Jumat, 27 Februari 2015

SUATU KRITIK SOSIAL - “Keadilan sebagai Sakramen Hukum”



“Keadilan sebagai Sakramen Hukum”
Oleh
Yosep Copertino Apaut, SH
Mahasiswa Ilmu Hukum Program Pascasarjana Undana

Keadilan (Justice) pada prinsipnya merupakan keseimbangan antara kewajiban dan Hak yang patut diterima oleh setiap manusia sebagai milik pribadi, tanpa batasan dengan alasan apapun. Keseimbangan rasa adil tersebut mengandung nilai yang berlaku Universal. Keadilan baru dapat dikatakan bersifat universal manakala pemenuhannya mencakup semua persoalan keadilan sosial dan individual yang muncul, termasuk universal dalam proses penerapannya yang berlaku bagi seluruh anggota masyarakat. Umumnya keadilan bisa bersifat subjektif  dan bisa individualistis, artinya tidak bisa disama ratakan. Karena adil bagi si A belum tentu adil bagi si B, maka rasa keadilan” harus merujuk kepada berbagai pertimbangan psikologis dan sosiologis untuk memenuhi konsep adil yang hakiki. Sejak awal, Aristoteles seorang filsuf yang pertama kali merumuskan arti keadilan mengatakan bahwa, keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (fiat jutitia bereat mundus). Selanjutnya keadilan dibagi menjadi dua bentuk yaitu: Pertama, keadilan distributif, yaitu keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsional (keadilan berdasarkan besarnya jasa yang diberikan). Kedua, keadilan korektif, yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi (keadilan berdasarkan persamaan hak tanpa melihat besarnya jasa yang diberikan). Sementara itu, dalam konteks filsafat hukum terdapat banyak perbedaan terkait keadilan semisal, penganut paradigma Hukum Alam yang meyakini bahwa alam semesta diciptakan dengan prinsip keadilan, sehingga dikenal antara lain Stoisisme norma hukum alam primer yg bersifat umum menyatakan “Berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (unicuique suum tribuere), dan jangan merugikan seseorang (neminem laedere)”.
Pendapat lain diuraikan Hans Kelsen, dari segi kecocokan dengan hukum positif-terutama kecocokan dengan undang-undang. Kelsen menggangap sesuatu yang adil hanya mengungkapkan nilai kecocokan relative dengan suatu norma. “adil” hanya kata lain dari “benar”. Dengan kata lain Kelsen menaruh rasa adil pada undang-undang (Legal Formal) semata. Secara praktis, dalam hubungan antara individu dengan negara, keadilan dapat dipahami sebagai terpenuhinya kebutuhan masyarakat secara nyata dari negara/pemerintah (keseluruhan sistem yang kompleks) dengan tidak mengabaikan kewajiban dari masyarakat. Hak dan kewajiban Yang dimaksudkan adalah “negara menjalankan hak dan kewajibannya, begitupun masyarakat menjalankan hak dan kewajibannya”. Meskipun demikian, Indikator pemenuhan kebutuhan dari negara kepada masyarakat sebagai individu harus lebih jelas terlihat (lebih responsif) manakala setiap orang dalam negara telah menerima apa yang menjadi haknya secara utuh.

Pencapaian Sakramen Hukum
Martabat hukum terletatak pada dasar, proses dan finalisasi pelaksanaan yang secara pasti dan meyakinkan memberi muatan nilai, moral dan keadilan yang tak terbantahkan dengan sekedar teori, apalagi dengan memandang keadilan secara sepihak yang hanya didapat dalam bentuk “teks hukum”. Adil pada titik lain ibarat “sakramen” yang bermakna suci. Kata “sakramen” berasal dari bahasa Latin yaitu “sacramentum” yang secara harfiah berarti "menjadikan suci". Konsekuensi logis darinya adalah bahwa jiwa dari hukum ada pada manusia, keadilan tidak sekedar kebutuhan yang layak untuk diperjuangkan, melaikan sesuatu yang dalam keabstrakannya memiliki nilai keilahian yang “telah dimiliki” sejak mulanya. untuk mencapai keadilan hakiki, hukum harus terlepas dari kekangan, baik kekangan penguasa politik, maupun kekangan hukum yang kaku. Karena kekangan yang tak berujung, maka hukum harus Progresif dalam segalah aspek, tidak terkecuali dalam proses pencarian keadilan. Alasan sederhana untuk menerobos kekakuan hukum di ungkapkan maestro Hukum progresif Indonesia, Prof. Satjipto Rahardjo, yang secara meyakinkan memberikan gambaran bahwa Hukum progresif adalah gerakan pembebasan karena ia bersifat cair dan senantiasa gelisah melakukan pencarian dari satu kebenaran ke kebenaran selanjutnya. Kajian ini juga diungkapkan pengikut setianya asal Nusa Tenggara Timur, Bernard L. Tanya. Bernard selalu menyeruhkan dan mengingatkan bahwa Hukum progresif  adalah hukum dengan semangat berbuat yang terbaik bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Hukum progresif menghendaki manusia jujur. Berani keluar dari tatanan merupakan salah satu cara mencari dan membebaskan.
Lawrence Friedman mengemukan 3 sistem sistem hukum antara lain: Substansi Hukum yang adalah norma (aturan, keputusan) hasil dari produk hukum, Struktur Hukum yang adalah sistem kelembagaan negara/pranata hukum yang konsepnya untuk memberikan pelayanan dan penegakan hukum, serta Budaya Hukum yang adalah ide , perilaku , keinginan , pendapat dan nilai-nilai yang berkaitan dengan hukum (aspek positif/negatif), yang secara langsung memberikan gambaran tentang bagaimana hukum semestinya dijalankan. Bertalian dengannya, apabila diejawantakan dengan pemikiran ala Prof. Tjip dengan pendekatan hukum progresif, maka tidaklah berlebihan ketika proses penegakan hukum Indonesia dituntut untuk memenuhi aspek kejujuran, etika, martabat, dan yang paling penting adalah nurani dalam satu bingkai utama yakni “Moralitas Hukum”. Pada titik ini, aspek struktur hukum menjadi hal yang paling disorot dalam perilaku berhukum Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh kuat “Legal Positivism” mengarahkan para penegak hukum untuk bermain dirana yang sakral, untuk menentukan sikap bersalah tidaknya suatu perbuatan hukum berdasarkan kehendak aturan tanpa pertimbangan lain yang sesungguhnya memiliki nilai moral dan kesempatan berbenah diri bagi setiap orang yang terlibat dalam kasus hukum.

Hukum Indonesia saat ini
Sangat dibernakan bahwa dalam penegakan hukum bangsa ini merujuk pada tiga unsur, yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Cita hukum awalnya menjadi sesuatu yang sangat indah untuk dibahas, tidak saja para akademisi, namun menjadi perbincangan bersama seluruh rakyat. Akan tetapi yang terjadi justru aspek kepastian hukum menjadi dewa, yang seakan disucikan dengan tidak lagi menggandeng aspek kemanfaatan hukum untuk mencapai nilai sakral dari hukum yaitu keadilan. Praktek hukum semacam ini tentu bertolak belakang dengan pandangan Kaum Utilitarian yang dipelopori oleh Jeremy Bentham, sebagai pendukung teori kegunaan, bahwa tujuan hukum harus berguna bagi masyarakat untuk mencapai kebahagiaan sebesar-besarnya. Pandangan ini bukan tanpa alasan, jelas terlihat bahwa masyarakat dalam keberagamannya telah mempercayakan seluruh kehidupannya kepada negara untuk mengatur dan menjamin seluruh kebutuhannya. Konsekuensi logis darinya adalah bahwa negara mengemban tanggungjawab moral untuk membahagiakan setiap individu lewat kebijakan, putusan (Preseden) yang secara keseluruhan memberi efek kepercayaan publik pada pemerintah (penegak hukum dan pemangku kebijakan). Karena alasan kepercayaan dari masyarakat, maka penegak hukum dalam menyelesaikan suatu permasalahan harus mulai dari tujuan luhur dari hukum yaitu Keadilan. Pada hakekatnya, masyarakat akan selalu berusaha mencapai titik adil dalam setiap proses sepanjang hidupannya sebagai warga negara, maka penegak hukum wajib memberikan keadilan sebesar-besarnya kepada masyarakat bukan sebagai bentuk penghormatan semu terhadap permintaan masyarakat yang datang dalam bentuk desakan dan protes, akan tetapi dengan dasar bahwa kekadilan adalah sesuatu yang suci yang patut diberikan pada setiap warga negara. Maka satu hal penting yang harus dilakukan oleh para penegak hukum adalah “jangan takut menerobos sistem hukum yang kaku. Jadilah obor penerang kala mentari hukum tidak lagi bersinar, karena didepan sana ada Keadilan yang patut di perjuangkan, sebab keadilan adalah suci”.

Senin, 16 Februari 2015

“ANTARA KEKUASAAN DAN DINAMIKA HUKUM”



“ANTARA KEKUASAAN DAN DINAMIKA HUKUM”
Oleh
Yosep Copertino Apaut
Mahasiswa Ilmu Hukum Program Pascasarjana Undana

Kekuasaan (Power) pada hakekatnya merupakan suatu bentuk representasi konseptual yang telah populer sejak awal mulanya suatu negara terbentuk. Jauh sebelumnya, terdapat sudut pandang yang variatif dari para ahli untuk menterjemahkan kekuasaan. Menurut Socrates, Niccolo,Thomas Hobes, Max Weber, dan April Carter, kekuasaan dapat dilihat dari aspek dominasi(dominance) yang bersifat paksaan (coersion) yang di arahkan pada tujuan tertentu. Sementara itu, menurut kelompok ahli yang lain seperti Plato, Harold D. Laswell, Abraham Kaplan, Van Dorn dan Robert Dahl mengemukakan arti Kekuasaan sebagai Persuasi atau pengaruh dengan alasan terdapatnya bentuk khusus dan lunak dari kekuasaan, dalam artian bahwa “aspek pengaruh “berusaha mempunyai tujuan dengan jalan meyakinkan (persuasi), membujuk, memberi informasi, konsultasi ataupun cara lain yang lebih lembut. Selain itu, adapun para ahli seperti R.J. Mokke, Talcott dan R.F. Beerling melihat dari sudut pandang yang menempatkan kekuasaan sebagai sesuatu yang netral secara etis, artinya bahwa kekuasaan itu adalah “Kekuasaan an sich” tidak bersifat baik dan juga tidak buruk. Baik dan buruknya terdapat pada aspek penggunaannya. Dalam bingkai keilmuan, keragaman pandangan tentang konsep kekuasaan ibarat magnet yang menjadi daya tarik tersendiri bagi para akademisi untuk mengarahkan alur berpikir tentang hal yang substansial dari suatu kekuasaan, dengan menitikberatkan pada subjek dan objek dari kekuasaan itu sendiri. Frans Magnis Suseno dalam tulisannya mengemukakan dua hal penting tentang kekuasaan. Menurutnya kekuasaan sejak awal selalu berwajah dua, yaitu mempesona dan menakutkan. Dalam hal Kekuasaan mempesona apabila kekuasaan dibaluti dengan pola pelayanan yang Elegan, karismatik, menawan, sehingga dapat menyatukan dan mengatur kehidupan masyarakat dengan gaya yang khas. Sementara kekuasaan menakutkan apabila kekuasaan disalahgunakan untuk menindas dan merampas kehidup, termasuk setiap Kebijakan yang tercipta dari konsensus yang tidak menguntungkan bagi masyarakat.
Berbicara tentang kekuasaan tentu tidak akan terlepas dari hal penting yang menjadi tujuaan akhir dari kekuasaan yaitu kebijakan publik yang berimbas pada pencapaian aspek keadilan hukum bagi masyarakat pada umumnya. Pada titik ideal, kekuasaan dan Hukum merupakan dua hal yang saling mempengaruhi satu sama lain. disatu sisi, kekuasaan tanpa ada sistem aturan maka akan terjadi kompetisi seperti halnya yang terjadi di alam liar. Siapa yang kuat, maka dialah yang menang dan berhak melakukan apapun kepada siapa saja. Sedangkan hukum tanpa ada kekuasaan di belakangnya, maka hukum tersebut akan “mandul” dan tidak bisa diterima dengan baik oleh masyarakat. Dalam bahasa akademik sering di sebut istilah “Hukum tanpa kekuasaan adalah Angan-angan, sementara Kekuasaan tanpa Hukum adalah Kezaliman”. Alasan untuk menjelaskan kalimat diatas adalah bahwa kekuasaan tanpa suatu aturan maka akan mengkondisikan keadaan seperti hal nya hutan rimba yang hanya berpihak kepada yang kuat dalam dimensi sosial.

Pengaruh Hukum terhadap Kekuasaan
Kekuasaan yang diatur hukum merupakan bentuk Pressure (bukan intimidasi) untuk pencapaian kepentingan masyarakat luas agar masyarakat yang merupakan objek dari kekuasaan tidak menjadi korban dari kekuasaan. Selain sebagai Pressure bagi kepentingan masyarakat, hukum juga berguna sebagai juri dengan mengarahkan alur bermain pihak-pihak yang sedang berkuasa, ingin berkuasa atau merebut kekuasaan. Hukum dalam hal ini tidak hanya mengatur masyarakat tetapi juga mengatur pihak-pihak yang berada di lingkaran kekuasan. Hal tersebut bisa ditemui dalam konstitusi dimana konstitusi secara garis besar berisi tentang bagaimana mengatur, membatasi dan menyelenggarakan kekuasaan serta mengutamakan nilai dan moral. karena betapapun bagusnya suatu aturan/hukum dibuat, apabila penekanan tidak terletak pada pendekatan nilai dan moral, maka sesungguhnya aturan tersebut tidak cukup berkekuatan hukum untuk meredam dominasi kekuasaan.
Tentu dalam membatasi kekuasaan untuk melindungi segenap masyarakat hukum tidak semata-mata hanya berada tetap pada satu titik namun dipaksakan hadir dalam dimensi kehidupan yang berbeda (status quo), disinilah perubahan jiwa dari hukum itu harus mengarah pada suatu dimensi lain, dalam artian bahwa, hukum tidak hanya responsif, tapi juga mengarah pada suatu pendekatan yang yang lebih progresif (aspek penggunaan hukum yang dinamis/tidak kaku). Salah satu cara berhukum yang sangat merisaukan gagasan hukum progresif adalah yang secara mutlak berpegangan pada kata-kata atau kalimat dalam teks hukum. Cara berhukum yang seperti ini merupakan hal yang banyak dilazimkan di kalangan komunitas hukum, yaitu yang disebut sebagai menjaga kepastian hukum. Hukum adalah teks dan tetap seperti itu sebelum diubah oleh legislatif. Cara berhukum tersebut hanya melihat sistem hukum sebagai mesin besar perundang-­undangan yang harus dijalankan. Di sini penegakan hukum sudah menjadi masinal, ibarat menjalankan teknologi “tekan tombol”. Karena itu maka hukum harus benar-benar berbenah dan selangkah lebih maju, untuk melakukan penguatan pada tatanan sistem demi mencapai mewujudkan masyarakat yang adil dan bebas dari tekanan kekuasaan yang lalim.

Pengaruh Kekuasaan terhadap Hukum
Seperti gambaran bahwa eksistensi hukum tanpa ada kekuasaan menjadikan hukum tak bertaji, maka menjadi kebutuhan perlunya suatu kekuasaan yang melatarbelakangi hukum. Muncul pertanyaan bagaimana kekuasaan yang hanya dipegang oleh segelintir orang bisa dipercaya untuk mempengaruhi hukum yang bertujuan untuk mengatur masyarakat. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka bisa didekati dengan metode konseptual, moral dan nilai yang tidak mungkin melegalkan kepentingan penguasa saja tetapi juga rakyat. dalam perkembangannya tentu saja tidak dapat dihindari bahwa setiap rezim penguasa memiliki karakteristik tertentu. Karakteristik tersebut dapat dilihat dari karakteristik hukum serta kebijakan yang menjadi produk politiknya. Apabila kekuasaannya demokratis, maka produk hukumnya berkarakter positif responsif sedangkan apabila kekuasaanya  otoriter, maka produk hukumnya berkarakter konservatif atau ortodoks. Ada asumsi bahwa antara demokrasi dan otoriter terkesan ambigu. Artinya tidak bisa dilihat secara tegas pembedanya. Bisa saja penguasa yang otoriter di suatu negara berdalih bahwa karakterisitik produk hukum yang bersifat konservatif yang digunakan untuk melingungi masyarakat. Dalam hal ini demokratis yang dari, untuk dan oleh rakyat mengalami pengurangan peran hanya untuk rakyat sehingga rakyat sekedar menikmati hasil atau kemanfaatannya. Bertalian dengan itu maka yang dibutuhkan tidak hanya sekedar aspek kemanfaatan tapi partisipatif yang aktif. kekuasaan yang dimaksud tidak hanya kekuasaan Eksekutif, akan tetapi keseluruhan yang kompleks termasuk Legislatif dan yudikatif, mulai dari tingkat pemerintahan pusat hingga sampai pada pemerintahan kabupaten/kota. Kekuasaan terkadang mengarahkan hukum pada satu titik untuk mencapai tujuan yang mengatasnamakan kebutuhan rakyat, yang belum tentu menghasilkan produk/kebijakan yang benar-benar di butuhkan oleh rakyat. Setiap kebijakan yang di keluarkan oleh penguasa negeri ini mestinya harus bermula dari hasil survey langsung kebutuhan rakyat dan bukan sekedar prediksi, mengingat indonesia merupakan negara yang besar dengan banyaknya keanekaragaman suku, agama, ras, bahasa dan adat istiadat, maka menjadi indah apabila setiap kebijakan tidak semata-mata dihasilkan untuk mencapai target menghasilkan produk hukum saat memimpin suatu bangsa/daerah, bukan juga mengutamakan keinginan elit, tapi produk unggul yang dibutuhkan rakyat secara umum. Maka tidaklah tabu ketika masyarakat berteriak menyalahkan pemerintah yang berkuasa, manakala masyarakat tidak menerima efek positif dari kebijakan penguasa. Oleh karena itu, maka pemangku kebijakan harus mampu membaca gejalah sosial dan pesan-pesan dari suara sumbang yang selalu terabaikan.

Kamis, 12 Februari 2015

Telaah atas ketegangan POLRI Vs KPK TAHUN 2015


“Apakah Presiden Sedang Ketakutan?”
(Telaah atas ketegangan POLRI Vs KPK)
Oleh
Yosep Copertino Apaut, SH
Mahasiswa Ilmu Hukum Program Pascasarjana Undana

