“HUKUMAN MATI” Antara
Kebutuhan Dan Hak Kodrati
Oleh
Yosep Copertino
Apaut, SH
Mahasiswa Ilmu Hukum Program Pascasarjana Undana
Hukuman mati menjadi hal yang sangat
kontroversial dalam penerapannya. Indonesia adalah negara yang sampai saat ini
masih menerapkan hukuman mati. Penerapan hukuman mati tersebut berawal dari
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Wetboek
van Strafrecht (WvS) pada masa kolonial Belanda. Undang-undang itu
disahkan 1 Januari 1918 setelah dilakukannya unifikasi terhadap seluruh hukum
pidana bagi golongan penduduk Hindia Belanda. Secara nyata, walaupun amandemen
kedua konstitusi UUD ’45, pasal 28 ayat 1, menyebutkan: “Hak untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, dan lainnya
merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, akan
tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman
mati. Kejahatan yang diancam hukuman mati yang terdapat dalam KUHP dan UU
lainnya, misalnya, perbuatan makar (Pasal 104 KUHP) dan tindak pidana
pembunuhan berencana (Pasal 340). Kemudian beberapa UU juga mengatur tentang
penerapan hukuman mati. Misalnya, UU No 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana
Terorisme, UU No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UU No 5
Tahun 1997 Tentang Psikotropika dan UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Dengan
tujuan awal pemberlakuan hukuman mati adalah untuk memberikan efek jera.
Di Indonesia, sudah banyak orang
dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP bekas /peninggalan kolonial Belanda. Contoh
kasus: pada tanggal 20 Maret 2005 pukul 01.15 WIB dini hari di suatu tempat
rahasia di Jawa Timur, Astini
(perempuan berusia 50 tahun), terpidana hukuman mati karena kasus pembunuhan
dieksekusi dalam posisi duduk oleh 12 anggota regu tembak. 6 di antaranya diisi
peluru tajam Brimob Polda Jatim dari jarak 5 meter Eksekusi ini mengakhiri masa
penantian Astini yang sia-sia setelah seluruh proses hukum untuk membatalkan
hukuman mati telah tertutup ketika Presiden Megawati menolak memberikan grasi
pada tanggal 9 Juli 2004 Astini merupakan orang pertama yang dieksekusi di
Indonesia pada tahun 2005. Berikutnya Turmudi bin Kasturi (pria, 32 tahun) di
Jambi pada tanggal 13 Mei 2005 Turmudi
dihukum mati karena melakukan pembunuhan terhadap 4 orang sekaligus di Jambi
pada tanggal 12 Maret 1997. Turmudi mati di hadapan 12 personel Brimob Polda
Jambi. Yang sangat membekas adalah pada tahun 2006, dimana Fabianus Tibo, Dominggus
da Silva, dan Marinus Riwu dieksekusi di Palu,
Sulawesi Tengah. Mereka divonis sebagai dalang utama kerusuhan horisontal yang
terjadi di Poso 1998-2000. Kasus ini sangat kontroversial, mengingat proses
peradilan terhadap mereka yang bertentangan dengan prinsip “fair
trial”. Eksekusi terhadap mereka menuai reaksi publik yang begitu
intens (baik itu pro maupun kontra), hingga hasil pasca eksekusi yang juga
penuh dengan aksi kekerasan.
Kebutuhan
Hukum Dan Hak Kodrati
Kebingungan jelas terlihat, manakala
timbul banyak pertentangan dan sekaligus mengundang pertanyaan, apakah hukuman
mati menjadi kebutuhan bangsa indonesia disaat sekarang ataukah justru
melanggar kodrat sebagai suatu ciptaan agung yang tidak layak untuk di eksekusi
tangan manusia karena hanya Tuhan yang berhak mencabut nyawa seseorang. sejak
dahulu Tidak ada yang tahu sejak kapan hukuman mati diberlakukan. Namun menurut
sejarah, hukuman mati sudah berlaku pada 399 SM, sewaktu Socrates divonis mati
oleh pengadilan Athena karena dinilai telah meracuni pikiran generasi muda
dengan ajaran-ajarannya serta sikap atheismenya. Semenjak itu, tren hukuman
mati menjadi Mode/Trend dalam
kehidupan berhukum setiap bangsa. Pada masa sekarang tentu sudah banyak negara
yang telah melakukan abolisi (menghapus)
hukuman mati dengan berbagai alasan dan argumentasi, mulai dari pertimbangan
kemanusiaan hingga sampai pada tingkatan rasio hukum yang menguntungkan bagi
setiap orang. Namun masi terdapat negara-negara yang tetap mempertahankan
Hukuman mati sebagai bagian dari jenis putusan peradilan.hukuman mati
sebenarnya bisa menjadi benar dan juga sebaliknya bisa menjadi salah.
Menjadi
benar apabila,
hukuman mati diterapkan terhadap beberapa kasus yang bersifat Extra
Ordinary Crimes, semisal narkoba, pelanggaran HAM (pembunuhan berat
dengan jumlah yang banyak), terorisme dan juga termasuk Kasus korupsi. Alasan
mendasar adalah bahwa betapa lebih besar efek penderitaan yang di alami oleh
anak bangsa manakala kejahatan diatas terjadi. Banyak kerugian yang tidak saja
menghantam pribadi sebagai individu yang bebas dan merdeka, namun juga
menghancurkan bangsa dan segalah penyelenggaraannya. Hukuman mati digunakan
tidak semata sebagai pemenuhan efek jerah dan pemberian shock terapi, akan
tetapi lebih dari pada itu lebih menjadi suatu bentuk penjamin eksistensi
individu dan negara sebagai bangsa yang memiliki martabat moral yang patut
dihormati oleh setiap orang (dalam negeri maupun luar negeri). Alasan menjadi
Hukum “Pemaaf” tidak akan berakibat banyak, terhadap perlakuan yang telah
terjadi. Hukuman mati tidak boleh juga dianggap sebagai bentuk balas dendam
terhadap perbuatan kejahatan akan tetatetapi sebagai bentuk pembelajaran aktif
dalam menegakan keadilan. Tentu aspek
kemanusiaan juga patut dipertimbangkan para penegak hukum dalam memberikan putusan sehingga
dapat menjatuhkan putusan yang adil.
Menjadi
salah apabila,
hukuman mati diberikan hanya kepada segelintir orang, seakan hukuman ini hanya
diperuntukan bagi masyarakat, sementara bagi pelaku kejahatan besar yang nota
bene sebagai pejabat justru tidak diberikan hukuman mati. Sebagai contoh, dalam
UU No 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi jelas-jelas ditegaskan bahwa
pelaku tindak pidana korupsi dapat dijatuhi hukuman matii, namun yang terjadi, justru
putusan pengadilan negeri ini tidak berefek jera terhadap perilaku korup. Yang
diterima para pelaku korupsi berkisar pidana penjara dan pidana denda semata.
Tidak perna terjadi di Indonesia, hukuman mati bagi pelaku korupsi yang akibat
perbuatannya secara tidak langsung telah membunuh rakyat secara keseluruhan.
Maka jelas, kejahatan korupsi dari tahun ke tahun terus saja meningkat karena
negara seakan memberikan ruang yang cukup bagi para penguasa untuk tetap
melakukan tindakan korupsi. Kalimat sederhana untuk menggambarkan situasi hukum
yang seperti ini adalah bahwa “HUKUM TAJAM KE BAWAH, TAPI TUMPUL KE ATAS”.
Tidaklah berlebihan manakala setiap orang berteriak meminta penghapusan Pidana
mati dalam sistem peradilan negara indonesia karena alasan yang sangat masuk
akal, bahwa kehidupan pada kodratnya dimiliki oleh setiap orang sebagai hak
yang tidak dapat diambil oleh siapapun termasuk negara kecuali Tuhan.