“Apakah
Presiden Sedang Ketakutan?”
(Telaah atas ketegangan POLRI Vs KPK)
Oleh
Yosep
Copertino Apaut, SH
Mahasiswa Ilmu Hukum Program Pascasarjana Undana
Inilah pertanyaan yang terbesit dalam
benak khalayak banyak terkait dengan suasana tegang antara Polri Vs KPK yang
terkesan tidak bisa di kendalikan oleh Presiden. Entah sampai kapan ketegangan
ini berakhir dan apa yang akan di lakukan presiden sebagai pucuk pimpinan
bangsa ini, mengingat saat sekarang masyarakat indonesia seakan bingung untuk
memilih dan lebih untuk menyuarakan Mosi
Tidak Percaya terhadap dua lembaga yang sangat berpengaruh itu. Persoalan
yang lain yang akan muncul manakala akibat dari sibuk untuk saling menyerang,
baik KPK maupun POLRI secara tidak langsung akan melupakan hal yang lebih
penting yakni penegakan hukum.
Masi
sangat segar dalam ingatan kita saat Presiden Jokowi atas dasar hak prerogatif
yang dimilikinya, mengajukan calon tunggal Kepala Polisi Republik Indonesia
(Kapolri), Budi Gunawan, menggantikan Kapolri Sutarman yang dipilih Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono menuai polemik. Banyak kalangan menolak penetapan
tersebut karena menganggap Komjen Budi Gunawan bermasalah. Penolakan makin
menjadi ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Budi Gunawan menjadi
tersangka dugaan kasus tindak pidana korupsi. Jokowi terkesan tidak mampu
berbuat banyak untuk mencabut penunjukan Budi Gunawan oleh dirinya sebagai
Kapolri dan hanya memilih untuk menunda pelantikan mantan ajudan Megawati
Soekarnoputri semasa menjadi Presiden RI, dengan alasan tepat bahwa penunjukan
Budi Gunawan telah disetujui dalam sidang paripurna DPR RI.
Pada
titik yang lain dengan ditetapkannya Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK
yang berdampak pada penundaan pelantikannya oleh presiden, seakan menabuh genderang
perang melawan institusi kepolisian. Aksi saling cari kesalahan, saling
menuding hingga sampai pada penangkapan elit KPK oleh Kepolisian akhirnya
dilakukan seakan memberi pertanda balasan akan tindakan KPK sebelumnya. Kedua
lembaga terhormat saling sikut untuk merebut simpati rakyat dan elit bangsa ini
dengan sesekali memberi sinyal pengharapan dukungan.
Peran Presiden untuk menyelamatkan serta Mengintervensi
Konflik antar lembaga Negara.
Dalam
keadaan seperti ini ketegasan sikap seorang Jokowi sangat dibutuhkan untuk
menghentikan polemik yang terjadi antara KPK dengan Polri, mengingat perang
antar lembaga negara akan berpotensi menyeret lembaga-lembaga lain ikut serta
dalamnya. Hal yang sangat tidak diinginkan adalah bahwa ego dari masing-masing lembaga
akan lebih dikedepankan. Dalam bingkai Ilmu Hukum Ketatanegaraan, secara
sederhana telah digambarkan tentang tugas dan wewenang seorang presiden yang
termuat dalam UUD 1945 Pasal 4 Ayat (1) dan teori pembagian kekuasaan, yang di
sebutkan bahwa yang di maksud dengan kekuasaan pemerintahan adalah Kekuasaan
Eksekutif, yang oleh Bagir Manan
kekuasaan Eksekutif dibagi dalam dua hal penting, antara lain, pertama, kekuasaan penyelenggaraan
pemerintahan yang bersifat umum (terkait dengan tugas dan wewenang yang luas
termasuk kegiatan administrasi negara) dan Kedua
kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat khusus (penyelenggaraan
tugas dan wewenang pemerintahan yang secara konstitusional ada pada pribadi
presiden yang bersifat Prorogatif). Dalam kasus ini sesungguhnya presiden
sangat diberikan ruang yang cukup untuk menetralisir keadaan dengan cara antara
lain pertama, mencabut kembali/menganulir
penunjukannya terhadap Budi Gunawan sebagai calon Kapolri meski harus
mempertanggungjawabkannya kembali di hadapan DPR. Tentu sangat alasan dasar
hukum pasal 8 UU no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Repoblik Indonesia,
yang menjelaskan bahwa institusi kepolisian berada di bawah Presiden dan
Kapolri bertanggungjawab kepada Presiden. Artinya, dalam perspektif
ketatanegaraan, pola hubungan Presiden dengan Kapolri dan seluruh jajaran kepolisian adalah hubungan antara atasan dan
bawahan.
Disisi
lain apabila pencabutan kembali penunjukan tersebut di lakukan tentu akan ada
pihak yang dikorbankan (Victim),
salah satunya adalah Budi Gunawan itu sendiri, mengingat dalam Hukum Pidana
Indonesia menganut paham Asas praduga tak bersalah (Presumption of Innocence) yang memungkinkan seseorang menduduki
suatu jabatan hingga sampai pada putusan hakim apakah seseorang terbukti
bersalah atau sebaliknya yang telah berkekuatan hukum tetap ((inkracht van gewijsde). Akan
tidak begitu elegan ketika masyarakat harus menunggu hingga sampai babak akhir
pembuktian oleh seorang Budi Gunawan untuk mementahkan tuduhan yang ditujukan
padanya dalam sidang Pra Peradilan yang diajukan Mabes Polri terkait penetapan
Budi Gunawan sebagai tersangka demi mendapatkan SP3 dan selanjutnya dilantik
menjadi seorang Kapolri. Patut diingat bahwa KPK dalam menangani setiap kasus
Korupsi tidak sekalipun mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kepada setiap orang yang diduga terlibat dalam hal Korupsi. Itulah
mengapa dikatakan bahwa Presiden harus mengambil langkah BERANI. Kedua, presiden
harus menyelamatkan KPK dengan cara apapun termasuk memberikan peringatan keras
kepada kepolisian negara untuk bersikap lebih bijaksana dan objektif (dengan
ketentuan tidak mendikte proses Hukum), terhadap penangkapan yang di lakukan
oleh Kepolisian terhadap Bambang Widjojanto yang adalah elit KPK karena bukan tidak mungkin
banyak cela yang akan di manfaatkan oknum-oknum yang tidak menghendaki
Indonesia bersih dari tindak pidana korupsi dengan meruncing ketegangan yang
sedang terjadi dan berusaha mengkriminalisasikan pihak-pihak tertentu.
Penguasa harus Bermoral
Pada
masa kepemimpinan SBY dengan dinamika hukum dan politik yang antara prestasi
dan kegagalan, nampak satu hal positif yang patut menjadi contoh bagi setiap
pejabat/calon pejabat bangsa ini, bahwa akan menjadi sangat memalukan apabilah
memimpin suatu Lembaga, kementrian ataupun institusi dengan menyandang status
sebagai tersangka, terlebih apabila lembaga tersebut merupakan lembaga
terhormat untuk menegakan Hukum. Maka mundur dari jabatan atau tugas yang telah
diberikan adalah hal yang tidak terlalu memalukan. Dari sini moral terasa
sangat penting. Apabila mengejawantakan 3 dimensi Tahapan Perkembangan moral
menurut Lawrence Kohlberg dalam
Disertasi doktoralnya yakni Tingkat 1
Pra-Konvensional (Orientasi kepatuhan, hukuman, serta minat pribadi), Tingkat 2 Konvensional (Orientasi
keserasian interpersonal dan konformitas serta Orientasi otoritas dan
pemeliharaan aturan sosia), Tingkat 3 Pasca-Konvensional (Orientasi
kontrak sosial dan Prinsip etika universal),
tentu akan sangat indah ketika pemimpin bangsa ini ada pada tingkatan
Pasca-konvensional, yang pada intinya Keputusan yang dilakukan dan dihasilkan
secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara
kondisional. Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan
seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila
berpikiran sama. Karena itu tindakan yang diambil adalah hasil konsensus,
dengan cara ini tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil;
sebagai contoh bahwa seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena
ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya.
Kendatipun
seruan moral terus bergemah, aksi penolakan bahkan caci maki rakyat sebagai
aksi kekecewaan, nama pilihan untuk mundur sepertinya memang belum menjadi
tradisi bagi para pejabat di negeri ini yang tersangkut sebuah kasus hukum.
Ketamakan, kerakusan dan keserakahan menjadi sesuatu yang sudah biasa. Bangsa
ini memerlukan pemimpin yang bermartabat, pemimpin yang bermoral, pemimpin yang
mau berbesar hati mengakui kesalahan. Bukan sebaliknya mengejar kursi empuk
belakang meja penuh dengan balutan hiasan dosa sang pemilik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar