Kamis, 12 Februari 2015

Telaah atas ketegangan POLRI Vs KPK TAHUN 2015


“Apakah Presiden Sedang Ketakutan?”
(Telaah atas ketegangan POLRI Vs KPK)
Oleh
Yosep Copertino Apaut, SH
Mahasiswa Ilmu Hukum Program Pascasarjana Undana

Inilah pertanyaan yang terbesit dalam benak khalayak banyak terkait dengan suasana tegang antara Polri Vs KPK yang terkesan tidak bisa di kendalikan oleh Presiden. Entah sampai kapan ketegangan ini berakhir dan apa yang akan di lakukan presiden sebagai pucuk pimpinan bangsa ini, mengingat saat sekarang masyarakat indonesia seakan bingung untuk memilih dan lebih untuk menyuarakan Mosi Tidak Percaya terhadap dua lembaga yang sangat berpengaruh itu. Persoalan yang lain yang akan muncul manakala akibat dari sibuk untuk saling menyerang, baik KPK maupun POLRI secara tidak langsung akan melupakan hal yang lebih penting yakni penegakan hukum.
Masi sangat segar dalam ingatan kita saat Presiden Jokowi atas dasar hak prerogatif yang dimilikinya, mengajukan calon tunggal Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri), Budi Gunawan, menggantikan Kapolri Sutarman yang dipilih Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menuai polemik. Banyak kalangan menolak penetapan tersebut karena menganggap Komjen Budi Gunawan bermasalah. Penolakan makin menjadi ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Budi Gunawan menjadi tersangka dugaan kasus tindak pidana korupsi. Jokowi terkesan tidak mampu berbuat banyak untuk mencabut penunjukan Budi Gunawan oleh dirinya sebagai Kapolri dan hanya memilih untuk menunda pelantikan mantan ajudan Megawati Soekarnoputri semasa menjadi Presiden RI, dengan alasan tepat bahwa penunjukan Budi Gunawan telah disetujui dalam sidang paripurna DPR RI.
Pada titik yang lain dengan ditetapkannya Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK yang berdampak pada penundaan pelantikannya oleh presiden, seakan menabuh genderang perang melawan institusi kepolisian. Aksi saling cari kesalahan, saling menuding hingga sampai pada penangkapan elit KPK oleh Kepolisian akhirnya dilakukan seakan memberi pertanda balasan akan tindakan KPK sebelumnya. Kedua lembaga terhormat saling sikut untuk merebut simpati rakyat dan elit bangsa ini dengan sesekali memberi sinyal pengharapan dukungan.

Peran Presiden untuk menyelamatkan serta Mengintervensi Konflik antar lembaga Negara.