Inilah pertanyaan yang terbesit dalam benak khalayak banyak terkait dengan suasana tegang antara Polri Vs KPK yang terkesan tidak bisa di kendalikan oleh Presiden. Entah sampai kapan ketegangan ini berakhir dan apa yang akan di lakukan presiden sebagai pucuk pimpinan bangsa ini, mengingat saat sekarang masyarakat indonesia seakan bingung untuk memilih dan lebih untuk menyuarakan Mosi Tidak Percaya terhadap dua lembaga yang sangat berpengaruh itu. Persoalan yang lain yang akan muncul manakala akibat dari sibuk untuk saling menyerang, baik KPK maupun POLRI secara tidak langsung akan melupakan hal yang lebih penting yakni penegakan hukum.
Masi sangat segar dalam ingatan kita saat Presiden Jokowi atas dasar hak prerogatif yang dimilikinya, mengajukan calon tunggal Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri), Budi Gunawan, menggantikan Kapolri Sutarman yang dipilih Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menuai polemik. Banyak kalangan menolak penetapan tersebut karena menganggap Komjen Budi Gunawan bermasalah. Penolakan makin menjadi ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Budi Gunawan menjadi tersangka dugaan kasus tindak pidana korupsi. Jokowi terkesan tidak mampu berbuat banyak untuk mencabut penunjukan Budi Gunawan oleh dirinya sebagai Kapolri dan hanya memilih untuk menunda pelantikan mantan ajudan Megawati Soekarnoputri semasa menjadi Presiden RI, dengan alasan tepat bahwa penunjukan Budi Gunawan telah disetujui dalam sidang paripurna DPR RI.
Pada titik yang lain dengan ditetapkannya Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK yang berdampak pada penundaan pelantikannya oleh presiden, seakan menabuh genderang perang melawan institusi kepolisian. Aksi saling cari kesalahan, saling menuding hingga sampai pada penangkapan elit KPK oleh Kepolisian akhirnya dilakukan seakan memberi pertanda balasan akan tindakan KPK sebelumnya. Kedua lembaga terhormat saling sikut untuk merebut simpati rakyat dan elit bangsa ini dengan sesekali memberi sinyal pengharapan dukungan.

Peran Presiden untuk menyelamatkan serta Mengintervensi Konflik antar lembaga Negara.

Dalam keadaan seperti ini ketegasan sikap seorang Jokowi sangat dibutuhkan untuk menghentikan polemik yang terjadi antara KPK dengan Polri, mengingat perang antar lembaga negara akan berpotensi menyeret lembaga-lembaga lain ikut serta dalamnya. Hal yang sangat tidak diinginkan adalah bahwa ego dari masing-masing lembaga akan lebih dikedepankan. Dalam bingkai Ilmu Hukum Ketatanegaraan, secara sederhana telah digambarkan tentang tugas dan wewenang seorang presiden yang termuat dalam UUD 1945 Pasal 4 Ayat (1) dan teori pembagian kekuasaan, yang di sebutkan bahwa yang di maksud dengan kekuasaan pemerintahan adalah Kekuasaan Eksekutif, yang oleh Bagir Manan kekuasaan Eksekutif dibagi dalam dua hal penting, antara lain, pertama, kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat umum (terkait dengan tugas dan wewenang yang luas termasuk kegiatan administrasi negara) dan Kedua kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat khusus (penyelenggaraan tugas dan wewenang pemerintahan yang secara konstitusional ada pada pribadi presiden yang bersifat Prorogatif). Dalam kasus ini sesungguhnya presiden sangat diberikan ruang yang cukup untuk menetralisir keadaan dengan cara antara lain pertama, mencabut kembali/menganulir penunjukannya terhadap Budi Gunawan sebagai calon Kapolri meski harus mempertanggungjawabkannya kembali di hadapan DPR. Tentu sangat alasan dasar hukum pasal 8 UU no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Repoblik Indonesia, yang menjelaskan bahwa institusi kepolisian berada di bawah Presiden dan Kapolri bertanggungjawab kepada Presiden. Artinya, dalam perspektif ketatanegaraan, pola hubungan Presiden dengan Kapolri dan seluruh jajaran  kepolisian adalah hubungan antara atasan dan bawahan.
Disisi lain apabila pencabutan kembali penunjukan tersebut di lakukan tentu akan ada pihak yang dikorbankan (Victim), salah satunya adalah Budi Gunawan itu sendiri, mengingat dalam Hukum Pidana Indonesia menganut paham Asas praduga tak bersalah (Presumption of Innocence) yang memungkinkan seseorang menduduki suatu jabatan hingga sampai pada putusan hakim apakah seseorang terbukti bersalah atau sebaliknya yang telah berkekuatan hukum tetap ((inkracht van gewijsde). Akan tidak begitu elegan ketika masyarakat harus menunggu hingga sampai babak akhir pembuktian oleh seorang Budi Gunawan untuk mementahkan tuduhan yang ditujukan padanya dalam sidang Pra Peradilan yang diajukan Mabes Polri terkait penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka demi mendapatkan SP3 dan selanjutnya dilantik menjadi seorang Kapolri. Patut diingat bahwa KPK dalam menangani setiap kasus Korupsi tidak sekalipun mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kepada setiap orang yang diduga terlibat dalam hal Korupsi. Itulah mengapa dikatakan bahwa Presiden harus mengambil langkah BERANI. Kedua, presiden harus menyelamatkan KPK dengan cara apapun termasuk memberikan peringatan keras kepada kepolisian negara untuk bersikap lebih bijaksana dan objektif (dengan ketentuan tidak mendikte proses Hukum), terhadap penangkapan yang di lakukan oleh Kepolisian terhadap Bambang Widjojanto yang adalah elit KPK karena bukan tidak mungkin banyak cela yang akan di manfaatkan oknum-oknum yang tidak menghendaki Indonesia bersih dari tindak pidana korupsi dengan meruncing ketegangan yang sedang terjadi dan berusaha mengkriminalisasikan pihak-pihak tertentu.

