui UndangUndang Nomor 20 Tahun 1946, yang dalam
Pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa:” Dalam mengadili orang yang melakukan
tindak pidana,yang diancamkan dengan pidana penjara, karenaterdorong oleh
maksud yang patut dihormati, hakimboleh menjatuhkan pidana tutupan”.
2.
Pidana
Tambahan, meliputi :
a.
Pencabutan Hak-Hak Tertentu.
Menurut Pasal 35 ayat 1 KUHP,
hak-hak yang dapat dicabut adalah:
·
Hak jabatan pada
umumnya atau jabatan tertentu.
·
Hak menjalankan jabatan dalam Angkatan
Bersenjata/Tentara Nasional Indonesia.
·
Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum.
·
Hak menjadi Penasihat Hukum, hak menjadi wali,
wali pengawas, wali pengampu.
·
Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian
ataupengampuan atas anak sendiri.
·
Hak menjalankan mata pencaharian.
b.
Perampasan Barang Tertentu
Barang yang dapat dirampas melalui
putusan hakim ada 2 jenis berdasarkan
Pasal 39 KUHP, yaitu:
·
Barang-barang yang berasal atau diperoleh dari suatu
kejahatan,misalnya: uang palsu dari kejahatan pemalsuan uang.
·
Barang-barang yang digunakan dalam melakukan
kejahatan, misalnya : pisau yang digunakan dalam kejahatan
pembunuhan atau penganiayaan.
c.
Pengumuman Putusan Hakim
Pengumuman hakim ini, hakim
dibebaskan menentukan perihal cara melaksanakan pengumuman itu, dapat
melalui surat-kabar,
ditempelkan di papan pengumuman, atau diumumkan melalui media radio atau
televisi. Tujuannya adalah untuk mencegah bagi orang-orang tertentu agar
tidak melakukan tindak-pidana yang
dilakukan orang tersebut.
Menurut Bambang Poernomo, selain
putusan-putusan pemidanaan, bebas, dan dilepaskan masih terdapat
jenis-jenis lain yaitu:
·
Putusan yang bersifat penetapan untuk
tidak menjatuhkan pidana akan tetapi berupa tindakan hakim, misalnya
memasukkan ke rumah sakit jiwa, menyerahkan kepada lembaga pendidikan
khusus anak nakal dan lain-lainnya.
·
Putusan yang bersifat penetapan berupa tidak berwenang
untuk mengadili perkara terdakwa, misalnya terdakwa menjadi kewenangan
untuk diadili olehmahkamah militer.
·
Putusan yang bersifat penetapan berupa
pernyataan surat-surat tuduhan batal karena tidak mengandung isi yang
diharuskan oleh syarat formal undang-undang.
·
Putusan yang bersifat penetapan menolak atau
tidak menerima tuntutan yang diajukan oleh penuntut umum.
Misalnya, perkara jelas namun delik aduan tidak disertai
surat pengaduan oleh si korban atau keluarganya. Setelah hakim membacakan putusan
yang mengandung pemidanaan maka hakim wajib memberitahukan kepada
terdakwa akan hak-haknya, hak menolak, atau menerima putusan, atau
hak mengajukan banding dan lain-lain.
Di samping jenis sanksi yang berupa pidana, dalam hukum pidana positif
dikenal juga jenis sanksi yang berupa tindakan, misalnya :
·
Penempatan di rumah sakit jiwa bagi orang yang tidak
dapat dipertanggung-jawabkan
karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu penyakit (Pasal 44
ayat (2) KUHP);
·
Bagi anak yang belum berumur 16 tahun melakukan
tindakpidana, hakim dapat mengenakan tindakan berupa (lihat Pasal45 KUHP):a.
Mengembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, atau;
·
Memerintahkan agar anak tersebut diserahkan
kepada pemerintah; Dalam hal ini yang ke-2, anak tersebut dimasukkan
kedalam rumah pendidikan negara yang penyelenggaraannya diatur dalam
Peraturan Pendidikan Paksa(Dwangopvoedingregeling, Stb. 1916 nomor 741).
·
Penempatan di tempat bekerja negara (landswerkinrichting)bagi
penganggur yang malas bekerja dan tidak mempunyai mata pencaharian, serta
mengganggu ketertiban umum dengan pengemisan, bergelandangan atau
perbuatan asosial(Stb. 1936 nomor 160);
Tindakan tata tertib dalam hal tindak pidana ekonomi (pasal
8 Undang-Undang No. 7 Drt. 1955) dapat berupa:
·
penempatan perusahaan si terhukum di bawah
pengampuanuntuk selama waktu tertentu (tiga tahun untuk kejahatanTPE dan 2
tahun untuk pelanggaran TPE);
·
pembayaran uang jaminan untuk waktu tertentu;
·
pembayaran sejumlah uang sebagai pencabutan
keuntungan yang menurut taksiran yang diperoleh dari tindak
pidana yang dilakukan;
·
kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa
hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan jasa-jasa
untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas biaya si terhukum
sekedar hakim tidak menentukan lain.
POLA LAMANYA PEMIDANAAN
1.
Pola Penetapan Jumlah Ancaman Pidana.
Dalam menetapakan jumlah atau
lamanya ancaman pidana, dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief terdapat dua
alternatif sistem yaitu:
a. Sistem
pendekatan absolut, yakni untuk setiap orang tindak pidana ditetapkan
bobot/kualitasnya sendiri-sendiri, yaitu dengan menetapkan ancaman pidana
maksimum (dapat juga ancaman pidana minimum) untuk setiap tindak pidana. Penetapan maksimum pidana untuk tiap pidana ini dikenal
dengan sistem indifiniteatau sistem maksimum. Sistem ini biasa
digunakan dalam perumusan KUHP/WvS diberbagai negara termasuk alam
praktek legislatif di Indonesia, sehingga dikenal sebagai sistem
tradisional;
b. Sistem atau
pendekatan relatif, yaiut untuk tiap-tiap tindak pidanatidak ditetapkan
bobot/kualitasnya (maksimum pidananya) sendirisendiritetapi bobotnya
direlatifkan; yaitu dengan melakukanpenggolongan tindak pidana dalam beberapa
tingkatan dansekaligus menetapkan maksimum pidana untuk tiap kelompoktindak
pidana.
2.
Pola Maksimum dan Minimum Pidana
Menurut pola KUHP/WvS maksimum
khusus pidana penjara yang paling rendah adalah berkisar 3 (tiga) minggu
dan 15 (lima belas) tahun yang dapat mencapai 20 (dua puluh) tahun apabila
ada pemberatan, Sedangkan
maksimum yang di bawah 1 (satu) tahun sangat bervariasi dengan menggunakan
bulan dan minggu.
Konsep KUHP ancaman pidana maksimum
khusus yang paling rendah untuk pidana penjara adalah 1 (satu) tahun dan
15 (lima belas) tahun yang dapat juga mencapai 20 (dua puluh) tahun
apabila ada pemberatan. Menurut konsep, untuk delik yang dipandang tidak
perlu diancam dengan pidana penjara atau bobotnya kurang dari 1
(satu) tahun penjara, digolongkan sebagai tindak pidana yang sangat
ringan dan hanya diancam pidana denda.
Pola maksimum khusus paling rendah 1
(satu) tahun menurut konsep dikecualikan untuk delik-delik yang selama ini
dikenal sebagai kejahatan ringan.
Menurut pola KUHP, maksimum penjara
untuk delik-delik kejahatan ringan ini adalah 3 (tiga) bulan, sedang menurut Konsep
KUHP adalah 6 (enam) bulan yang dialternatifkan dengan pidana denda. Pola
pidana denda dalam KUHP/WvS tidak mengenal”minimum khusus”, pola pidana dalam
KUHP menggunakan”minimum umum” dan ”maksimum khusus”.
Maksimum khusus pidana denda
paling tinggi untuk kejahatan adalah Rp 150.000,- danuntuk pelanggaran paling
banyak Rp. 75.000,- jadi maksimum khusus pidana denda yang paling tinggi
untuk kejahatan adalah dua kali lipat yang diancamkan untuk pelanggaran.
Pola pidana denda dalam Konsep KUHP
tahun 2005 mengenal minimum umum, minimum khusus dan maksimum khusus.
Pasal 77 ayat (2) menentukan jika tidak ditentukan minimum khusus
maka pidana denda paling sedikit Rp. 15.000,00,- (lima belas ribu rupiah).
Pasal 77 ayat (3) menentukan bahwa pidana denda paling banyak ditetapkan
berdasakan kategori, yaitu :
a.
kategori I Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu
rupiah);
b.
kategori II Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus
ribu rupiah);
c.
kategori III Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta
rupiah);
d.
kategori IV Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta
rupiah);
e.
kategori V Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah);
dan
f.
kategori VI Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Dari pola di atas, baik menurut KUHP maupun Konsep KUHP tidak ada maksimum
umum untuk pidana denda. Akibat tidak adanya ketentuan maksimum umum pidana
denda KUHP tersebut, akibatnya timbul variasi maksimum pidana denda dalam
perundang-undangan diluar KUHP.
3.
Pola Pemberatan dan Peringanan Ancaman Pidana
Menurut Konsep KUHP pemberatan dan
peringanan pidana tidak berbeda dengan KUHP yaitu ditambah atau dikurangi
sepertiga. Namun menurut Konsep KUHP, pemberatan dan/atau
peringanan sepertiga itu tidak hanya terhadap ancaman maksimum tetapi juga
terhadap ancaman minimumnya. Dalam hal tertentu, pola peringanan pidana
menurut Konsep KUHP dapat juga dikurangi setengahnya dari pembatasan
pidana bagi anak yang berusia 12 (dua belas) sampai dengan 18 (delapan
belas) tahun.
4.
Pola Ancaman Pidana Untuk Delik Dolus dan
Delik Culpa.
Pola umum ancaman untuk delik dolus dan culpa menurut
KUHP sebagai-berikut :
a.
Untuk perbuatan dengan culpa, diancam
dengan pidana kurunganmaksimum 1-3 bulan atau denda;
b.
untuk yang menimbulkan akibat ancaman maksimum
pidanauntuk delik dolus bervariasi, yaitu delik dolus yang
diancampenjara 7-20 tahun. Sedang untuk delik culpaada yangdiancam
penjara 4 bulan sampai dengan 1 tahun 4 bulan danada juga yang diancam kurungan
3 bulan s.d 1 tahun ataudiancam dengan denda akibat yang ditimbulkan.
Pola ancaman pidana untuk delik dolus dan delik culpa menurut
Konsep KUHP pada mulanya memakai pola relatif untuk keseragaman. Untuk pola
relatif yang dipakai yaitu perbuatan dengan culpa,
maksimum 1/6 (seper enam) dari maksimum delik dolusnya,untuk yang menimbulkan akibat maksimumnya 1/4 (seper
empat) darimaksimum delik dolusnya. Tapi kemudian disepakti patokan atau pola absolut
sebagai berikut :
a.
Untuk perbuatannya delik culpa 1
tahun dan untuk dolus y tahun;
b.
Untuk yang menimbulkan akibat bahaya umum culpanya 2
tahun,sedang untuk dolusnya (+ 2) tahun;
c.
Untuk yang mengakibatkan bahaya kesehatan
berat/nyawaculpanya 3 tahun sedangkan dolusnya (y + 3) tahun.
d.
Untuk yang berakibat mati culpanya 5 tahun sedang
dolusnya(y+5) tahun.
5.
Pola Perumusan Pidana
Jenis pidana yang pada umumnya
diancamkan dalam perumusan delik yang disangkakan. Menurut pola KUHP ialah
pidana pokok, dengan menggunakan 9 (sembilan) bentuk perumusan, yaitu:
a.
diancam pidana mati atau penjara seumur hidup atau
penjara selama waktu tertentu;
b.
diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau
penjara tertentu;
c.
diancam dengan pidana penjara (tertentu);
d.
diancam dengan pidana penjara atau kurungan;
e.
diancam dengan pidana penjara atau kurungan atau
denda;diancam dengan pidana penjara atau denda;
f.
diancam pidana kurungan;
g.
diancam dengan pidana kurungan atau denda;
h.
diancam dengan pidana denda.
Dalam perumusan pidana pokok ini tersebut terlihat jelas bahwa KUHP
hanya menganut 2 sistem perumusan delik yakni perumusan tunggal (hanya diancam satu pidana pokok) dan perumusan
alternatif.
Pidana pokok yang dirumuskan secara tunggal, hanya pidana penjara,
kurungan, atau denda. Tidak ada pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup yang diancam secara tunggal.
Sistem perumusan alternatif dimulai dari delik yang paling berat
sampai yang ringan, sedang untuk pidana tambahan
bersifat fakultatif, namun pada dasarnya untuk dapat
dijatuhkan harus tercantum dalam perumusan delik.
Dalam konsep ditentukan jenis pidana yang dicantumkan dalam perumusan
delik hanya pidana mati, penjara dan denda. Pidana pokok berupa pidana tutupan,
pidana pengawasan dan pidana kerja sosial tidak dicantumkan.
Bentuk perumusan KUHP tidak berbeda dengan KUHP/WvS, hanya dengan catatan
bahwa di dalam Konsep KUHP, terdapat beberapa hal penting, antara lain:
a.
Pidana penjara dan denda, ada yang dirumuskan
ancaman minimalnya;
b.
Pidana denda dirumuskan dengan sistem kategori.
Dengan kata lain Pedoman untuk menerapakan pidana yang dirumuskan secara tunggal
dan secara alternatif yang memberi kemungkinan perumusan tunggal diterapkan
secara alternatif dan perumusan secara alternatif diterapkan secara kumulatif.