“Keadilan sebagai Sakramen
Hukum”
Oleh
Yosep Copertino
Apaut, SH
Mahasiswa Ilmu Hukum Program Pascasarjana Undana
Keadilan (Justice) pada prinsipnya merupakan
keseimbangan antara kewajiban dan Hak yang patut diterima oleh setiap manusia sebagai
milik pribadi, tanpa batasan dengan alasan apapun. Keseimbangan rasa adil
tersebut mengandung nilai yang berlaku Universal. Keadilan baru dapat dikatakan
bersifat universal manakala pemenuhannya mencakup semua persoalan keadilan sosial
dan individual yang muncul, termasuk universal dalam proses penerapannya yang berlaku
bagi seluruh anggota masyarakat. Umumnya keadilan bisa bersifat subjektif
dan bisa individualistis, artinya tidak bisa disama ratakan. Karena adil bagi
si A belum tentu adil bagi si B, maka “rasa keadilan”
harus merujuk kepada berbagai pertimbangan psikologis dan sosiologis untuk
memenuhi konsep adil yang hakiki. Sejak awal, Aristoteles seorang filsuf
yang pertama kali merumuskan arti keadilan mengatakan bahwa, keadilan adalah memberikan
kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (fiat jutitia bereat mundus). Selanjutnya keadilan dibagi menjadi
dua bentuk yaitu: Pertama, keadilan
distributif, yaitu keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang,
distribusinya memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat
menurut prinsip kesamaan proporsional (keadilan berdasarkan besarnya jasa yang
diberikan). Kedua, keadilan korektif,
yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi (keadilan
berdasarkan persamaan hak tanpa melihat besarnya jasa yang diberikan).
Sementara itu, dalam konteks filsafat hukum terdapat banyak perbedaan terkait
keadilan semisal, penganut paradigma Hukum Alam yang meyakini bahwa alam
semesta diciptakan dengan prinsip keadilan, sehingga dikenal antara lain
Stoisisme norma hukum alam primer yg bersifat umum menyatakan “Berikanlah
kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (unicuique suum tribuere), dan jangan merugikan seseorang (neminem laedere)”.
Pendapat lain diuraikan Hans Kelsen, dari segi kecocokan dengan hukum positif-terutama
kecocokan dengan undang-undang. Kelsen menggangap sesuatu yang adil hanya
mengungkapkan nilai kecocokan relative dengan suatu norma. “adil” hanya kata
lain dari “benar”. Dengan kata lain Kelsen menaruh rasa adil pada undang-undang
(Legal Formal) semata. Secara praktis,
dalam hubungan antara individu dengan negara, keadilan dapat dipahami sebagai
terpenuhinya kebutuhan masyarakat secara nyata dari negara/pemerintah
(keseluruhan sistem yang kompleks) dengan tidak mengabaikan kewajiban dari masyarakat.
Hak dan kewajiban Yang dimaksudkan adalah “negara menjalankan hak dan
kewajibannya, begitupun masyarakat menjalankan hak dan kewajibannya”. Meskipun
demikian, Indikator pemenuhan kebutuhan dari negara kepada masyarakat sebagai
individu harus lebih jelas terlihat (lebih responsif) manakala setiap
orang dalam negara telah menerima apa yang menjadi haknya secara utuh.
Pencapaian Sakramen
Hukum
Martabat hukum terletatak pada dasar, proses dan
finalisasi pelaksanaan yang secara pasti dan meyakinkan memberi muatan nilai,
moral dan keadilan yang tak terbantahkan dengan sekedar teori, apalagi dengan
memandang keadilan secara sepihak yang hanya didapat dalam bentuk “teks hukum”.
Adil pada titik lain ibarat “sakramen”
yang bermakna suci. Kata “sakramen” berasal dari bahasa Latin
yaitu “sacramentum” yang secara harfiah berarti "menjadikan
suci". Konsekuensi logis darinya adalah bahwa jiwa dari hukum ada pada
manusia, keadilan tidak sekedar kebutuhan yang layak untuk diperjuangkan,
melaikan sesuatu yang dalam keabstrakannya memiliki nilai keilahian yang “telah
dimiliki” sejak mulanya. untuk mencapai keadilan hakiki, hukum harus terlepas
dari kekangan, baik kekangan penguasa politik, maupun kekangan hukum yang kaku.
Karena kekangan yang tak berujung, maka hukum harus Progresif dalam segalah
aspek, tidak terkecuali dalam proses pencarian keadilan. Alasan sederhana untuk
menerobos kekakuan hukum di ungkapkan maestro Hukum progresif Indonesia, Prof. Satjipto
Rahardjo, yang secara
meyakinkan memberikan gambaran bahwa Hukum progresif adalah gerakan pembebasan
karena ia bersifat cair dan senantiasa gelisah melakukan pencarian dari satu
kebenaran ke kebenaran selanjutnya. Kajian ini juga diungkapkan pengikut
setianya asal Nusa Tenggara Timur, Bernard
L. Tanya. Bernard selalu menyeruhkan dan mengingatkan bahwa Hukum progresif
adalah hukum dengan semangat berbuat yang terbaik bagi masyarakat, bangsa, dan
negara. Hukum progresif menghendaki manusia jujur. Berani keluar dari tatanan
merupakan salah satu cara mencari dan membebaskan.
Lawrence
Friedman mengemukan
3 sistem sistem hukum antara lain: Substansi
Hukum yang adalah norma (aturan, keputusan) hasil dari produk hukum, Struktur Hukum yang adalah sistem
kelembagaan negara/pranata hukum yang konsepnya untuk memberikan pelayanan dan
penegakan hukum, serta Budaya Hukum yang
adalah ide , perilaku , keinginan , pendapat dan nilai-nilai yang berkaitan dengan
hukum (aspek positif/negatif), yang secara langsung memberikan gambaran tentang
bagaimana hukum semestinya dijalankan. Bertalian dengannya, apabila
diejawantakan dengan pemikiran ala Prof.
Tjip dengan pendekatan hukum progresif, maka tidaklah berlebihan ketika proses
penegakan hukum Indonesia dituntut untuk memenuhi aspek kejujuran, etika, martabat,
dan yang paling penting adalah nurani dalam satu bingkai utama yakni “Moralitas Hukum”. Pada titik ini, aspek
struktur hukum menjadi hal yang paling disorot dalam perilaku berhukum
Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh kuat “Legal Positivism” mengarahkan para penegak hukum untuk bermain
dirana yang sakral, untuk menentukan sikap bersalah tidaknya suatu perbuatan
hukum berdasarkan kehendak aturan tanpa pertimbangan lain yang sesungguhnya memiliki
nilai moral dan kesempatan berbenah diri bagi setiap orang yang terlibat dalam
kasus hukum.
Hukum Indonesia saat ini
Sangat dibernakan bahwa dalam penegakan hukum bangsa
ini merujuk pada tiga unsur, yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Cita
hukum awalnya menjadi sesuatu yang sangat indah untuk dibahas, tidak saja para
akademisi, namun menjadi perbincangan bersama seluruh rakyat. Akan tetapi yang
terjadi justru aspek kepastian hukum menjadi dewa, yang seakan disucikan dengan
tidak lagi menggandeng aspek kemanfaatan hukum untuk mencapai nilai sakral dari
hukum yaitu keadilan. Praktek hukum semacam ini tentu bertolak belakang dengan
pandangan Kaum Utilitarian yang
dipelopori oleh Jeremy Bentham, sebagai pendukung teori kegunaan, bahwa tujuan hukum
harus berguna bagi masyarakat untuk mencapai kebahagiaan sebesar-besarnya. Pandangan
ini bukan tanpa alasan, jelas terlihat bahwa masyarakat dalam keberagamannya
telah mempercayakan seluruh kehidupannya kepada negara untuk mengatur dan
menjamin seluruh kebutuhannya. Konsekuensi logis darinya adalah bahwa negara
mengemban tanggungjawab moral untuk membahagiakan setiap individu lewat kebijakan,
putusan (Preseden) yang secara
keseluruhan memberi efek kepercayaan publik pada pemerintah (penegak hukum dan
pemangku kebijakan). Karena alasan kepercayaan dari masyarakat, maka penegak hukum
dalam menyelesaikan suatu permasalahan harus mulai dari tujuan luhur dari hukum
yaitu Keadilan. Pada hakekatnya, masyarakat akan selalu berusaha mencapai titik
adil dalam setiap proses sepanjang hidupannya sebagai warga negara, maka
penegak hukum wajib memberikan keadilan sebesar-besarnya kepada masyarakat bukan
sebagai bentuk penghormatan semu terhadap permintaan masyarakat yang datang
dalam bentuk desakan dan protes, akan tetapi dengan dasar bahwa kekadilan
adalah sesuatu yang suci yang patut diberikan pada setiap warga negara. Maka satu
hal penting yang harus dilakukan oleh para penegak hukum adalah “jangan takut
menerobos sistem hukum yang kaku. Jadilah obor penerang kala mentari hukum
tidak lagi bersinar, karena didepan sana ada Keadilan yang patut di
perjuangkan, sebab keadilan adalah suci”.