Penguasa harus Bermoral

Pada masa kepemimpinan SBY dengan dinamika hukum dan politik yang antara prestasi dan kegagalan, nampak satu hal positif yang patut menjadi contoh bagi setiap pejabat/calon pejabat bangsa ini, bahwa akan menjadi sangat memalukan apabilah memimpin suatu Lembaga, kementrian ataupun institusi dengan menyandang status sebagai tersangka, terlebih apabila lembaga tersebut merupakan lembaga terhormat untuk menegakan Hukum. Maka mundur dari jabatan atau tugas yang telah diberikan adalah hal yang tidak terlalu memalukan. Dari sini moral terasa sangat penting. Apabila mengejawantakan 3 dimensi Tahapan Perkembangan moral menurut Lawrence Kohlberg dalam Disertasi doktoralnya yakni Tingkat 1 Pra-Konvensional (Orientasi kepatuhan, hukuman, serta minat pribadi), Tingkat 2 Konvensional (Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas serta Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosia), Tingkat 3 Pasca-Konvensional (Orientasi kontrak sosial dan Prinsip etika universal), tentu akan sangat indah ketika pemimpin bangsa ini ada pada tingkatan Pasca-konvensional, yang pada intinya Keputusan yang dilakukan dan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional. Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama. Karena itu tindakan yang diambil adalah hasil konsensus, dengan cara ini tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; sebagai contoh bahwa seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya.
Kendatipun seruan moral terus bergemah, aksi penolakan bahkan caci maki rakyat sebagai aksi kekecewaan, nama pilihan untuk mundur sepertinya memang belum menjadi tradisi bagi para pejabat di negeri ini yang tersangkut sebuah kasus hukum. Ketamakan, kerakusan dan keserakahan menjadi sesuatu yang sudah biasa. Bangsa ini memerlukan pemimpin yang bermartabat, pemimpin yang bermoral, pemimpin yang mau berbesar hati mengakui kesalahan. Bukan sebaliknya mengejar kursi empuk belakang meja penuh dengan balutan hiasan dosa sang pemilik.