Dalam keadaan seperti ini ketegasan sikap seorang Jokowi sangat dibutuhkan untuk menghentikan polemik yang terjadi antara KPK dengan Polri, mengingat perang antar lembaga negara akan berpotensi menyeret lembaga-lembaga lain ikut serta dalamnya. Hal yang sangat tidak diinginkan adalah bahwa ego dari masing-masing lembaga akan lebih dikedepankan. Dalam bingkai Ilmu Hukum Ketatanegaraan, secara sederhana telah digambarkan tentang tugas dan wewenang seorang presiden yang termuat dalam UUD 1945 Pasal 4 Ayat (1) dan teori pembagian kekuasaan, yang di sebutkan bahwa yang di maksud dengan kekuasaan pemerintahan adalah Kekuasaan Eksekutif, yang oleh Bagir Manan kekuasaan Eksekutif dibagi dalam dua hal penting, antara lain, pertama, kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat umum (terkait dengan tugas dan wewenang yang luas termasuk kegiatan administrasi negara) dan Kedua kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat khusus (penyelenggaraan tugas dan wewenang pemerintahan yang secara konstitusional ada pada pribadi presiden yang bersifat Prorogatif). Dalam kasus ini sesungguhnya presiden sangat diberikan ruang yang cukup untuk menetralisir keadaan dengan cara antara lain pertama, mencabut kembali/menganulir penunjukannya terhadap Budi Gunawan sebagai calon Kapolri meski harus mempertanggungjawabkannya kembali di hadapan DPR. Tentu sangat alasan dasar hukum pasal 8 UU no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Repoblik Indonesia, yang menjelaskan bahwa institusi kepolisian berada di bawah Presiden dan Kapolri bertanggungjawab kepada Presiden. Artinya, dalam perspektif ketatanegaraan, pola hubungan Presiden dengan Kapolri dan seluruh jajaran  kepolisian adalah hubungan antara atasan dan bawahan.
Disisi lain apabila pencabutan kembali penunjukan tersebut di lakukan tentu akan ada pihak yang dikorbankan (Victim), salah satunya adalah Budi Gunawan itu sendiri, mengingat dalam Hukum Pidana Indonesia menganut paham Asas praduga tak bersalah (Presumption of Innocence) yang memungkinkan seseorang menduduki suatu jabatan hingga sampai pada putusan hakim apakah seseorang terbukti bersalah atau sebaliknya yang telah berkekuatan hukum tetap ((inkracht van gewijsde). Akan tidak begitu elegan ketika masyarakat harus menunggu hingga sampai babak akhir pembuktian oleh seorang Budi Gunawan untuk mementahkan tuduhan yang ditujukan padanya dalam sidang Pra Peradilan yang diajukan Mabes Polri terkait penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka demi mendapatkan SP3 dan selanjutnya dilantik menjadi seorang Kapolri. Patut diingat bahwa KPK dalam menangani setiap kasus Korupsi tidak sekalipun mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kepada setiap orang yang diduga terlibat dalam hal Korupsi. Itulah mengapa dikatakan bahwa Presiden harus mengambil langkah BERANI. Kedua, presiden harus menyelamatkan KPK dengan cara apapun termasuk memberikan peringatan keras kepada kepolisian negara untuk bersikap lebih bijaksana dan objektif (dengan ketentuan tidak mendikte proses Hukum), terhadap penangkapan yang di lakukan oleh Kepolisian terhadap Bambang Widjojanto yang adalah elit KPK karena bukan tidak mungkin banyak cela yang akan di manfaatkan oknum-oknum yang tidak menghendaki Indonesia bersih dari tindak pidana korupsi dengan meruncing ketegangan yang sedang terjadi dan berusaha mengkriminalisasikan pihak-pihak tertentu.

Penguasa harus Bermoral

Pada masa kepemimpinan SBY dengan dinamika hukum dan politik yang antara prestasi dan kegagalan, nampak satu hal positif yang patut menjadi contoh bagi setiap pejabat/calon pejabat bangsa ini, bahwa akan menjadi sangat memalukan apabilah memimpin suatu Lembaga, kementrian ataupun institusi dengan menyandang status sebagai tersangka, terlebih apabila lembaga tersebut merupakan lembaga terhormat untuk menegakan Hukum. Maka mundur dari jabatan atau tugas yang telah diberikan adalah hal yang tidak terlalu memalukan. Dari sini moral terasa sangat penting. Apabila mengejawantakan 3 dimensi Tahapan Perkembangan moral menurut Lawrence Kohlberg dalam Disertasi doktoralnya yakni Tingkat 1 Pra-Konvensional (Orientasi kepatuhan, hukuman, serta minat pribadi), Tingkat 2 Konvensional (Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas serta Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosia), Tingkat 3 Pasca-Konvensional (Orientasi kontrak sosial dan Prinsip etika universal), tentu akan sangat indah ketika pemimpin bangsa ini ada pada tingkatan Pasca-konvensional, yang pada intinya Keputusan yang dilakukan dan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional. Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama. Karena itu tindakan yang diambil adalah hasil konsensus, dengan cara ini tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; sebagai contoh bahwa seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya.
Kendatipun seruan moral terus bergemah, aksi penolakan bahkan caci maki rakyat sebagai aksi kekecewaan, nama pilihan untuk mundur sepertinya memang belum menjadi tradisi bagi para pejabat di negeri ini yang tersangkut sebuah kasus hukum. Ketamakan, kerakusan dan keserakahan menjadi sesuatu yang sudah biasa. Bangsa ini memerlukan pemimpin yang bermartabat, pemimpin yang bermoral, pemimpin yang mau berbesar hati mengakui kesalahan. Bukan sebaliknya mengejar kursi empuk belakang meja penuh dengan balutan hiasan dosa sang pemilik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar