Kamis, 18 Mei 2017

“PANCASILA MASI RUMAH KITA?” (Kemarahan Anak Negeri)



“PANCASILA MASIH RUMAH KITA?”
(Kemarahan Anak Negeri)
Oleh
Yosep Copertino Apaut, SH.,MH
Ketua DPC POSPERA Kab.TTU

“Pancasila rumah kita/ Rumah untuk kita semua/ Nilai dasar Indonesia/ Rumah kita selamanya/ Untuk semua puji namanya/ Untuk semua cinta sesama/ Untuk semua warna menyatu/ Untuk semua bersambung rasa/ Untuk semua saling membagi/ Pada setiap insan, sama dapat sama rasa/ Oh Indonesiaku (oh Indonesia).”
Semangat kebersamaan dan persaudaraan ini seperti tergambar nyata dalam lirik lagu yang biasa dibawakan Franky Sahilatua, kalimat indah nan mengikat jiwa nasionalisme anak bangsa ini seolah menjalar menjadikan setiap kita merinding saat menghayati indahnya keberagaman, manisnya persaudaraan dan sukacita dalam toleransi. Masikah itu nyata?. Tentu pertanyaan reflektif ini akan menghantar kita pada satu titik terdalam penghayatan kita tentang apa yang telah terjadi pada bangsa ini, apa yang telah hilang dari bangsa ini, dan harapan  apa yang masi tersisa dari semua kejadian akhir-akhir ini..

PANCASILA INDONESIA HARI INI
Pada prinsipnya Pancasila dipandang sebagai naskah terbaik yang pernah disusun dan disetujui oleh para pendiri bangsa, serta dipercaya bisa menaungi keindonesiaan yang merdeka. Pancasila adalah dasar negara Indonesia. Indra J Piliang perna menulis bahwa “Pancasila sebetulnya mengandung semua isme yang pernah hidup di Indonesia. Isme pertama adalah Teisme, yakni ketuhanan. Isme kedua adalah Humanisme. Isme ketiga adalah Nasionalisme. Isme keempat adalah Demokrasi Partikular berdasarkan musyawarah, bukan demokrasi universal yang ultra liberal. Isme kelima adalah Sosialisme yang terkait dengan isme-isme yang lain. Cara membaca kelima isme itu tentulah tidak dalam satu isme terpisah, melainkan saling mempengaruhi.
Bagi saya, Kelima Isme itu sudah seharusnya bertransformasi dalam segalah aspek kehidupan yang memberi warna pada masing-masing sila dalam Pancasila, baik dari sisi ketuhanan, nasionalisme, sampai ide-ide keadilan sosial seperti jaminan sosial. Hak-hak asasi manusia wajib dihormati, dengan terdapat pula landasan konstitusional dan hukum yang adil sehingga tak satu pun manusia di Indonesia boleh mengalami ketakutan akibat eksploitasi/intimidasi dari manusia lain/kelompok lain. Landasan ini juga yang menjadikan manusia Indonesia saat ini begitu bebas menyampaikan semua aspirasi, serta keinginan, dengan berbagai cara, mulai dari gaya Rapat Dengar Pendapat (RDP), hingga sampai pada pola pengerahan massa dalam jumlah yang sangat besar untuk menuntut sesuatu. Persoalannya sekarang, dimana penghayatan akan hidup berpancasilais itu? Sudahkah Pancasila menjadi dasar bagi para pengambil keputusan? Ataukah hanya naskah yang dibaca dalam setiap upacara bendera? Atau jangan-jangan tidak lagi di hafal mungkin untuk kebanyakan orang.
Untuk diingat dengan bahwa PANCASILA BUKAN NASKAH YANG HARUS DI PERDEBATANKAN, Pancasilah seyogianya patut dipahami sebagai DOKTRIN TERTINGGI BANGSA DAN NEGARA INDONESIA. Celakanya, anak negeri ini mulai berupaya terang-terangan mempertentangkan Pancasila, mempertanyakan keabsahannya, tidak lagi mengilhami Pancasila untuk satu titik yang kita sebut ADIL itu. Pancasila yang sepatutnya berakar dalam diri setiap insan manusia Indonesia, seakan menjadi tak cukup kuat menahan gelombang amarah radikalisme kelompok, yang pada akhirnya berimbas langsung pada setiap sisi kehidupan masyarakat, mulai dari aspek sosial, hukum dan ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan. Ternyata kita belum cukum rendah hati mengejawantakan Pancasila dalam kehidupan sebagai bangsa yang Plural. Sikap egoistis, kemarahan dan kebencian mengalahkan kebersamaan, mengalahkan kecintaan kita pada bangsa ini, yang oleh bangsa lain Indonesia dipandang sebagai bangsa yang menghormati perbedaan dan di sematkan gelar kehormatan sebagai BANGSA YANG TOLERAN. Andai saja para pendiri bangsa ini masi hidup, tentu mereka akan tertunduk malu, melihat kenyataan pahit yang terjadi di bumi pertiwi.
Sadarlah wahai anak bangsa. Indonesia sebagai bangsa yang sedang berlayar di tengah samudera raya pergulatan antar negara, Pancasila lah yang menjadi model pembeda kita dengan bangsa lain. Tak perlu ada keseragaman dalam pilihan apapun, namun juga tak perlu ada tindakan ekstrim untuk menghasilkan sesuatu yang kotor. Kita jangan lagi mudah diombang-ambingkan dengan pilihan-pilihan kesetaraan dan kesejajaran untuk sesuatu yang memang pada dasarnya berbeda. Ketika pilihan yang dipilih adalah justru mengadu antara seekor naga dengan seeekor cacing, maka ingatlah cita-cita mulia yang termaktub dalam Pancasila yang pada prinsipnya memang menghormati perbedaan untuk tujuan kesejahteraan dan keadilan hakiki karena PANCASILA MASI RUMAH KITA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar