“REKONSNTRUKSI
PERADILAN JUJUR”
(Suatu
Kritik Sosial)
Oleh
Yosep
Copertino Apaut, SH.,MH
Ketua
DPC POSPERA Kab.TTU
Ketika mendengar kata
Hukum, mungkin yang terbayangkan oleh sekian banyak orang adalah sekumpulan
peraturan perundang-undangan yang mengatur segenap unsur kehidupan, atau
mungkin juga yang dibayangkan adalah lembaga peradilan, dana lain sebagainya
yang bermuatkan hukum. Ya,, memang demikian hukum dipandang. Terdapat banyak
versi untuk menjelaskan kehadiran hukum di dunia, termasuk paradigma hukum yang
berkembang mulai dari Paradigma
Aristotelian yang sering disebut Paradigma
Teleologik-Finalistik dengan kajian moralitasnya yang kemudia melahirkan Teori Hukum Kodrat oleh Thomas Aquinas. Ada juga Paradigma Galilean atau Mekanistik-kausal yang berkembang dan mempengaruhi
kehidupan berhukum ala Positivisme Hukum yang secara nyata menyatakan bahwa
kendatipun manusia sangat pluralistik (beragam) namun dalam kehidupan dan
perilakunya sebagai warga masyarakat wajib mengikuti norma-norma kausalitas.
Alasan kausalitas itulah yang pada akhirnya bermetafora dalam wujud Perundang-undangan yang mengatur
mengenai perbuatan hukum dan akibat-akibat hukum (kalau dilanggar). Pandangan
lain yang juga berkembang dan mempengaruhi prinsip berhukum Universal adalah
Pandangan Paradigma Pasca-Positivisme Hukum yang oleh catatan
sejarah dipelopori oleh para pakar
Sosiologi Hukum, seperti Karl Max,
Henry S. Maine, Emile Durkheim dan
Max Weber sejak awal abad 19. Pemikiran berhukum yang dikembangkan oleh
para pakar ini lebih menitik beratkan pada aspek sosial yang akhirnya dikenal
sebagai pencetus Ilmu pengetahuan
Sosiologi hukum (Sociology Of Law).
Perdebatan akhirnya
muncul, ketika para pemikir positivisme hukum yang pada prinsipnya tidak
menginginkan adanya kajian sosial dan aspek moral, yang oleh mereka dipandang
sebagai bentuk pelemahan terhadap hukum karena bermuatkan pandangan-pandangan
subjektif dan akan mengesampingkan pilihan objektif dalam berhukum. Kendatipun demikian, para
pencetus Ilmu pengetahuan Sosiologi hukum
(Sociology
Of Law) tetap pada pendekatan sosialnya, dengan alasan bahwa kehidupan
manusia sangat dinamis dan berdimensi sangat luas, maka aturan yang sangat
Statis/Tetap hanya akan mengekang kehidupan. Berbagai pemikiran tentang hukum
inilah yang akhirnya melahirkan berbagai
sistem Hukum didunia, termasuk peradilannya. Mengapa demikian? Jawabannya sangat
sederhana, bahwa titik akhir dari berhukum adalah pencapaian keadilan hakiki,
baik secara individual maupun kelompok.
Berhukum
ala Indonesia.
Tata cara berhukum
bangsa-bangsa di dunia sangat variatif karena mengikuti prinsip-prinsip sistem
hukum yang digunakannya. Sistem hukum itulah yang akan mengarahkan pada
pola/model berhukum suatau bangsa. Pada umumnya macam-macam sistem hukum di
dunia yang membentuk keluarga hukum antara lain Sistem Hukum Eropa Kontinental, Sistem Hukum Anglo Saxon, Sistem Hukum Islam, dan Sistem Hukum Adat. Sistem Hukum yang
dijalankan oleh Indonesia adalah Sistem
Hukum Eropa Kontinental. Penggunaan sistem hukum ini juga tidak terlepas
dari pengaruh Belanda yang pada masa penjajahannya menggunakannya sebagai
barometer berhukum. Setelah kemerdekaan dicapai pada tanggal 17 Agustus 1945,
sistem hukum ini tetap diberlakukan hingga saat ini. Prinsip dasar sistem hukum
ini adalah Kodifikasi Hukum (aturan tertulis) yang intinya adalah memiliki
kekuatan mengikat berdasarkan Undang-undang untuk mencapai kepastian hukum. Hal
inilah yang mengakibatkan Indonesia dijuluki sebagai negara dengan seribu satu
aturan. Sangat beralasan Indonesia mendapat julukan ini, karena dapat
dipastikan, semua aspek kehidupan masyarakat Indonesia diatur oleh
undang-undang atau setidak-tidaknya aturan dari suatu lembaga negara. Aturan
itupun mengatur hubungan kausalitas antara manusia dengan manusia, manusia
dengan lembaga/negara, bahkan mengatur manusia itu sendiri sebagai individu,
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sistem hukum tersebut melahikan
adagium hukum yang sangat terkenal yakni “Tidak Ada Hukum Selain Undang-Undang”
adagium ini sangatlah berpengaruh terutama bagi para penegak hukum di Indonesia
dalam menjalankan proses Law Enforcement
(penegakan Hukum).
Yang paling terasa mungkin pada proses peradilan di Indonesia. Peran Hakim
dalam proses pencarian fakta hukum lebih mengedepankan undang-undang semata,
artinya hakim tidak bebas dalam menciptakan hukum baru, keterbatasan itu juga
berakibat pada penafsiran hukum yang terbatas pada bunyi undang-undang semata.
Proses ini terkesan kaku dan tidak dinamis, meskipun salah satu bagian
terpenting bagi hakim dalam menjatukan putusan adalah Keyakinan hakim itu
sendiri. Namun pada satu sisi, hakim tidak bebas untuk mencari dan menafsirkan
undang seperti yang terjadi pada para hakim di Amerika dengan Sistem Hukum Anglo Saxon yang
digunakannya. Efek langsung dari proses ini adalah hukum sangat tidak bisa
diandalkan terkhusus untuk beberapa kasus yang memang memerlukan kajian
berpikir dengan metode kausalitas sosial. Misalnya, contoh Kasus Sederhana, Pasal
339 KUHP tentang Pembunuhan. “A adalah
Istri dari B, C adalah teman dari B. C memperkosa A, beberapa saat Kemudian B
membunuh C”. Dalam penerapannya, JPU (Jaksa Penuntut Umum) akan tetap
menuntut seseorang yang berdasarkan sekurang-kurangnya 2 barang bukti atau berdasarkan bukti permulaan yang cukup
untuk diduga sebagai pelaku tindak kejahatan. Bagi hakim, penerapan pasal hanya
akan berdasarka delik yang secara implisit telah termuat dalam bunyi pasal itu
saja. Sementara pendekatan sebab akibat tidak terjamah. Kalaupun termuat dalam
pembelaan/Pledoi terdakwa, maka itu dipandang sebagai ungkapan membela diri
semata dari seorang terdakwa, dan mungkin saja bertujuan untuk mendapatkan
pengurangan masa tahanan dari yang di tutut. Sementara, pembunuhan tersebut
terjadi karena ada hubungan sebab akibat yang memaksa B membunuh C. pada
akhirnya tetap saja B akan mendapat hukuman dari perbuatan pidana yang
dilakukannya. Bagi sistem hukum lain selain sistem hukum di Indonesia, Sistem Hukum Anglo Saxon misalnya,
Bukan tidak mungkin B akan di bebaskan dari tuntutan.
Peradilan
Jujur
Seiring bergulirnya waktu,
sangat dimungkinkan untuk menerapkan prinsip hukum yang lebih humanis, dinamis,
namun tetap berpatokan pada prinsip pengkodifikasian hukum. Bentuk harmonisasi
hukum di Indonesia sangat memberikan ruang yang cukup untuk menerapkan prinsip
hukum tersebut diatas. Kebanggaan berhukum Indonesia saat ini Nampak pada satu
prinsip hukum baru yang oleh Prof. Satjipto Rahardjo di sebut sebagai bentuk Hukum Progresif. Prinsip Hukum
Progresif terasa begitu indah dengan pandangan moralitasnya. Untuk mencapai
keadilan yang abstrak itu, hanya memerlukan perkawinan antara prinsip
penggunaan aturan perundang-undangan dengan pendekatan aspek sosial moralistik.
Dengan demikian, ketika para penegak hukum menjalankan proses Law Enforcement (penegakan Hukum), betul-betul mengandalkan prinsip
hukum yang Pancasilais yang artinya memberikan kesempatan bagi orang untuk
merasakan keberpihakan negara untuknya sepanjang hal tersebut pantas untuk
didapatkan.
Dalam tubuh peradilan
negara, hakim tentu saja tidak lagi sebatas corong undang-undang yang hanya
bertugas menjalankan apa yang tertulis dalam aturan saja, akan tetapi lebih
dari pada itu, hakim memiliki ruang moralitas yang cukup untuk mengali lebih
jauh untuk mencapai keadilan substansial, tidak semata konsep kebenaran
materil. Peradilan konvensional seperti Crime Control Model, Due Proses Model,
Family Model, memang tidak
lagi cocok untuk bangsa ini. Idealnya, model peradilan bagi Indonesia yang
memang sudah sangat kuat dengan adat budaya bangsa, haruslah lebih mementingkan
aspek kemanfaatan, sosial, dan moral. Dengan demikian intervensi, desakan dan
tuntutan apapun dari luar peradilan tidak akan berpengaruh untuk melemahkan
martabat suatu lembaga peradilan yang kita sebut peradilan suci. Mengapa demikian?
Karena kita tidak mengharapkan adanya mosi tidak percaya masyarakat terhadap
peradilan formal kita. Peradilan formal bangsa Indonesia harus menjadi rumah
yang nyaman bagi setiap pencari keadilan. Perlakuan terhadap setiap orang
haruslah sama, entah pejabat atau bukan, entah kaum minoritas atau kaum
mayoritas, tetaplah harus sama. Bukankah kita sama-sama anak kandung bangsa
ini?