Senin, 22 Mei 2017

“REKONSNTRUKSI PERADILAN JUJUR” (Suatu Kritik Sosial)



“REKONSNTRUKSI PERADILAN JUJUR”
(Suatu Kritik Sosial)
Oleh
Yosep Copertino Apaut, SH.,MH
Ketua DPC POSPERA Kab.TTU

Ketika mendengar kata Hukum, mungkin yang terbayangkan oleh sekian banyak orang adalah sekumpulan peraturan perundang-undangan yang mengatur segenap unsur kehidupan, atau mungkin juga yang dibayangkan adalah lembaga peradilan, dana lain sebagainya yang bermuatkan hukum. Ya,, memang demikian hukum dipandang. Terdapat banyak versi untuk menjelaskan kehadiran hukum di dunia, termasuk paradigma hukum yang berkembang mulai dari Paradigma Aristotelian yang sering disebut Paradigma Teleologik-Finalistik dengan kajian moralitasnya yang kemudia melahirkan Teori Hukum Kodrat oleh Thomas Aquinas. Ada juga Paradigma Galilean atau Mekanistik-kausal yang berkembang dan mempengaruhi kehidupan berhukum ala Positivisme Hukum yang secara nyata menyatakan bahwa kendatipun manusia sangat pluralistik (beragam) namun dalam kehidupan dan perilakunya sebagai warga masyarakat wajib mengikuti norma-norma kausalitas. Alasan kausalitas itulah yang pada akhirnya bermetafora dalam wujud Perundang-undangan yang mengatur mengenai perbuatan hukum dan akibat-akibat hukum (kalau dilanggar). Pandangan lain yang juga berkembang dan mempengaruhi prinsip berhukum Universal adalah Pandangan Paradigma  Pasca-Positivisme Hukum yang oleh catatan sejarah dipelopori oleh para pakar Sosiologi Hukum, seperti Karl Max, Henry S. Maine, Emile Durkheim dan Max Weber sejak awal abad 19. Pemikiran berhukum yang dikembangkan oleh para pakar ini lebih menitik beratkan pada aspek sosial yang akhirnya dikenal sebagai pencetus Ilmu pengetahuan  Sosiologi hukum (Sociology Of Law).
Perdebatan akhirnya muncul, ketika para pemikir positivisme hukum yang pada prinsipnya tidak menginginkan adanya kajian sosial dan aspek moral, yang oleh mereka dipandang sebagai bentuk pelemahan terhadap hukum karena bermuatkan pandangan-pandangan subjektif dan akan mengesampingkan pilihan objektif  dalam berhukum. Kendatipun demikian, para pencetus Ilmu pengetahuan  Sosiologi hukum (Sociology Of Law) tetap pada pendekatan sosialnya, dengan alasan bahwa kehidupan manusia sangat dinamis dan berdimensi sangat luas, maka aturan yang sangat Statis/Tetap hanya akan mengekang kehidupan. Berbagai pemikiran tentang hukum inilah yang akhirnya melahirkan berbagai sistem Hukum didunia, termasuk peradilannya. Mengapa demikian? Jawabannya sangat sederhana, bahwa titik akhir dari berhukum adalah pencapaian keadilan hakiki, baik secara individual maupun kelompok.
Berhukum ala Indonesia.
Tata cara berhukum bangsa-bangsa di dunia sangat variatif karena mengikuti prinsip-prinsip sistem hukum yang digunakannya. Sistem hukum itulah yang akan mengarahkan pada pola/model berhukum suatau bangsa. Pada umumnya macam-macam sistem hukum di dunia yang membentuk keluarga hukum antara lain Sistem Hukum Eropa Kontinental, Sistem Hukum Anglo Saxon, Sistem Hukum Islam, dan Sistem Hukum Adat. Sistem Hukum yang dijalankan oleh Indonesia adalah Sistem Hukum Eropa Kontinental. Penggunaan sistem hukum ini juga tidak terlepas dari pengaruh Belanda yang pada masa penjajahannya menggunakannya sebagai barometer berhukum. Setelah kemerdekaan dicapai pada tanggal 17 Agustus 1945, sistem hukum ini tetap diberlakukan hingga saat ini. Prinsip dasar sistem hukum ini adalah Kodifikasi Hukum (aturan tertulis) yang intinya adalah memiliki kekuatan mengikat berdasarkan Undang-undang untuk mencapai kepastian hukum. Hal inilah yang mengakibatkan Indonesia dijuluki sebagai negara dengan seribu satu aturan. Sangat beralasan Indonesia mendapat julukan ini, karena dapat dipastikan, semua aspek kehidupan masyarakat Indonesia diatur oleh undang-undang atau setidak-tidaknya aturan dari suatu lembaga negara. Aturan itupun mengatur hubungan kausalitas antara manusia dengan manusia, manusia dengan lembaga/negara, bahkan mengatur manusia itu sendiri sebagai individu, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sistem hukum tersebut melahikan adagium hukum yang sangat terkenal yakni “Tidak Ada Hukum Selain Undang-Undang” adagium ini sangatlah berpengaruh terutama bagi para penegak hukum di Indonesia dalam menjalankan proses Law Enforcement (penegakan Hukum).
Yang paling terasa mungkin pada proses peradilan di Indonesia. Peran Hakim dalam proses pencarian fakta hukum lebih mengedepankan undang-undang semata, artinya hakim tidak bebas dalam menciptakan hukum baru, keterbatasan itu juga berakibat pada penafsiran hukum yang terbatas pada bunyi undang-undang semata. Proses ini terkesan kaku dan tidak dinamis, meskipun salah satu bagian terpenting bagi hakim dalam menjatukan putusan adalah Keyakinan hakim itu sendiri. Namun pada satu sisi, hakim tidak bebas untuk mencari dan menafsirkan undang seperti yang terjadi pada para hakim di Amerika dengan Sistem Hukum Anglo Saxon yang digunakannya. Efek langsung dari proses ini adalah hukum sangat tidak bisa diandalkan terkhusus untuk beberapa kasus yang memang memerlukan kajian berpikir dengan metode kausalitas sosial. Misalnya, contoh Kasus Sederhana, Pasal 339 KUHP tentang Pembunuhan. “A adalah Istri dari B, C adalah teman dari B. C memperkosa A, beberapa saat Kemudian B membunuh C”. Dalam penerapannya, JPU (Jaksa Penuntut Umum) akan tetap menuntut seseorang yang berdasarkan sekurang-kurangnya 2 barang bukti  atau berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk diduga sebagai pelaku tindak kejahatan. Bagi hakim, penerapan pasal hanya akan berdasarka delik yang secara implisit telah termuat dalam bunyi pasal itu saja. Sementara pendekatan sebab akibat tidak terjamah. Kalaupun termuat dalam pembelaan/Pledoi terdakwa, maka itu dipandang sebagai ungkapan membela diri semata dari seorang terdakwa, dan mungkin saja bertujuan untuk mendapatkan pengurangan masa tahanan dari yang di tutut. Sementara, pembunuhan tersebut terjadi karena ada hubungan sebab akibat yang memaksa B membunuh C. pada akhirnya tetap saja B akan mendapat hukuman dari perbuatan pidana yang dilakukannya. Bagi sistem hukum lain selain sistem hukum di Indonesia, Sistem Hukum Anglo Saxon misalnya, Bukan tidak mungkin B akan di bebaskan dari tuntutan.
Peradilan Jujur
Seiring bergulirnya waktu, sangat dimungkinkan untuk menerapkan prinsip hukum yang lebih humanis, dinamis, namun tetap berpatokan pada prinsip pengkodifikasian hukum. Bentuk harmonisasi hukum di Indonesia sangat memberikan ruang yang cukup untuk menerapkan prinsip hukum tersebut diatas. Kebanggaan berhukum Indonesia saat ini Nampak pada satu prinsip hukum baru yang oleh Prof. Satjipto Rahardjo di sebut sebagai bentuk Hukum Progresif. Prinsip Hukum Progresif terasa begitu indah dengan pandangan moralitasnya. Untuk mencapai keadilan yang abstrak itu, hanya memerlukan perkawinan antara prinsip penggunaan aturan perundang-undangan dengan pendekatan aspek sosial moralistik. Dengan demikian, ketika para penegak hukum menjalankan proses Law Enforcement (penegakan Hukum), betul-betul mengandalkan prinsip hukum yang Pancasilais yang artinya memberikan kesempatan bagi orang untuk merasakan keberpihakan negara untuknya sepanjang hal tersebut pantas untuk didapatkan.
Dalam tubuh peradilan negara, hakim tentu saja tidak lagi sebatas corong undang-undang yang hanya bertugas menjalankan apa yang tertulis dalam aturan saja, akan tetapi lebih dari pada itu, hakim memiliki ruang moralitas yang cukup untuk mengali lebih jauh untuk mencapai keadilan substansial, tidak semata konsep kebenaran materil. Peradilan konvensional seperti Crime Control Model, Due Proses Model, Family Model, memang tidak lagi cocok untuk bangsa ini. Idealnya, model peradilan bagi Indonesia yang memang sudah sangat kuat dengan adat budaya bangsa, haruslah lebih mementingkan aspek kemanfaatan, sosial, dan moral. Dengan demikian intervensi, desakan dan tuntutan apapun dari luar peradilan tidak akan berpengaruh untuk melemahkan martabat suatu lembaga peradilan yang kita sebut peradilan suci. Mengapa demikian? Karena kita tidak mengharapkan adanya mosi tidak percaya masyarakat terhadap peradilan formal kita. Peradilan formal bangsa Indonesia harus menjadi rumah yang nyaman bagi setiap pencari keadilan. Perlakuan terhadap setiap orang haruslah sama, entah pejabat atau bukan, entah kaum minoritas atau kaum mayoritas, tetaplah harus sama. Bukankah kita sama-sama anak kandung bangsa ini?

