DIVERSI DAN RESTORATIF
JUSTICE SERTA POLA SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA
TERTENTU DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN ANAK KUPANG
Yosep Copertino
Apaut
Program Pascasarjana Universitas Nusa Cendana Kupang
Jln. Adisucipto-Kupang 85001, Tlp (0380) 881580, Fax
(0380) 21674, 831001
Abstrac
Law enforcement against juvenile offenders to be the most
difficult run in
Kupang district court
of law. Diversion approach and the
concept of restorative justice, as
well as patterns of harmonization
should be a basic
consideration in Hank dropped
the judge's decision would not be
optimal when the
conduct of diversion and restorative justice are
not actually performed by state agencies in charge of running the process
for reasons of limited personnel executing tasks Research
community. Handling cases of children in conflict with the law, the concept
of diversion and restorative
justice concept, the mandate of Law Number 11 of 2012 concerning juvenile
criminal justice system has
provided an ideal concept of the noble objectives of the perpetration of diversion
and restorative justice process that essentially
involves all parties in order to improve children's
moral and achieving improvement
of relations between the litigants
(aspect Reconciliation).
Keywords: Diversion, Restorative
Justice, Pattern, Punishment.
Abstrak
Penegakan hukum terhadap anak pelaku kejahatan menjadi hal yang paling
sulit dijalankan di kawasan hukum pengadilan negeri Kupang. Pendekatan diversi dan konsep restorative justice, serta pola harmonisasi yang
mestinya menjadi dasar pertimbangan hakim dalam mejatuhkan putusan tentu tidak akan optimal
manakala pelaksanan diversi dan restoratif justice tidak benar-benar
dilakukan oleh lembaga negara yang bertugas untuk menjalankan proses tersebut
karena alasan keterbatasan personil pelaksana tugas LITMAS (Penelitian
Kemasyarakatan). Penanganan kasus anak yang berhadapan dengan hukum, dalam konsep diversi dan konsep restorative justice, dalam amanat UU no 11 tahun
2012 tentang sistem peradilan pidana anak tealah memberikan konsep yang ideal tentang tujuan
mulia dari dilakukannnya proses diversi dan
restoratif justice yang pada intinya melibatkan semua pihak dalam rangka untuk perbaikan moral anak dan pencapaian perbaikan
hubungan anatar pihak yang berperkara (Rekonsiliasi).
Kata Kunci : Diversi, Restoratif Justice, Pola, Pemidanaan.
A.
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Seseorang yang melanggar
hukum pidana akan berhadapan dengan negara melalui aparatur penegak hukumnya.
Sebagai instrument pengawasan sosial, hukum pidana menyandarkan diri pada
sanksi karena fungsinya memang mencabut hak orang atas kehidupan, kebebasan,
atau hak milik mereka. Invasi terhadap hak dasar ini dibenarkan demi
melestarikan masyarakat dan melindungi hak-hak fundamental dari gangguan orang
lain[1]. Hukum
pidana ini berlaku untuk setiap orang kecuali untuk orang yang jiwanya cacat
dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit ( Pasal 44 KUHP).
Anak merupakan subyek
hukum pidana yang dapat melakukan suatu tindak pidana. Apabila anak-anak
berhadapan dengan hukum, maka potensi hak-haknya dilanggar oleh negara lebih
besar ketimbang orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Potensi ini
dikarenakan anak merupakan sosok manusia yang dalam kehidupannya masih
menggantungkan pada intervensi pihak lain.
Umumnya
anak sebagai pelaku tindak pidana harus diperlakukan secara manusiawi untuk
kepentingan terbaik bagi anak itu sendiri demi mewujudkan pertumbuhan dan
memberikan perkembangan fisik, mental dan sosial. Negara dan Undang-undang
wajib memberikan perlindungan hukum yang berlandaskan hak-hak anak, sehingga
diperlukan pemidanaan edukatif terhadap anak.
Pemidanaan
terhadap anak harus memperhatikan beberapa hal penting terkait hak asasi anak
seperti tercantum dalam Konvensi Hak-Hak Anak di Jenewa (Convention On The Right of The Child)[2]
yang antara lain: (1) Setiap anak berhak mendapat jaminan perlindungan dan
perawatan yang dibutuhkan untuk kesejahteraan anak. (2) Setiap anak memiliki
hak yang merupakan kodrat hidup. (3) Negara menjamin kelangsungan hidup dan
pengembangan anak. (4) Bagi anak yang terpisah dari orangtuanya, berhak
mempertahankan hubungan pribadi dan kontak langsung secara tetap. (5) Setiap
anak berhak mengembangkan diri, menyatakan pendapatnya secara bebas,
kemerdekaan berpikir dan beragama. (6) Setiap anak berhak mendapat perlindungan
dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, perlakuan salah, termasuk
penyalahgunaan seksual. (7) Setiap anak berhak mendapat pelayanan kesehatan,
perawatan dan pemulihan kesehatan, dengan sarana yang sebaik-baiknya. (8)
Setiap anak berhak mendapat pendidikan dasar secara cuma-cuma, yang dilanjutkan
pendidikan menengah, umum, kejuruan, pendidikan tinggi sesuai sarana dan
kemampuan. (9) Setiap anak berhak mendapat pemeliharaan, perlindungan atau
perawatan kesehatan rohani dan jasmani secara berkala dan semaksimal mungkin.
