Minggu, 15 Maret 2015

“HUKUMAN MATI” Antara Kebutuhan Dan Hak Kodrati



“HUKUMAN MATI” Antara Kebutuhan Dan Hak Kodrati
Oleh
Yosep Copertino Apaut, SH
Mahasiswa Ilmu Hukum Program Pascasarjana Undana

Hukuman mati menjadi hal yang sangat kontroversial dalam penerapannya. Indonesia adalah negara yang sampai saat ini masih menerapkan hukuman mati. Penerapan hukuman mati tersebut berawal dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Wetboek van Strafrecht (WvS) pada masa kolonial Belanda. Undang-undang itu disahkan 1 Januari 1918 setelah dilakukannya unifikasi terhadap seluruh hukum pidana bagi golongan penduduk Hindia Belanda. Secara nyata, walaupun amandemen kedua konstitusi UUD ’45, pasal 28 ayat 1, menyebutkan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, dan lainnya merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, akan tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati. Kejahatan yang diancam hukuman mati yang terdapat dalam KUHP dan UU lainnya, misalnya, perbuatan makar (Pasal 104 KUHP) dan tindak pidana pembunuhan berencana (Pasal 340). Kemudian beberapa UU juga mengatur tentang penerapan hukuman mati. Misalnya, UU No 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme, UU No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UU No 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika dan UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Dengan tujuan awal pemberlakuan hukuman mati adalah untuk memberikan efek jera.
Di Indonesia, sudah banyak orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP bekas /peninggalan kolonial Belanda. Contoh kasus: pada tanggal 20 Maret 2005 pukul 01.15 WIB dini hari di suatu tempat rahasia di Jawa Timur, Astini (perempuan berusia 50 tahun), terpidana hukuman mati karena kasus pembunuhan dieksekusi dalam posisi duduk oleh 12 anggota regu tembak. 6 di antaranya diisi peluru tajam Brimob Polda Jatim dari jarak 5 meter Eksekusi ini mengakhiri masa penantian Astini yang sia-sia setelah seluruh proses hukum untuk membatalkan hukuman mati telah tertutup ketika Presiden Megawati menolak memberikan grasi pada tanggal 9 Juli 2004 Astini merupakan orang pertama yang dieksekusi di Indonesia pada tahun 2005. Berikutnya Turmudi bin Kasturi (pria, 32 tahun) di Jambi pada tanggal 13 Mei 2005 Turmudi dihukum mati karena melakukan pembunuhan terhadap 4 orang sekaligus di Jambi pada tanggal 12 Maret 1997. Turmudi mati di hadapan 12 personel Brimob Polda Jambi. Yang sangat membekas adalah pada tahun 2006, dimana Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu dieksekusi di Palu, Sulawesi Tengah. Mereka divonis sebagai dalang utama kerusuhan horisontal yang terjadi di Poso 1998-2000. Kasus ini sangat kontroversial, mengingat proses peradilan terhadap mereka yang bertentangan dengan prinsip “fair trial”. Eksekusi terhadap mereka menuai reaksi publik yang begitu intens (baik itu pro maupun kontra), hingga hasil pasca eksekusi yang juga penuh dengan aksi kekerasan.

Kebutuhan Hukum Dan Hak Kodrati
Kebingungan jelas terlihat, manakala timbul banyak pertentangan dan sekaligus mengundang pertanyaan, apakah hukuman mati menjadi kebutuhan bangsa indonesia disaat sekarang ataukah justru melanggar kodrat sebagai suatu ciptaan agung yang tidak layak untuk di eksekusi tangan manusia karena hanya Tuhan yang berhak mencabut nyawa seseorang. sejak dahulu Tidak ada yang tahu sejak kapan hukuman mati diberlakukan. Namun menurut sejarah, hukuman mati sudah berlaku pada 399 SM, sewaktu Socrates divonis mati oleh pengadilan Athena karena dinilai telah meracuni pikiran generasi muda dengan ajaran-ajarannya serta sikap atheismenya. Semenjak itu, tren hukuman mati menjadi Mode/Trend dalam kehidupan berhukum setiap bangsa. Pada masa sekarang tentu sudah banyak negara yang telah melakukan abolisi (menghapus) hukuman mati dengan berbagai alasan dan argumentasi, mulai dari pertimbangan kemanusiaan hingga sampai pada tingkatan rasio hukum yang menguntungkan bagi setiap orang. Namun masi terdapat negara-negara yang tetap mempertahankan Hukuman mati sebagai bagian dari jenis putusan peradilan.hukuman mati sebenarnya bisa menjadi benar dan juga sebaliknya bisa menjadi salah.
Menjadi benar apabila, hukuman mati diterapkan terhadap beberapa kasus yang bersifat Extra Ordinary Crimes, semisal narkoba, pelanggaran HAM (pembunuhan berat dengan jumlah yang banyak), terorisme dan juga termasuk Kasus korupsi. Alasan mendasar adalah bahwa betapa lebih besar efek penderitaan yang di alami oleh anak bangsa manakala kejahatan diatas terjadi. Banyak kerugian yang tidak saja menghantam pribadi sebagai individu yang bebas dan merdeka, namun juga menghancurkan bangsa dan segalah penyelenggaraannya. Hukuman mati digunakan tidak semata sebagai pemenuhan efek jerah dan pemberian shock terapi, akan tetapi lebih dari pada itu lebih menjadi suatu bentuk penjamin eksistensi individu dan negara sebagai bangsa yang memiliki martabat moral yang patut dihormati oleh setiap orang (dalam negeri maupun luar negeri). Alasan menjadi Hukum “Pemaaf” tidak akan berakibat banyak, terhadap perlakuan yang telah terjadi. Hukuman mati tidak boleh juga dianggap sebagai bentuk balas dendam terhadap perbuatan kejahatan akan tetatetapi sebagai bentuk pembelajaran aktif dalam menegakan keadilan.  Tentu aspek kemanusiaan juga patut dipertimbangkan para  penegak hukum dalam memberikan putusan sehingga dapat menjatuhkan putusan yang adil.
Menjadi salah apabila, hukuman mati diberikan hanya kepada segelintir orang, seakan hukuman ini hanya diperuntukan bagi masyarakat, sementara bagi pelaku kejahatan besar yang nota bene sebagai pejabat justru tidak diberikan hukuman mati. Sebagai contoh, dalam UU No 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi jelas-jelas ditegaskan bahwa pelaku tindak pidana korupsi dapat dijatuhi hukuman matii, namun yang terjadi, justru putusan pengadilan negeri ini tidak berefek jera terhadap perilaku korup. Yang diterima para pelaku korupsi berkisar pidana penjara dan pidana denda semata. Tidak perna terjadi di Indonesia, hukuman mati bagi pelaku korupsi yang akibat perbuatannya secara tidak langsung telah membunuh rakyat secara keseluruhan. Maka jelas, kejahatan korupsi dari tahun ke tahun terus saja meningkat karena negara seakan memberikan ruang yang cukup bagi para penguasa untuk tetap melakukan tindakan korupsi. Kalimat sederhana untuk menggambarkan situasi hukum yang seperti ini adalah bahwa HUKUM TAJAM KE BAWAH, TAPI TUMPUL KE ATAS”. Tidaklah berlebihan manakala setiap orang berteriak meminta penghapusan Pidana mati dalam sistem peradilan negara indonesia karena alasan yang sangat masuk akal, bahwa kehidupan pada kodratnya dimiliki oleh setiap orang sebagai hak yang tidak dapat diambil oleh siapapun termasuk negara kecuali Tuhan.

Rabu, 11 Maret 2015

“PENDIDIKAN POLITIK PEREDAM ISU KONFLIK PILKADA”



“PENDIDIKAN POLITIK PEREDAM ISU KONFLIK PILKADA”
Oleh
Yosep Copertino Apaut, SH
Mahasiswa Ilmu Hukum Program Pascasarjana Undana

Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di suatu negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya bahu-membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara. Lebih dari itu, keduanya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik di suatu negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan yang ada di dalamnya. Jelas bahwa hubungan antara keduanya adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menarik perhatian banyak kalangan. Istilah pendidikan politik dalam Bahasa Inggris sering disamakan dengan istilah political sucialization. Istilah political sosialization jika diartikan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia akan bermakna sosialisasi politik. Dengan menggunakan istilah political sosialization banyak yang mensinonimkan istilah pendidikan politik dengan istilah Sosialisasi Politik, karena keduanya memiliki makna yang hampir sama. Dengan kata lain, sosialisasi politik adalah pendidikan politik dalam arti sempit. Menurut Ramlan Surbakti, dalam memberikan pengertian tentang pendidikan politik harus dijelaskan terlebih dahulu mengenai sosialisasi politik sehingga tidak terkesan ambigu dalam memahami arti Pendidikan Politik. Surbakti berpendapat bahwa: Sosialisasi politik dibagi dua yaitu pendidikan politik dan indoktrinasi politik. Bagi Subekti, Pendidikan politik merupakan suatu proses dialogik diantara pemberi dan penerima pesan. Sementara indoktrinasi politik merupakan proses anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-nilai, norma-norma, dan simbol-simbol politik negaranya dari berbagai pihak dalam sistem politik seperti sekolah, pemerintah, dan partai politik.
Pendapat di atas secara tersirat menyatakan bahwa pendidikan politik merupakan bagian dari sosialisasi politik. Pendidikan politik mengajarkan masyarakat untuk lebih mengenal sistem politik negaranya. Dapat dikatakan bahwa sosialisasi politik adalah proses pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat. Melalui proses sosialisasi politik inilah para anggota masyarakat memperoleh sikap dan orientasi terhadap kehidupan politik yang berlangsung dalam kehidupan bermasyarakat. David Easton dan Jack Dennis dalam bukunya Children in the Political System memberikan batasan mengenai political sosialization yaitu bahwa "Political sosialization is development process which persons acquire arientation and paternsof behaviour”. Pendapat di atas mengungkapkan bahwa pendidikan politik adalah suatu bentuk pendidikan yang dijalankan secara terencana dan disengaja baik dalam bentuk formal maupun informal yang mencoba untuk mengajarkan kepada setiap individu agar sikap dan perbuatannya dapat sesuai dengan aturan-­aturan yang berlaku secara sosial. Dalam hal ini dapat terlihat bahwa pendidikan politik tidak hanya mempelajari sikap dan tingkah laku individu. Namun pendidikan politik mencoba untuk mengaitkan sikap dan tingkah laku individu tersebut dengan stabilitas dan eksistensi sistem politik.
Merujuk pada semua pengertian pendidikan politik yang disampaikan oleh beberapa ahli di atas, pada akhirnya yang dimaksud dengan pendidikan politik adalah suatu upaya sadar yang dilakukan antara pemerintah dan para anggota masyarakat secara terencana, sistematis, dan dialogis dalam rangka untuk mempelajari dan menurunkan berbagai konsep, simbol, hal-hal dan norma-­norma politik dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Secara sederhana dapat kita ambil dua tujuan utama yang dimiliki oleh pendidikan politik. Pertama, dengan adanya pendidikan politik diharapkan setiap individu dapat mengenal dan memahami nilai-nilai ideal yang terkandung dalam sistem politik yang sedang diterapkan. Kedua, bahwa dengan adanya pendidikan politik setiap individu tidak hanya sekedar tahu saja tapi juga lebih jauh dapat menjadi seorang warga negara yang memiliki kesadaran politik untuk mampu mengemban tanggung jawab yang ditunjukkan dengan adanya perubahan sikap dan peningkatan kadar partisipasi dalam dunia politik.

Peran Pendidikan politik terhadap isu Konflik Pilkada
menjelang pilkada serentak di Indonesia termasuk beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur, tentu hal yang paling penting untuk  diperhatikan adalah isu konflik yang soyogianya mesti telah diprediksi jauh sebelum proses Pilkada berlangsung. Peran pendidikan politik perlu dilaksanakan secara berkesinambungan agar masyarakat Nusa Tenggara Timur dapat terus meningkatkan pemahamannya terhadap dunia politik yang selalu mengalami perkembangan. Pembelajaran pendidikan politik yang terus berlanjut memang menjadi suatu kebutuhan yang sangat diperlukan mengingat masalah-masalah di bidang politik sangat kompleks, bersegi banyak, dan berubah-ubah. Permasalahan yang berpotensi memicu konflik akan benar-benar terlihat pada saat tahapan persiapan (mulai dari pendaftaran sampai pada verifikasi calon kepala daerah oleh KPU). Dalam tahapan ini saja, akan ada banyak potensi konflik mengingat banyaknya regulasi hukum yang tidak benar-benar menguntungkan beberapa pihak, semisal, pegawai negeri sipil yang harus meninggalkan statusnya sebagai Aparat Sipil Negara, manakala mencalonkan diri untuk ikut terlibat dalam proses Pilkada, sementara bagi TNI/POLRI hanya diberikan cuti dari jabatan/status sebagai anggota TNI/POLRI dan baru mengundurkan diri apabila terpilih sebagai kepala daerah. Tentu massa pendukung yang tidak memiliki dasar pendidikan politik akan mudah untuk disulut amarahnya terkait hal yang mungkin saja dialami oleh jagonya dalam pesta demokrasi yang berlangsung. tahapan proses (Pemilihan kepada daera hingga hasil Pemilihan yang diumumkan KPU). Pada tahapan ini, potensi konflik biasanya dipicuh karena perbedaan pendapat, perbedaan ideologi, perbedaan pandangan politik dan tidak menutup kemungkinan perbedaan gaya menarik simpati yang dianggap negatif semisal Money Politic,dan aksi lainya, yang berujung pada konflik bahkan terkesan kriminal antar massa pendukung. Pada tingkat Pasca Pilkada (gugat-menggugat karena banyaknya alasan yang melatar belakangi persoalan yang terjadi Pilkada). Pasca Pilkada, kecenderungan konflik bahkan aksi kriminal justru dipicuh karena berbagai persoalan yang fariatif, mulai dari DPT yang tidak terdaftar untuk memilih hingga penggelembungan suara yang menguntungkan salah satu pihak. Tentu ada tata cara dalam kehidupan bernegara, yang secara konstitusional diberikan ruang untuk melakukan upaya hukum demi tercapainya keadilan. Dapat diperkirakan bahwa Kurangnya pengetahuan Politik dan pembelajaran politik dari dari masyarakat akan berpotensi pada aksi kriminal, hingga pada tindakan brutal dan anarkis yang dilakukan massa pendukung salah satu pihak yang merasa dirugikan atau misalnya dicurangi oleh oknum-oknum tertentu.
Argumentasi sederhana untuk memberikan gambaran positif tentang pendidikan politik untuk menghadapi pilkada yang sehat dan elegan adalah Pertama, masyarakat mesti memaknai Pilkada sebagai proses berdemokrasi yaitu dengan berpartisipasi langsung dan aktif dalam pengambilan keputusan untuk memilih dan menentukan kepercayaan terkait pemerintahan yang akan dijalankan, dengan tetap memaknai perbedaan pendapat dan perbedaan pilihan sebagai dinamika politik dalam proses pencapaian tujuan bangsa yakni kemakmuran rakyat. Kedua, masyarakat harus menjadi ujung tombak terdepan yang secara objektif dan jujur mengawal proses pilkada demi tercapainya pilkada yang bersih dan elegan, terlepas dari perbedaan yang ada. Ketiga, masyarakat harus memahami bahwa apapun hasil yang dicapai (siapapun yang terpilih dalam Pilkada) merupakan representasi amanah dari masyarakat. Keempat, Masyarakat jangan tersulut amarah apabila terjadi pelanggaran dan kecurangan dalam Pilkada karena negara telah menyediakan ruang terhormat melalui Mahkama Konstitusi (MK) bagi setiap orang/kelompok orang (partai/team sukses) untuk menyalurkan keberatan manakala terjadi pelanggaran dalam pesta demokrasi.