Jumat, 04 Desember 2015



“INJURI TIME PILKADA” DEMOKRASI DI 9 DESEMBER 2015
Oleh
Yosep Copertino Apaut, SH., MH

9 desember 2015 ditetapkan sebagai tanggal Pemilukada serentak se Indonesia. Pencarian sosok negarawan yang loyal untuk menjalankan amanah rakyat menjadi pekerjaan rumah bagi semua masyarakat bangsa ini untuk menentukan pilihan tepat kepada sosok pemimpin yang tepat pula. Idealnya seorang pemimpin, secara garis besar wajib lulus verifikasi oleh rakyat yang antara lain, matang secara emosional dan politik, loyal, pemerhati ulung, penolong rakyat, serta berjiwa demokrasi sejati. Tercatat dalam sejarah bahwa bangsa ini menjadi bangsa beradab yang diakui  dunia sebagai bangsa yang sangat demokratif dalam hal pencarian langsung sosok penting pemimpin yang berjiwa nasionalis, yang telah dibuktikan dalam beberapa kali PILPRES dan PEMILUKADA yang secara keseluruhan tergolong aman, meskipun terdapat beberapa persoalan yang juga berakhir pada penyelesaian yang relatif baik.
Berbicara tentang demokrasi secara umum dapat digambarkan sebagai bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi juga mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. Kata Demokrasi berasal dari bahasa Yunani (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang terbentuk dari (dêmos) "rakyat" dan (kratos) "kekuatan" atau "kekuasaan". pada abad ke-5 SM kata ini merupakan antonim dari (aristocratie) "kekuasaan elit". Secara teoretis, kedua definisi tersebut saling bertentangan, namun kenyataannya sudah tidak jelas lagi. Di semua pemerintahan demokrasi sepanjang sejarah kuno dan modern, kewarganegaraan demokratis tetap ditempati kaum elit sampai semua penduduk dewasa di sebagian besar negara demokrasi modern benar-benar bebas setelah perjuangan gerakan hak partisipasi politik pada abad ke 19 dan 20, tidak terkecuali indonesia.
DIMENSI DEMOKRASI PANCASILA.
Demokrasi Pancasila di gambarkan sebagai bentuk demokrasi ideal ala Indonesia dengan Bingkai kebhinekaan menjadi syarat mutlak pelaksanaannya. Keikut sertaan masyarakat dalam menentukan arah bangsa menjadi prioritas utama untuk menjadikan negara Indonesia sebagai negara yang berbasis kedaulatan rakyat. Berbicara tentang negara, Santo. Agustinus dalam bukunya “De Civitate Dei” menggambarkan tentang 2 bentuk negara yang ideal yakni “Civitas Terrena” dan “Civitas Dei” yang mana masing-masing digambarkan sebagai negara dengan konsep duniawi (Civitas Terrena), dan sebaliknya negara dengan konsep ketuhanan (Civitas Dei). Indonesia secara tidak langsung berada di antara dua pusaran konsep ini. Landasan rasionalnya adalah bahwa Indonesia pasca orde baru memasuki suatu era pembaharuan dengan semakin meningkatnya keikut sertaan rakyat dalam setiap kebijakan publik, termasuk hal politik. Gambaran sederhana tentang upaya mencapai puncak tertinggi dari suatu negara yang kendatipun dipimpin oleh pemimpin konsep duniawi ala Civitas Terrena akan tetapi tetap memandang jauh pada arah perubahan yang bersumber dari konsep keilahian serta memandang nilai-nilai luhur Pancasila sebagai dasar.
Bertalian dengannya, Frans Magnis Suseno menjelaskan bahwa politik dipandang sebagai strategi dalam memperjuangkan tata tertib sosial  untuk menjadi nilai hidup yang sesuai dengan martabat manusia. Salah satu bentuk kritiknya adalah bahwa Indonesia secara politik memang berupaya untuk mencapai kebaikan umum (bonum commune) akan tetapi politik olehnya masi dianggap sebagai “ bisnis kotor” manakala para elit yang berpolitik hanya berupaya untuk memperkaya diri dan mempertahankan gaya demokrasi elit/dinasti. Mestinya dalam hal politik yang demokratif haruslah mengedepankan tujuan akhir yang luhur dengan cara elegan dan bermartabat tinggi demi mencapai “Solus Populi Suprema Lex” (kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang tidak lain merupakan hukum tertinggi).
Dalam politik praktis, demokrasi Pancasila yang sejati tidak hanya sekedar mengikut sertakan masyarakat untuk memilih pemimpin baginya, akan tetapi lebih dari pada itu, demokrasi Pancasila patut dimaknai sebagai bentuk kebebasan masyarakat untuk memilih sesuai dengan hati nurani, tampa paksaan, tanpa embel-embel tentu juga tanpa ketakutan semu. Selain daripada itu, kebiasaan lama seperti aksi politik uang (Money Politik) serta praktek kontrak politik yang selalu menjadi gaya berpolitik para elit untuk menakut-nakuti rakyat mestinya tidak terjadi pada momen 9 desember 2015 mendatang. Alasan yang paling mendasar untuk melakukan penolakan terhadap aksi ini adalah bahwa mental patriotis serta kepercayaan diri yang cukup dalam pertarungan politik harus menjadi modal awal di samping dukungan partai politik dan simpatisan. Kekuatan politik yang seperti inilah yang akan mencerminkan ideologi demokrasi Pancasila, karena pelaksanaan demokrasi Pancasila yang baik, selain akan berdampak pada proses dan hasil yang baik, juga akan mencerminkan budaya tertib hukum. Terhadap persoalan politik, demokrasi harus tetap menjadi ukuran yang baku dalam perilaku berpolitik, alasan sederhananya karena esensi awal dari kata politik menurut  Aristoteles adalah seni dalam mengatur dan mengurus negara juga termasuk ilmu kenegaraan. Esensi politik inilah yang mestinya diilhami sebagai suatu kebijaksanaan atau tindakan turut serta mengambil bagian dalam urusan kenegaraan atau pemerintahan termasuk penetapan bentuk, tugas, dan lingkup urusan negara.
Tujuan akhir dari apa yang dicita-citakan bangsa Indonesia saat ini adalah mencari sosok negarawan yang tangguh, mampu menjadi bapak, terampil untuk mengambil inisiatif, mampu menentukan langkah, sekaligus contoh hidup bagi setiap rakyat yang dipimpinnya, seorang yang mampu memainkan instrumen-instrumen politik dengan arif, tanpa kekerasan, tekanan, tipuan, manipulasi dan keangkuhan. Bagi masyarakat umum, tentunya momentum 9 desember 2015 mendatang akan menjadi hari kedaulatan rakyat, dimana rakyat akan menentukan sikap untuk memilih tokoh tepat tanpa reputasi sebagai “tukang tipu”, yang selalu peduli, yang selalu terbuka mata dan hatinya untuk rakyat. Karena itu, dengar, lihat, cermati, berpikir, rasakan efek awal dan tentukan pilihan yang tepat sesuai kata hati, sebab momentum ini juga akan sangat berakibat pada proses panjang perjalanan bangsa 5 tahun mendatang menuju terang yang sesungguhnya. Suatu terang dimana hukum selalu ditegakan, keadilan menjadi hal yang tanpa ada tawaran, demokrasi tanpa ketakutan, moral menjadi pengikat semangat perjuangan, pendidikan menjadi suatu keharusan, kesehatan menjadi kewajiban, kesejahteraan bukan sekedar topik perbincangan hangat para elit bangsa, kemiskinan dan kekeringan menjadi prioritas utama dalam pekerjaan sebagai pemimpin, sebab “sumber air su dekat” sejauh ini hanya sebatas slogan dan retorika politik untuk menutup fakta yang sesungguhnya banhwa “sumber air masi sangat jauh”.