(10) Setiap anak berhak untuk beristirahat dan bersantai, bermain dan turut
serta dalam rekreasi yang sesuai dengan usia anak.
Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak yang secara komprehensif memenuhi tuntutan zaman, yang
dalam ketentuannya memuatkan tentang Diversi
dan Restoratif Justice. Kajian
diversi ini merupakan langkah tepat untuk pemenuhan akan kebutuhan hukum bagi
anak terkait kejahatan/pelanggaran yang dilakukannya. Artinya bahwa
penyelesaian di luar peradilan formal (non
penal) adalah metode yang cukup penting diperhatikan, kalaupun harus
dilakukan oleh Peradilan Formal (penal),
maka putusan alternatif selain pidana penjara seperti rehabilitasi seharusnya
dijadikan sebagai putusan yang bersifat tunggal/imperatif. Keadaan inilah yang mendorong
peneliti melakukan penelitian pada lembaga seperti BAPAS, Pengadilan Anak
Kupang dan Lembaga-lembaga sosial lainnya yang memiliki kompetensi dalam
menangani kasus anak yang berhadapan dengan hukum di wilayah hukum Pengadilan
Anak Kupang dengan melihat proses pelaksanaan amanat UU No. 11 Tahun 2012 oleh
lembaga-lembaga negara untuk mencapai hasil yang benar-benar menguntungkan bagi
anak yang berhadapan dengan hukum.
2.
Metode Penelitian
Beranjak
dari gambaran singkat tentang persoalan anak yang berhadapan dengan hukum
dengan sekian banyaknya persoalan, maka penelitian ini diarahkan pada kajian
penelitian yuridis empiris. Pendekatan tersebut merupakan penelitian untuk
melakukan pengkajian terkait anak yang berada
pada Lembaga Pemasyarakatan Anak dan terhadap peraturan
perundang-undangan mengatur tentang anak, perlindungan anak, serta sistem
peradilan pidana anak dan serangkaian proses pencapaian keadilan dalam bentuk
pelaksanaan diversi di wilayah hukum Pengadilan Anak Kupang.
3. Kerangka Teori.
a. Teori Keadilan
Pengertian keadilan
memiliki sejarah pemikiran yang panjang, tema keadilan merupakan tema utama
dalam hukum semenjak masa Yunani Kuno hingga sekarang[3]. Memang
secara hakiki, dalam diskursus hukum, sifat dari keadilan dapat dilihat dalam 2
arti pokok, yakni dalam arti formal yang menuntut bahwa hukum itu berlaku
secarah umum, dan dalam arti materil, yang menuntut agar setiap hukum itu harus
sesuai dengan cita-cita keadilan masyarakat[4].
Soekanto dalam tulisannya menyebutkan dua kutub citra keadilan yang harus
melekat dalam setiap tindakan yang hendak dikatakan sebagai tindakan adil,
yakni (1). Naminem Laedere (jangan
merugikan orang lain), yang secara luas azas ini berarti " Apa yang anda
tidak ingin alami, janganlah menyebabkan orang lain mengalaminya". (2). Suum
Cuique Tribuere, (bertindaklah
sebanding). Secara luas azas ini berarti "Apa yang boleh anda dapat,
biarkanlah orang lain berusaha mendapatkannya". Azas pertama merupakan sendi
equality yang ditujukan kepada umum sebagai azas pergaulan hidup.
Sedangkan azas kedua merupakan azas equity yang diarahkan pada penyamaan
apa yang tidak berbeda dan membedakan apa yang memang tidak sama[5].
Apabila dikaitkan dengan
keadilan yang patut diterima oleh anak pelaku kejahatan tentu sangat tidak
menguntungkan, manakalah anak pelaku kejahatan dipandang sebagai penjahat yang
tidak harus mendapatkan perlindungan dan keadilan, mengingat kejahatan yang
telah dilakukan olehnya tanpa melihat alasan terjadinya kejahatan. Asas praduga
tak bersalah yang harusnya menjadi payung hukum dalam memberikan keadilan bagi
setiap orang yang melakukan kejahatan, termasuk anak sebagai pelaku kejahatan
justru terkadang diabaikan.
b.
Teori Perlindungan Hukum.
Awal
mula dari munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum
alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles
(murid Plato), dan Zeno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam
menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan
abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut
aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara
internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan
moral.
Pemikiran
yang lebih eksplisit tentang hukum sebagai pelindung hak-hak asasi dan
kebebasan warganya, dikemukakan oleh Immanuel
Kant. Bagi Kant, manusia merupakan makhluk berakal dan berkehendak bebas.
Negara bertugas menegakkan hak-hak dan kebebasan warganya. Kemakmuran dan
kebahagian rakyat merupakan tujuan negara dan hukum, oleh karena itu, hak-hak
dasar itu, tidak boleh dihalangi oleh negara[6].
Hak-hak
dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, meliputi hak untuk hidup, hak
berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak
berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan, yang oleh karena itu
tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun.
Fitzgerald menjelaskan
teori pelindungan hukum ala Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan
mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu
lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat
dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak[7].
Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga
hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang
perlu diatur dan dilindungi[8].
Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari
suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat
yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur
hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseoranan
dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingak masyarakat.
Menurut
Satijipto Raharjo, perlindungan
hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang
dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar
dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum[9].
Menurut
pendapat Pjillipus M. Hadjon bahwa
perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat
preventif dan represif[10].
Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa,
yang mengarahkan tindakan pemerintah berikap hati-hati dalam pengambilan
keputusan bedasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk
menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di lembaga peradilan[11].
Patut dicatat bahwa upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang
diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar
dari hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum,
meskipun pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang,
namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan[12].
Terhadap
kasus anak yang berhadapan dengan hukum, bentuk perlindungan yang dimaksudkan
adalah bagaimana negara ikut terlibat secara langsung melalui lembaga-lembaga
negara yang berperan aktif dalam menyelesaikan setiap persoalan yang sedang
dihadapi mengingat sebagai masyarakat yang berada dalam suatu negara secara
tidak langsung telah menyerahkan segalah kehidupannya untuk diatur oleh negara,
oleh karena itu maka aspek perlindungan hak dan kewajiban harus menjadi
prioritas dalam kehidupan sebagai bangsa yang telah bersepakat untuk menjadi
suatu negara.
c. Teori
Labeling
Schrag memberikan simpulan atas asumsi
dasar teori labeling, yaitu sebagai berikut[13]: (1)
Tidak ada satu perbuatan yang terjadi dengan sendirinya bersifat kriminal. (2)
Rumusan batasan tentang kejahatan dan penjahat dipaksakan sesuai dengan
kepentingan mereka yangmemiliki kekuasaan. (3) Seseorang menjadi penjahat bukan
karena ia melanggar undang-undang, melainkan karena ia ditetapkan demikan oleh
penguasa. (4) Sehubungan dengan kenyataan di mana setiap orang dapat berbuat
baik atau tidak baik, tidak berarti bahwa mereka dapat dikelompokkan menjadi
dua bagian kelompok: kriminal dan non-kriminal. (5) Tindakan penangkapan
merupakan awal dari proses labeling. (6) Penangkapan dan pengambilan keputusan
dalam system peradilan pidanan adalah fungsi dari pelaku/penjahat sebagai lawan
dari karakteristik pelanggarannya. (7) Usia, tingkatan sosial-ekonomi, dan ras
merupakan karateristik umum pelaku kejahatan yang menimbulkan perbedaan
pengabilan keputusan dalam sistem peradilan pidana. (8) Sistem peradilan pidana
dibentuk berdasarkan perspektif kehendak bebas yang memperkenankan penilaian
dan penolakan terhadap mereka yang dipandang sebagai penjahat. (9) Labeling
merupakan suatu proses yang akan melahirkan identifikasi dengan citra
sebagai deviant dan sub-kultur serta menghasilan “rejection of the rejector”.
Dilain pihak, terlepas dari aspek kejahatan
yang dikarenakan label/cap yang melekat pada diri seseorang akibat suatu
perbuatan yang dilakukannya maupun sebagai korban suatu kejahatan, jika teori
labeling di perhadapkan dengan kasus anak sebagai pelaku kejahatan, maka
keadaan dalam tekanan secara otomatis akan sepenuhnya diterima dan memungkinkan
label tersebut akan mengantarkan seorang anak ke dunia kejahatan yang
sesungguhnya. Akibat yang lebih berat manakala kejahatan yang
dilakukan oleh seorang anak akan menjadi kebiasaan yang dilakukan sesering
mungkin. Karenanya kajian diversi untuk pencapaian keadilan restoratif yang
termuat dalam UU No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak dapat
menjadi resolusi yang bisa di gunakan saat solusi dalam bentuk personal antar
pelaku dan korban kejahatan tidak menemui hasil dan sekaligus akan berdampak
pada perbaikan hubungan dan penghindaran atas label/cap yang harus di terima
oleh pelaku dan korban dari suatu kejahatan[14].
d. Teori
Utilitarianisme
Menurut aliran ini yang dipelopori oleh Jeremy
Bentham, tujuan hukum adalah
memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan sebanyak-banyaknya kepada warga
masyarakat yang didasari oleh falsafah sosial yang mengungkapkan bahwa setiap
warga negara mendambakan kebahagiaan, dan hukum merupakan salah satu alatnya[15]. Pemikiran
hukum Bentham banyak diilhami oleh karya David
Hume (1711-1776) yang merupakan seorang pemikir dengan kemampuan analisis
luar biasa, yang meruntuhkan dasar teoritis dari hukum alam, di mana inti ajaran
Hume bahwa sesuatu yang berguna akan memberikan kebahagiaan. Atas dasar
pemikiran tersebut, kemudian Bentham membangun sebuah teori hukum komprehensif
di atas landasan yang sudah diletakkan Hume tentang asas manfaat. Menurutnya hakikat kebahagiaan adalah kenikmatan
dan kehidupan yang bebas dari kesengsaraan. Bentham menyebutkan bahwa “The
aim of law is The Greatest Happines for the greatest number”[16].
Secara sederhana apabila
dikaitkan antara teori utilitarianisme dengan kasus anak yang berhadapan dengan
hukum, maka akan ditarik suatu benang merah yang menjadi acuan penting,
terutama dalam proses pencarian keadilan oleh anak sebagai pelaku dan korban
kejahatan. Alasan pembenarannya adalah bahwa dalam menyelesaikan kasus anak
yang berhadapan dengan hukum, entah dalam bingkai anak sebagai korban atau
pelaku kejahatan, maka UU yang menjadi patokan dalam penyelesaiannya perlu
diupayakan untuk mencapai aspek kebahagiaan sebesar-besarnya bagi kepentingan
para pihak (anak) yang berperkara. Terhadap
UU No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, akan dipandang
berhasil , bermanfaat dan dapat dikatakan sebagai UU yang baik, apabila setiap
rumusan pasal/rekomendasi ketentuan yang ada di dalamnya dapat berdampak pada
kebahagiaan anak yang berhadapan dengan hukum.
B. Hasil dan pembahasan
1.
Penerapan Diversi dan Restoratif Justice Sistem
dalam pemidanaan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana di wilayah hukum
Pengadilan Anak Kupang.
Terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum di wilayah hukum kupang, dari hasil pengamatan yang
dilakukan oleh penulis di Lembaga Pemasyarakatan kelas I A Anak Kupang, Bapas
Kupang dan Pengadilan Negeri kelas I A Kupang (Pengadilan anak) terlihat jelas bahwa telah terdapat rangkaian
panjang yang dilakukan oleh setiap elemen pendukung proses (mulai dari BAPAS
hingga penempatan di LP Anak) untuk menghasilkan keputusan terbaik bagi anak.
Terlihat selama proses penelitian bahwa pada prinsipnya tidak sedikit kasus anak-anak
di kawsan hukum pengadilan anak Kupang yang berhadapan dengan hukum.
Data yang di himpun,
tercatat 50 kasus anak yang di selesaikan di pengadilan negeri kelas I A Kupang
dengan 37 orang diputus menjadi warga binaan dari Lembaga Pemasyarakatan anak
kelas I A Kupang dari tahun 2014 hingga pada saat penelitian ini dilakukan. Jenis
kejahatan yang dilakukan oleh anak sangat bervariasi mulai dari pembunuhan,
pencurian, penganiayaan, pemfitnaan, serta kasus asusila. Tercatat terdapat 90%
kejahatan ini lazim dilakukan oleh anak. Terkait dengannya, asusila menjadi
trend bentuk kejahatan yang paling sering terjadi.
Terkait dengan penerapan deversi dalam proses pencapaian restoratif justice, di lingkungan
kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur
dapat dikatakan telah dilakukan. Kendatipun proses pencapaian restoratif telah dilakukan, namun masih
terdapat banyak kekurangan yang terlihat sangat jelas dalam pelaksanaannya.
Alasan sederhana untuk menjelaskan setiap kekurangan dimaksud adalah bahwa
dalam pelaksanaannya lembaga-lembaga yang berperan seperti bapas, masyarakat,
lembaga adat, tokoh agama, dan keluarga tidak selalu bersepakat untuk mencapai
kesepakatan yang menguntungkan bagi kedua pihak yang berperkara.
Diversi yang
digadang sebagai model yang berpotensi memberikan dampak perubahan dalam aspek
rekonsiliasi antara pihak yang berperkara terkadang menemui jalan buntuh. Belum
lagi ditambah persoalan yang semakin mempersulit dengan terbatasnya jumlah
petugas BAPAS, dalam hal ini Pembimbing Kemasyarakatan (PK) yang bertugas untuk
memfasilitasi sekaligus memediasi persoalan antara para pihak yang berperkara.
untuk wilayah kerja di kawasan Kementrian Hukum Dan HAM NTT.
Bertalian dengan
kenyataan yang telah digambarkan sebelumnya tentang kurangnya petugas BAPAS
yang juga menjadi agen negara dalam proses diversi,
menjadi sangat tidak optimal manakala kasus anak yang berhadapan dengan
hukum meningkat setiap tahunnya, sementara petugas Bapas tidak sebanding dengan
kasus-kasus tersebut. Pelaksanaan diversi
hanya diatas kertas, sementara proses pelaksanaannya tidak benar-benar
optimal karena kekurangan-kekurangaan tersebut diatas. Rasionya adalah
penanganan oleh BAPAS terhadap kasus anak yang berhadapan dengan hukum yang
dapat di katakan tidak optimal, dengan demikian hal yang sering terjadi adalah
bahwa rekomendasi Bapas kepada hakim
anak dalam persidangan semata rekomendasi yang tidak bisa dikatakan sebagai
hasil LITMAS yang betul-betul dijalankan.
Persoalan inilah yang
harus dipandang penting oleh negara lewat Kementrian Hukum dan HAM RI untuk
mulai memperbaiki keadaan dengan menambah petugas yang menangani kasus anak
yang berhadapan dengan hukum. Alasannya bahwa sebagus apapun pola diversi dan restoratif justice yang termuat dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem peradilan Pidana Anak, namun apabila pelaksanaannya tidak sebagus
cita-cita UU karena alasan personil pelaksana maka UU No 11. Tahun 2012 tidak
dapat dipandang sebagai suatu produk hukum yang baik karena negara menyediakan
UU tanpa mempertimbangkan faktor pendukung pelaksanaan UU.
Beralih dari peran BAPAS dalam memediasi anak dalam
diversi untuk tujuan restoratif, pihak pendukung seperti keluarga juga dipandang penting. Selain itu,
lembaga adat dalam proses diversi juga
menjadi salah satu pendukung untuk mencapai kesepakatan restoratif. Selain itu,
dalam wawancara penulis dengan salah satu hakim di pengadilan negeri kelas I A
Kupang (Ida Bagus Dwiyantara), menyatakan bahwa:
“pada prinsipnya pengadilan akan dengan
terbuka berharap ada pencapaian kesepakatan yang menguntungkan anatara para
pihak selama proses diversi sebelum pelimpahan kasus anak yang berhadapan
dengan persoalan hukum ke pengadilan anak, karena apapun hasil dari diversi
akan berpengaruh pada putusan oleh hakim anak. Karena itu kerja sama serta
semua unsur pendukung untuk putusan terbaik bagi anak haruslah menjadi
prioritas utama. Akan tetapi tidak dipungkiri bahwa terhadap anak dengan tipe
kejahatan berat seperti pembunuhan atau asusila memang diperlukan sedikitnya
perlakuan yang khusus selama proses diversi, putusan oleh hakim anak, termasuk
saat di lembaga pemasyarakatan khusus anak, dengan tujuan untuk pemulihan total
dan dapat berubah sekaligus melupakan kejadian yang dilakukan sehingga tidak
berefek buruk pada kehidupan anak tersebut kelak”.
Dari
penjelasan diatas jelas dapat dikatan bahwa peran pengadilan dalam proses demi
tercapainya putusan terbaik bagi anak di kawasan hukum pengadilan Anak Kota
Kupang terletak pada rekomendasi yang diberikan dari hasil kesepakan diversi para pihak yang kemudian menjadi
patokan bagi hakim anak dalam menjatuhkan putusan yang seyogianya terbaik bagi
anak.
2. Penegakan
UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, terkait dengan penerapan
diversi dan restoratif justice terhadap anak sebagai pelaku kejahatan di
kawasan hukum Pengadilan Anak Kupang.
Pada prinsipnya penegakan hukum terhadap anak pelaku
kejahatan di kawasan hukum pengadilan negeri kelas I A kupang (pengadilan anak) di jalankan sesuai dengan standar prosedural
pelaksanaan penegakan hukum. Konteks
penegakan hukum di wilayah kerja PN kelas I A Kupang juga merupakan bentuk
representasi Amanat konstitusi yang secara tegas menjelaskan bahwa penegakan
hukum yang dimaksud bertujuan untuk menjaga hak dan martabatnya sebagai
manusia, oleh karena itu anak yang berhadapan dengan hukum berhak mendapat
perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan yang
termuat diejawantakan dalam UU No. 11 tahun 2012 dan standar-standar operasinal
yang telah ditentukan oleh negara terhadap lembaga-lembaga yang ikut terlibat
dalam urusan anak yang berhadapan dengan hukum seperti kepolisian, kejaksaan,
BAPAS, Pengadilan Anak, LP Anak, juga termasuk lembaga adat dan masyarakat.
Terkait persoalan anak
yang berhadapan dengan hukum di wilayah kerja PN kelas I A Kupang, tentu
Undang-undang No 11 tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak mengarahkan pada pola sistem pemidanaan yang
khusus dengan mempertimbangkan berbagai hal termasuk hak asasi anak dan upaya
lain sebelumnya dilakukan diluar sistem peradilan yang kemudian baru dapat
memberikan rekomendasi terbaik bagi hakim dalam persidangan khusus anak guna
memberikan putusan yang paling menguntungkan bagi anak pelaku tindak kejahatan.
Pada prinsipnya, proses diversi di kawasan hukum Pengadilan Anak
Kupang dan kementrian hukum dan Ham wilayah
kerja NTT dilakukan melalui musyawarah
dengan melibatkan: Anak dan orang
tua/wali, korban dan atau orang tua/wali (apabila korbannya anak), Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan
Restoratif. terkait hal diperlukan, musyawarah dimaksud adalah dengan
melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat (antara lain tokoh
agama, guru, dan tokoh masyarakat[17].
Terkait dengannya, dalam proses diversi
wajib memperhatikan[18]: a)
Kepentingan korban; b) Kesejahteraan dan tanggung jawab Anak; c) Penghindaran
stigma negatif; d) Penghindaran pembalasan; e) Keharmonisan masyarakat; dan f)
Kepatutan, Kesusilaan, dan Ketertiban umum.
Terkait dengannya,
Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim dalam melakukan diversi harus mempertimbangkan: a) Kategori tindak pidana[19];
b) Umur anak[20]; c) Hasil penelitian
kemasyarakatan dari Bapas; dan d) Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
Kesepakatan mengenai terjadinya diversi
juga harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta
kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk[21]: a) Tindak pidana yang berupa pelanggaran; b)
Tipiring; c) Tindak pidana tanpa korban; d) Nilai kerugian korban tidak lebih
dari nilai upah minimum provinsi setempat. Hasil dari kesepakatan untuk
menjalankan proses diversi dapat
berbentuk[22]:
a) Perdamaian dengan atau tanpa ganti
kerugian; b) Penyerahan kembali kepada orang tua/wali; c) Keikutsertaan dalam
pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga)
bulan; atau d) Pelayanan masyarakat.
3.
Prospek pola penanganan tindak pidana terhadap anak
sebagai pelaku kejahatan di masa mendatang.
a.
Pola/Model Penanganan Tindak pidana yang berbasis
Harmoni bagi anak.
Terhadap kasus anak yang
berhadapan dengan hukum dengan pertimbangan regulasi yang mengatur kesemua
sistem peradilan pidana anak maka pendekatan yang perlu dipertimbangkan
mengingat banyak hal yang sesuai pengamatan penulis terlihat banyak kelemahan
dalam menjawab amanat UU. Keadaan tersebut terlihat jelas selama proses diversi
hingga sampai pada putusan oleh hakim yang mana hakim hanya menunggu
rekomendasi dari bapas saja sebagai bahan pertimbangannya untuk menjatuhkan
putusan terhadap anak pelaku kejahatan tertentu.
Apabila dilihat lebih
lanjut, diversi sedianya hanya
menjadi cover dari aspek pencapaian keadilan restoratif. Mengapa demikian? Karena dalam pelaksanaannya tidak
semua anak pelaku kejahatan betul-betul difasilitasi oleh PK sebagai perwakilan
negara untuk mencapai kesepakatan. Lebih lanjut, terlihat bahwa cita dari diversi tidak mencapai klimaksnya,
karena diversi kesannya hanya
diperuntukan untuk kejahatan yang sifatnya sedang, sementara untuk kejahatan
berat seperti pembunuhan, pemerkosaan/asusilah,dll. Karenanya maka tuntutan
perubahan menjadi hal yang sangat diperlukan sekarang. Perubahan yang dimaksud
bukan berarti merubah sistem peradilan pidana anak dengan keseluruhan yang ada
pada UU No. 11 tahun 2012, akan tetapi perubahan yang dimaksud adalah pelengkap
yang dipandang kurang dengan menggunakan pola yang agak berbeda.
Terhadap keadaan ini,
pola yang ditawarkan adalah penyelesaian sengketa yang berbasis harmonisasi
demi pencapaian keadilan restoratif yang elegan. Alasan sederhana untuk
menjelaskan argumentasi diatas adalah bahwa harmonisasi menjadi patokan dalam
menyelesaikan kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Dengan kata lain,
harmonisasi tidak sekedar bentuk rekonsiliasi individual antara pelaku dan
korban, akan tetapi lebih dari pada itu tindakan harmonisasi yang bersifat
sosial dan adikodrati dengan sang ilahi[23].
Harmonisasi dalam penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum
menjadi suatu model yang secara nyata dapat dikatakan sebagai suatu upaya yang
pelaksanaannya dilakukan sesederhana mungkin dengan merokonstruksi nilai-nilai
budaya dan kearifan lokal dalam peradilan yang sedianya menjadi peradilan
alternatif untuk mencapai keadilan bersama. Harmonisasi ini juga dapat dipandang
tidak saja dilakukan pada penyelesaian sengketa diluar sidang peradilan
pidana/alternatif/ Non-Penan, akan tetapi juga dimasukan sebagai bagian penting
dalam peradilan negara/Penan, akan tetapi peradilan tersebut juga harus
berbasis harmoni dalam artian bahwa keberlangsungan proses peradilan pidana
haruslah selalu dalam tuntunan dan kontrol dari kekuatan duniawi maupun
kekuatan adikodrati/kekuatan ilahi[24], guna
mencapai putusan yang adil.
Perubahan ini dapat
menjadi lebih elegan apabila dalam proses diversi
demi pencapaian restoratif justice hingga
ssampai pada urusan persidangan untuk menjatuhkan putusan juga sedianya harus
diberi muatan harmonisasi. Maksudnya adalah bahwa kendatipun suatu kejahatan
besar telah dilakukan oleh seorang anak, akan tetapi dengan pola harmonisasi
yang ditawarkan dapat digunakan untuk kebaikan bagi korban dan pelaku. Tidak
hanya itu, efek positifnya adalah bahwa stigma penjahat atau korban kejahatan
dengan sendirinya tidak menjadi beban yang harus dipikul oleh pelaku dan korban
suatu kejahatan, manakala kejahatan tersebut mampu dipertanggungjawabkan secara
nyata oleh pelaku, baik pertanggung jawaban kepada negara sebagai penjamin
ketentraman kehidupan masyarakatnya, kepada korban dan keluarga, masyarakat
umum, lingkup masyarakat adat, maupun pertanggungjawaban kepada Tuhan, yang
telah dilakukan secara bersama-sama sebelumnya dalam proses diversi untuk selanjutnya dapat menjadi
patokan dalam putusan hakim pengadilan anak.
Pola harmonisasi dalam
proses penanganan kasus bagi anak yang berhadapan dengan hukum inilah yang
seharusnya menjadi bentuk jaminan perlindungan serta keikutsertaan negara dalam
memperbaiki kembali hubungan yang rusak akibat kejahatan yang dilakukan oleh
seorang anak. Dengan demikian, cita UU No. 11 Tahun 2012 tentang sistem
peradilan Pidana anak dapat terpenuhi. Pencapaian amanat UU itu tidak saja
terlihat dalam setiap putusan hakim anak kepada anak pelaku kejahatan, akan
tetapi terlihat sejak proses panjang yang dilakukan Pembimbing Kemasyarakatan
(BAPAS), putusan hakim, pelaksanaan pembinaan dilembaga pemasyarakatan anak,
sampai pada seorang anak dikembalikan tanggungjawabnya pembinaan dan pengawasan
kepada orang tua dan kepada masyarakat.
C. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Penerapan
diversi dan restoratif justice dalam pemidanaan terhadap anak sebagai pelaku
tindak pidana tertentu dikawasan hukum Kupang dalam kenyataannya tidak begitu optimal
dijalankan. Hal ini disebabkan karena lemahnya lembaga-lembaga negara yang
berperan untuk mengimplementasikan amanat konstitusi yang termuat dalam UU no.
11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak. Efek yang nyata sebagai
akibat dari kelemahan negara mengacuh pada kelemahan lembaga-lembaga seperti
Bapas, partisipasi yang kurang dari tokoh masyarakat, tokoh agama dan tidak
dipungkiri bahwa antar para pihak (konteks keluarga) masi belum bisa dilibatkan
secara aktif dalam proses pencapaian restoratif
justice dengan pola diversi dengan alasan yang vafiatif,
mulai dari ketidak sediaan hingga sampai pada keberatan untuk berunding
mengingat kejahatan yang terjadi menimbulkan trauma dan murka tersendiri.
2. Prospek
Pola penanganan terhadap anak pelaku tindak pidana tertentu yang mestinya
menjadi cara cadangan manakala pendekatan rekonsiliasi ala UU no 11 tahun 2012
tidak mampu memberikan jawaban atas perselisihan para pihak justru tidak
terdapat dalam Standar Operasi Prosedur penanganan anak yang berhadapan dengan
hukum. Negara mengandalkan kekuatan petugas Bapas dalam proses perdamaian non
penal akan tetapi pola yang dibangun tidak menggambarkan bentuk responsibilitas
negara dalam memediasi persoalan anak tersebut.
Berdasarkan
kesimpulan diatas,
maka disarankan :
1. Agar
penerapan diversi dan restoratif justice dalam pemidanaan terhadap anak sebagai
pelaku tindak pidana tertentu dikawasan hukum Pengadilan Anak Kupang dapat
berjalan dengan optimal, maka dalam pelaksanaannya selain memperhatikan amanat
UU, patut memperhatikan juga pilar pendukung tercapainya proses mediasi dan rekonsiliasi
seperti tenaga Pendamping Kemasyarakatan yang pada intinya harus diperbanyak sesuai
dengan rasio wilaya kerja Balai Pemasyarakatan, mengingat banyaknya kasus anak yang
herus berhadapan dengan hukum semakin bertamba di kawasan hukum pengadilan anak
Kupang.
2. Prospek
Pola penanganan terhadap anak pelaku tindak pidana tertentu mestinya
menggunakan pola harmonisasi sebagai bagian pelengkap penting dalam proses diversi dalam menjalankan sistem
peradilan (non penal dan penal),
sehingga mampu menjawab tuntutan dalam UU No 11 Tahun 2012 tentang sistem
peradila pidana anak.
Daftar
Pustaka
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat
Hukum Sejarah, Aliran dan Pemaknaan, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 2006.
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta, Sinar Grafiti, 2008
Bernard L. Tanya, Ed. All, Teori
Hukum (Strategi tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), Yogyakarta: Genta
Publishing, 2010.
E. Fernando M.
Manulang, Menggapai Hukum Berkeadilan,
Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, jakarta, Kompas, 2007.
Franz Magnis Suseno, Etika
Politik, prinsip-prinsip moral dasar kewarganegaraan modern, Jakarta:
Gramedia, 2003.
Haji N.A. Noor Muhammad, Proses Hukum Bagi Orang yang
Didakwa Melakukan Kejahatan, dalam Hak Sipil dan Politik : Esai-Esai Pilihan, Ifdhal Kasim
(Editor), Jakarta: Elsam, 2001.
Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum ; Edisi
lengkap (Dari Klasik sampai Postmoderenisme), Penerbit Universitas Atma
Jaya Yogyakarta, Jogyakarta, 2011
H.R Otje Salman, S, Filsafat Hukum (Perkembangan &
Dinamika Masalah), Refika Aditama, Bandung, 2010,
Karolus Kopong Medan, Sistem
Peradilan (Gagasan Alternatif dalam Berhukum), Yogyakarta, Genta Press, 2012.
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, , 2008.
Maria Alfons, “Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk
Masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual”,
Ringkasan Disertasi Doktor, Malang:
Universitas Brawijaya, 2010.
Phillipus M. Hadjon, “perlindungan
hukum Bagi Rakyat Indonesia”,
Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987.
Prayogo, Presly.
Aplikasi Hukum Terhadap Perlindungan Anak Dikaitkan Dengan Hak Asasi Manusia.
Jurnal Vol.XXI/No.4/April-Juni /2013 Edisi Khusus. ejournal.unsrat.ac.id, 2013,
hlm. 21 diakses pada hari senin, 31 Oktober 2014
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta
Kriminologi, Bandung: PT Eresco, 1992.
________________, Peradilan Anak Di Indonesia, Mandar
Maju, Bandung, 1997.
Satijipto Raharjo, “Ilmu
Hukum, Bandung”: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.
[1] Haji N.A. Noor Muhammad, Proses Hukum Bagi Orang yang Didakwa
Melakukan Kejahatan, dalam Hak Sipil dan Politik, Elsam, Jakarta, 2001,hlm.
180.
[2] Konvensi Hak-Hak Anak di
Jenewa dalam Prayogo, Presly. Aplikasi Hukum Terhadap Perlindungan Anak
Dikaitkan Dengan Hak Asasi Manusia. Jurnal Vol.XXI/No.4/April-Juni /2013 Edisi
Khusus. ejournal.unsrat.ac.id, 2013, hlm. 21 diakses pada hari senin, 31
Oktober 2014
[3] E. Fernando M. Manulang,
Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan
Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Kompas, Jakarta, 2007, hlm. 96.
[4]Franz Magnis Suseno, Etika
Politik, prinsip-prinsip moral dasar kewarganegaraan modern, Gramedia,
Jakarta, 2003, hlm.
81.
[5] Abdul Ghofur Anshori, Filsafat
Hukum Sejarah, Aliran dan Pemaknaan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2006, hlm. 51
[6] Bernard L.
Tanya Ed. All.Op. Cit,hlm , 75
[7] Satijipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2000, hlm. 53.
[10] Phillipus M. Hadjon, perlindungan hukum Bagi Rakyat
Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya,
1987, hlm. 2.
[11] Maria Alfons, “Implementasi
Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk Masyarakat Lokal Dalam
Perspektif Hak Kekayaan Intelektual”, Ringkasan Disertasi Doktor, Universitas
Brawijaya, Malang, 2010, hlm.
18.
[14] Lihat UU No. 11 tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
bab I pasal 1 ayat (6), dan (7), pasal 6, pasal 8 ayat (1) dan (3)
[15] Hyronimus
Rhiti, Filsafat
Hukum ; Edisi lengkap (Dari Klasik sampai Postmoderenisme), Penerbit
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Jogyakarta, 2011, hlm 159.
[16] H.R
Otje Salman, S, Filsafat
Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), Refika Aditama, Bandung, 2010,
hlm 44.
[17] Pasal 8, Undang-undang
No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
[18] Pasal 8 ayat (3), Undang-undang
No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
[19] Ketentuan ini merupakan
Indikator bahwa semakin rendah ancaman pidana semakin tinggi prioritas diversi.
Diversi tidak dimaksudkan untuk
dilaksanakan terhadap pelaku tindak pidana yang serius, misalnya pembunuhan,
pemerkosaan, pengedar narkoba dan terorisme yang diancam pidana di atas 7
(tujuh) tahun.
[20] Umur anak dalam ketentuan
ini dimaksudkan untuk menentukan prioritas pemberian Diversi dan semakin muda
umur anak semakin tinggi prioritas Diversi.
[21] Pasal 9 ayat (2),
Undang-undan No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
[22] Pasal 11 , Undang-undan
No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
[23] Karolus
Kopong Medan, Karolus Kopong Medan, Sistem
Peradilan (Gagasan Alternatif dalam Berhukum), Yogyakarta, Genta Press, 2012, hlm. 197.