“PANCASILA
MASIH RUMAH KITA?”
(Kemarahan
Anak Negeri)
Oleh
Yosep
Copertino Apaut, SH.,MH
Ketua
DPC POSPERA Kab.TTU
“Pancasila
rumah kita/ Rumah untuk kita semua/ Nilai dasar Indonesia/ Rumah kita
selamanya/ Untuk semua puji namanya/ Untuk semua cinta sesama/ Untuk semua
warna menyatu/ Untuk semua bersambung rasa/ Untuk semua saling membagi/ Pada
setiap insan, sama dapat sama rasa/ Oh Indonesiaku (oh Indonesia).”
Semangat kebersamaan dan
persaudaraan ini seperti tergambar nyata dalam lirik lagu yang biasa dibawakan Franky Sahilatua, kalimat indah nan
mengikat jiwa nasionalisme anak bangsa ini seolah menjalar menjadikan setiap
kita merinding saat menghayati indahnya keberagaman, manisnya persaudaraan dan sukacita
dalam toleransi. Masikah itu nyata?. Tentu pertanyaan reflektif ini akan
menghantar kita pada satu titik terdalam penghayatan kita tentang apa yang
telah terjadi pada bangsa ini, apa yang telah hilang dari bangsa ini, dan
harapan apa yang masi tersisa dari semua
kejadian akhir-akhir ini..
PANCASILA
INDONESIA HARI INI
Pada prinsipnya Pancasila dipandang sebagai naskah terbaik
yang pernah disusun dan disetujui oleh para pendiri bangsa, serta dipercaya
bisa menaungi keindonesiaan yang merdeka. Pancasila adalah dasar negara
Indonesia. Indra
J Piliang perna
menulis bahwa “Pancasila sebetulnya mengandung semua isme yang pernah hidup di
Indonesia. Isme pertama adalah Teisme, yakni ketuhanan. Isme kedua adalah Humanisme. Isme ketiga
adalah Nasionalisme. Isme keempat adalah Demokrasi Partikular berdasarkan
musyawarah, bukan demokrasi universal yang ultra liberal. Isme kelima adalah Sosialisme
yang terkait dengan isme-isme yang lain. Cara membaca kelima isme itu tentulah
tidak dalam satu isme terpisah, melainkan saling mempengaruhi.
Bagi saya, Kelima Isme itu sudah seharusnya
bertransformasi dalam segalah aspek kehidupan yang memberi warna pada
masing-masing sila dalam Pancasila, baik dari sisi ketuhanan, nasionalisme,
sampai ide-ide keadilan sosial seperti jaminan sosial. Hak-hak asasi manusia wajib
dihormati, dengan terdapat pula landasan konstitusional dan hukum yang adil sehingga
tak satu pun manusia di Indonesia boleh mengalami ketakutan akibat
eksploitasi/intimidasi dari manusia lain/kelompok lain. Landasan ini juga yang
menjadikan manusia Indonesia saat ini begitu bebas menyampaikan semua aspirasi,
serta keinginan, dengan berbagai cara, mulai dari gaya Rapat Dengar Pendapat (RDP),
hingga sampai pada pola pengerahan massa dalam jumlah yang sangat besar untuk
menuntut sesuatu. Persoalannya sekarang, dimana penghayatan akan hidup
berpancasilais itu? Sudahkah Pancasila menjadi dasar bagi para pengambil keputusan?
Ataukah hanya naskah yang dibaca dalam setiap upacara bendera? Atau jangan-jangan
tidak lagi di hafal mungkin untuk kebanyakan orang.
Untuk diingat dengan bahwa
PANCASILA BUKAN NASKAH YANG HARUS DI PERDEBATANKAN,
Pancasilah seyogianya patut dipahami sebagai DOKTRIN TERTINGGI BANGSA DAN NEGARA INDONESIA. Celakanya, anak
negeri ini mulai berupaya terang-terangan mempertentangkan Pancasila,
mempertanyakan keabsahannya, tidak lagi mengilhami Pancasila untuk satu titik
yang kita sebut ADIL itu. Pancasila yang
sepatutnya berakar dalam diri setiap insan manusia Indonesia, seakan menjadi
tak cukup kuat menahan gelombang amarah radikalisme kelompok, yang pada
akhirnya berimbas langsung pada setiap sisi kehidupan masyarakat, mulai dari
aspek sosial, hukum dan ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan. Ternyata kita
belum cukum rendah hati mengejawantakan Pancasila dalam kehidupan sebagai
bangsa yang Plural. Sikap egoistis, kemarahan dan kebencian mengalahkan
kebersamaan, mengalahkan kecintaan kita pada bangsa ini, yang oleh bangsa lain
Indonesia dipandang sebagai bangsa yang menghormati perbedaan dan di sematkan
gelar kehormatan sebagai BANGSA YANG
TOLERAN. Andai saja para pendiri bangsa ini masi hidup, tentu mereka akan
tertunduk malu, melihat kenyataan pahit yang terjadi di bumi pertiwi.
Sadarlah wahai anak
bangsa. Indonesia sebagai bangsa yang sedang berlayar di tengah samudera raya
pergulatan antar negara, Pancasila lah yang menjadi model pembeda kita dengan
bangsa lain. Tak perlu ada keseragaman dalam pilihan apapun, namun juga tak
perlu ada tindakan ekstrim untuk menghasilkan sesuatu yang kotor. Kita jangan
lagi mudah diombang-ambingkan dengan pilihan-pilihan kesetaraan dan kesejajaran
untuk sesuatu yang memang pada dasarnya berbeda. Ketika pilihan yang dipilih
adalah justru mengadu antara seekor naga dengan seeekor cacing, maka ingatlah
cita-cita mulia yang termaktub dalam Pancasila yang pada prinsipnya memang menghormati
perbedaan untuk tujuan kesejahteraan dan keadilan hakiki karena PANCASILA MASI
RUMAH KITA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar