“INJURI TIME PILKADA”
DEMOKRASI DI 9 DESEMBER 2015
Oleh
Yosep Copertino
Apaut, SH., MH
9 desember 2015
ditetapkan sebagai tanggal Pemilukada serentak se Indonesia. Pencarian sosok
negarawan yang loyal untuk menjalankan amanah rakyat menjadi pekerjaan rumah
bagi semua masyarakat bangsa ini untuk menentukan pilihan tepat kepada sosok
pemimpin yang tepat pula. Idealnya seorang pemimpin, secara garis besar wajib
lulus verifikasi oleh rakyat yang antara lain, matang secara emosional dan
politik, loyal, pemerhati ulung, penolong rakyat, serta berjiwa demokrasi
sejati. Tercatat dalam sejarah bahwa bangsa ini menjadi bangsa beradab yang
diakui dunia sebagai bangsa yang sangat
demokratif dalam hal pencarian langsung sosok penting pemimpin yang berjiwa
nasionalis, yang telah dibuktikan dalam beberapa kali PILPRES dan PEMILUKADA
yang secara keseluruhan tergolong aman, meskipun terdapat beberapa persoalan
yang juga berakhir pada penyelesaian yang relatif baik.
Berbicara tentang
demokrasi secara umum dapat digambarkan sebagai bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya
memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup
mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi secara langsung atau
melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi juga
mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya
praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. Kata Demokrasi
berasal dari bahasa Yunani (dēmokratía) "kekuasaan
rakyat", yang terbentuk dari (dêmos)
"rakyat" dan (kratos) "kekuatan" atau
"kekuasaan". pada abad ke-5 SM kata ini merupakan antonim dari (aristocratie) "kekuasaan elit". Secara teoretis,
kedua definisi tersebut saling bertentangan, namun kenyataannya sudah tidak
jelas lagi. Di semua pemerintahan demokrasi sepanjang sejarah kuno dan
modern, kewarganegaraan demokratis tetap ditempati kaum elit sampai semua
penduduk dewasa di sebagian besar negara demokrasi modern benar-benar bebas
setelah perjuangan gerakan hak partisipasi politik pada abad ke 19 dan 20,
tidak terkecuali indonesia.
DIMENSI DEMOKRASI PANCASILA.
Demokrasi Pancasila
di gambarkan sebagai bentuk demokrasi ideal ala Indonesia dengan Bingkai
kebhinekaan menjadi syarat mutlak pelaksanaannya. Keikut sertaan masyarakat
dalam menentukan arah bangsa menjadi prioritas utama untuk menjadikan negara
Indonesia sebagai negara yang berbasis kedaulatan rakyat. Berbicara tentang
negara, Santo. Agustinus dalam bukunya
“De Civitate Dei” menggambarkan
tentang 2 bentuk negara yang ideal yakni “Civitas
Terrena” dan “Civitas Dei” yang
mana masing-masing digambarkan sebagai negara dengan konsep duniawi (Civitas Terrena), dan sebaliknya negara
dengan konsep ketuhanan (Civitas Dei).
Indonesia secara tidak langsung berada di antara dua pusaran konsep ini.
Landasan rasionalnya adalah bahwa Indonesia pasca orde baru memasuki suatu era
pembaharuan dengan semakin meningkatnya keikut sertaan rakyat dalam setiap
kebijakan publik, termasuk hal politik. Gambaran sederhana tentang upaya
mencapai puncak tertinggi dari suatu negara yang kendatipun dipimpin oleh
pemimpin konsep duniawi ala Civitas Terrena akan tetapi tetap memandang jauh
pada arah perubahan yang bersumber dari konsep keilahian serta memandang nilai-nilai
luhur Pancasila sebagai dasar.