Kamis, 18 Mei 2017

“PANCASILA MASI RUMAH KITA?” (Kemarahan Anak Negeri)



“PANCASILA MASIH RUMAH KITA?”
(Kemarahan Anak Negeri)
Oleh
Yosep Copertino Apaut, SH.,MH
Ketua DPC POSPERA Kab.TTU

“Pancasila rumah kita/ Rumah untuk kita semua/ Nilai dasar Indonesia/ Rumah kita selamanya/ Untuk semua puji namanya/ Untuk semua cinta sesama/ Untuk semua warna menyatu/ Untuk semua bersambung rasa/ Untuk semua saling membagi/ Pada setiap insan, sama dapat sama rasa/ Oh Indonesiaku (oh Indonesia).”
Semangat kebersamaan dan persaudaraan ini seperti tergambar nyata dalam lirik lagu yang biasa dibawakan Franky Sahilatua, kalimat indah nan mengikat jiwa nasionalisme anak bangsa ini seolah menjalar menjadikan setiap kita merinding saat menghayati indahnya keberagaman, manisnya persaudaraan dan sukacita dalam toleransi. Masikah itu nyata?. Tentu pertanyaan reflektif ini akan menghantar kita pada satu titik terdalam penghayatan kita tentang apa yang telah terjadi pada bangsa ini, apa yang telah hilang dari bangsa ini, dan harapan  apa yang masi tersisa dari semua kejadian akhir-akhir ini..

PANCASILA INDONESIA HARI INI
Pada prinsipnya Pancasila dipandang sebagai naskah terbaik yang pernah disusun dan disetujui oleh para pendiri bangsa, serta dipercaya bisa menaungi keindonesiaan yang merdeka. Pancasila adalah dasar negara Indonesia. Indra J Piliang perna menulis bahwa “Pancasila sebetulnya mengandung semua isme yang pernah hidup di Indonesia. Isme pertama adalah Teisme, yakni ketuhanan. Isme kedua adalah Humanisme. Isme ketiga adalah Nasionalisme. Isme keempat adalah Demokrasi Partikular berdasarkan musyawarah, bukan demokrasi universal yang ultra liberal. Isme kelima adalah Sosialisme yang terkait dengan isme-isme yang lain. Cara membaca kelima isme itu tentulah tidak dalam satu isme terpisah, melainkan saling mempengaruhi.
Bagi saya, Kelima Isme itu sudah seharusnya bertransformasi dalam segalah aspek kehidupan yang memberi warna pada masing-masing sila dalam Pancasila, baik dari sisi ketuhanan, nasionalisme, sampai ide-ide keadilan sosial seperti jaminan sosial. Hak-hak asasi manusia wajib dihormati, dengan terdapat pula landasan konstitusional dan hukum yang adil sehingga tak satu pun manusia di Indonesia boleh mengalami ketakutan akibat eksploitasi/intimidasi dari manusia lain/kelompok lain. Landasan ini juga yang menjadikan manusia Indonesia saat ini begitu bebas menyampaikan semua aspirasi, serta keinginan, dengan berbagai cara, mulai dari gaya Rapat Dengar Pendapat (RDP), hingga sampai pada pola pengerahan massa dalam jumlah yang sangat besar untuk menuntut sesuatu. Persoalannya sekarang, dimana penghayatan akan hidup berpancasilais itu? Sudahkah Pancasila menjadi dasar bagi para pengambil keputusan? Ataukah hanya naskah yang dibaca dalam setiap upacara bendera? Atau jangan-jangan tidak lagi di hafal mungkin untuk kebanyakan orang.
Untuk diingat dengan bahwa PANCASILA BUKAN NASKAH YANG HARUS DI PERDEBATANKAN, Pancasilah seyogianya patut dipahami sebagai DOKTRIN TERTINGGI BANGSA DAN NEGARA INDONESIA. Celakanya, anak negeri ini mulai berupaya terang-terangan mempertentangkan Pancasila, mempertanyakan keabsahannya, tidak lagi mengilhami Pancasila untuk satu titik yang kita sebut ADIL itu. Pancasila yang sepatutnya berakar dalam diri setiap insan manusia Indonesia, seakan menjadi tak cukup kuat menahan gelombang amarah radikalisme kelompok, yang pada akhirnya berimbas langsung pada setiap sisi kehidupan masyarakat, mulai dari aspek sosial, hukum dan ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan. Ternyata kita belum cukum rendah hati mengejawantakan Pancasila dalam kehidupan sebagai bangsa yang Plural. Sikap egoistis, kemarahan dan kebencian mengalahkan kebersamaan, mengalahkan kecintaan kita pada bangsa ini, yang oleh bangsa lain Indonesia dipandang sebagai bangsa yang menghormati perbedaan dan di sematkan gelar kehormatan sebagai BANGSA YANG TOLERAN. Andai saja para pendiri bangsa ini masi hidup, tentu mereka akan tertunduk malu, melihat kenyataan pahit yang terjadi di bumi pertiwi.
Sadarlah wahai anak bangsa. Indonesia sebagai bangsa yang sedang berlayar di tengah samudera raya pergulatan antar negara, Pancasila lah yang menjadi model pembeda kita dengan bangsa lain. Tak perlu ada keseragaman dalam pilihan apapun, namun juga tak perlu ada tindakan ekstrim untuk menghasilkan sesuatu yang kotor. Kita jangan lagi mudah diombang-ambingkan dengan pilihan-pilihan kesetaraan dan kesejajaran untuk sesuatu yang memang pada dasarnya berbeda. Ketika pilihan yang dipilih adalah justru mengadu antara seekor naga dengan seeekor cacing, maka ingatlah cita-cita mulia yang termaktub dalam Pancasila yang pada prinsipnya memang menghormati perbedaan untuk tujuan kesejahteraan dan keadilan hakiki karena PANCASILA MASI RUMAH KITA.