Bertalian dengannya, Frans Magnis Suseno menjelaskan bahwa politik
dipandang sebagai strategi dalam memperjuangkan tata tertib sosial untuk menjadi nilai hidup yang sesuai dengan martabat
manusia. Salah satu bentuk kritiknya adalah bahwa Indonesia secara politik
memang berupaya untuk mencapai kebaikan umum (bonum commune) akan tetapi politik olehnya masi dianggap sebagai “ bisnis kotor” manakala para elit yang
berpolitik hanya berupaya untuk memperkaya diri dan mempertahankan gaya
demokrasi elit/dinasti. Mestinya dalam hal politik yang demokratif haruslah
mengedepankan tujuan akhir yang luhur dengan cara elegan dan bermartabat tinggi
demi mencapai “Solus Populi Suprema Lex”
(kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang tidak lain merupakan hukum tertinggi).
Dalam politik
praktis, demokrasi Pancasila yang sejati tidak hanya sekedar mengikut sertakan
masyarakat untuk memilih pemimpin baginya, akan tetapi lebih dari pada itu,
demokrasi Pancasila patut dimaknai sebagai bentuk kebebasan masyarakat untuk
memilih sesuai dengan hati nurani, tampa paksaan, tanpa embel-embel tentu juga
tanpa ketakutan semu. Selain daripada itu, kebiasaan lama seperti aksi politik
uang (Money Politik) serta praktek
kontrak politik yang selalu menjadi gaya berpolitik para elit untuk
menakut-nakuti rakyat mestinya tidak terjadi pada momen 9 desember 2015
mendatang. Alasan yang paling mendasar untuk melakukan penolakan terhadap aksi
ini adalah bahwa mental patriotis serta kepercayaan diri yang cukup dalam pertarungan
politik harus menjadi modal awal di samping dukungan partai politik dan
simpatisan. Kekuatan politik yang seperti inilah yang akan mencerminkan
ideologi demokrasi Pancasila, karena pelaksanaan demokrasi Pancasila yang baik,
selain akan berdampak pada proses dan hasil yang baik, juga akan mencerminkan
budaya tertib hukum. Terhadap persoalan politik, demokrasi harus tetap menjadi
ukuran yang baku dalam perilaku berpolitik, alasan sederhananya karena esensi
awal dari kata politik menurut Aristoteles adalah seni dalam mengatur dan
mengurus negara juga termasuk ilmu kenegaraan. Esensi politik inilah yang
mestinya diilhami sebagai suatu kebijaksanaan atau tindakan turut serta
mengambil bagian dalam urusan kenegaraan atau pemerintahan termasuk penetapan
bentuk, tugas, dan lingkup urusan negara.
Tujuan akhir dari apa
yang dicita-citakan bangsa Indonesia saat ini adalah mencari sosok negarawan
yang tangguh, mampu menjadi bapak, terampil untuk mengambil inisiatif, mampu
menentukan langkah, sekaligus contoh hidup bagi setiap rakyat yang dipimpinnya,
seorang yang mampu memainkan instrumen-instrumen politik dengan arif, tanpa
kekerasan, tekanan, tipuan, manipulasi dan keangkuhan. Bagi masyarakat umum,
tentunya momentum 9 desember 2015 mendatang akan menjadi hari kedaulatan
rakyat, dimana rakyat akan menentukan sikap untuk memilih tokoh tepat tanpa
reputasi sebagai “tukang tipu”, yang
selalu peduli, yang selalu terbuka mata dan hatinya untuk rakyat. Karena itu, dengar,
lihat, cermati, berpikir, rasakan efek awal dan tentukan pilihan yang tepat
sesuai kata hati, sebab momentum ini juga akan sangat berakibat pada proses
panjang perjalanan bangsa 5 tahun mendatang menuju terang yang sesungguhnya.
Suatu terang dimana hukum selalu ditegakan, keadilan menjadi hal yang tanpa ada
tawaran, demokrasi tanpa ketakutan, moral menjadi pengikat semangat perjuangan,
pendidikan menjadi suatu keharusan, kesehatan menjadi kewajiban, kesejahteraan
bukan sekedar topik perbincangan hangat para elit bangsa, kemiskinan dan kekeringan
menjadi prioritas utama dalam pekerjaan sebagai pemimpin, sebab “sumber air su dekat” sejauh ini hanya
sebatas slogan dan retorika politik untuk menutup fakta yang sesungguhnya
banhwa “sumber air masi sangat jauh”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar