Senin, 15 Juni 2015

DIVERSI DAN RESTORATIF JUSTICE SERTA POLA SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA TERTENTU DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN ANAK KUPANG

DIVERSI DAN RESTORATIF JUSTICE SERTA POLA SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA TERTENTU DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN ANAK KUPANG
Yosep Copertino Apaut
Program Pascasarjana Universitas Nusa Cendana Kupang
Jln. Adisucipto-Kupang 85001, Tlp (0380) 881580, Fax (0380) 21674, 831001

Abstrac
Law enforcement against juvenile offenders to be the most difficult run in Kupang district court of law. Diversion approach and the concept of restorative justice, as well as patterns of harmonization should be a basic consideration in Hank dropped the judge's decision would not be optimal when the conduct of diversion and restorative justice are not actually performed by state agencies in charge of running the process for reasons of limited personnel executing tasks Research community. Handling cases of children in conflict with the law, the concept of diversion and restorative justice concept, the mandate of Law Number 11 of 2012 concerning juvenile criminal justice system has provided an ideal concept of the noble objectives of the perpetration of diversion and restorative justice process that essentially involves all parties in order to improve children's moral and achieving improvement of relations between the litigants (aspect Reconciliation).
Keywords: Diversion, Restorative Justice, Pattern, Punishment.
Abstrak
Penegakan hukum terhadap anak pelaku kejahatan menjadi hal yang paling sulit dijalankan di kawasan hukum pengadilan negeri Kupang. Pendekatan diversi dan konsep restorative justice, serta pola harmonisasi yang mestinya menjadi dasar pertimbangan hakim dalam mejatuhkan putusan tentu tidak akan optimal manakala pelaksanan diversi dan restoratif justice tidak benar-benar dilakukan oleh lembaga negara yang bertugas untuk menjalankan proses tersebut karena alasan keterbatasan personil pelaksana tugas LITMAS (Penelitian Kemasyarakatan). Penanganan kasus anak yang berhadapan dengan hukum, dalam konsep diversi dan konsep restorative justice, dalam amanat UU no 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak tealah memberikan konsep yang ideal tentang tujuan mulia dari dilakukannnya proses diversi dan restoratif justice yang pada intinya melibatkan semua pihak dalam rangka untuk perbaikan moral anak dan pencapaian perbaikan hubungan anatar pihak yang berperkara (Rekonsiliasi).

Kata Kunci : Diversi, Restoratif Justice, Pola, Pemidanaan.
A.  Pendahuluan
1.    Latar Belakang
Seseorang yang melanggar hukum pidana akan berhadapan dengan negara melalui aparatur penegak hukumnya. Sebagai instrument pengawasan sosial, hukum pidana menyandarkan diri pada sanksi karena fungsinya memang mencabut hak orang atas kehidupan, kebebasan, atau hak milik mereka. Invasi terhadap hak dasar ini dibenarkan demi melestarikan masyarakat dan melindungi hak-hak fundamental dari gangguan orang lain[1]. Hukum pidana ini berlaku untuk setiap orang kecuali untuk orang yang jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit ( Pasal 44 KUHP).
Anak merupakan subyek hukum pidana yang dapat melakukan suatu tindak pidana. Apabila anak-anak berhadapan dengan hukum, maka potensi hak-haknya dilanggar oleh negara lebih besar ketimbang orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Potensi ini dikarenakan anak merupakan sosok manusia yang dalam kehidupannya masih menggantungkan pada intervensi pihak lain.
Umumnya anak sebagai pelaku tindak pidana harus diperlakukan secara manusiawi untuk kepentingan terbaik bagi anak itu sendiri demi mewujudkan pertumbuhan dan memberikan perkembangan fisik, mental dan sosial. Negara dan Undang-undang wajib memberikan perlindungan hukum yang berlandaskan hak-hak anak, sehingga diperlukan pemidanaan edukatif terhadap anak.
Pemidanaan terhadap anak harus memperhatikan beberapa hal penting terkait hak asasi anak seperti tercantum dalam Konvensi Hak-Hak Anak di Jenewa (Convention On The Right of The Child)[2] yang antara lain: (1) Setiap anak berhak mendapat jaminan perlindungan dan perawatan yang dibutuhkan untuk kesejahteraan anak. (2) Setiap anak memiliki hak yang merupakan kodrat hidup. (3) Negara menjamin kelangsungan hidup dan pengembangan anak. (4) Bagi anak yang terpisah dari orangtuanya, berhak mempertahankan hubungan pribadi dan kontak langsung secara tetap. (5) Setiap anak berhak mengembangkan diri, menyatakan pendapatnya secara bebas, kemerdekaan berpikir dan beragama. (6) Setiap anak berhak mendapat perlindungan dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, perlakuan salah, termasuk penyalahgunaan seksual. (7) Setiap anak berhak mendapat pelayanan kesehatan, perawatan dan pemulihan kesehatan, dengan sarana yang sebaik-baiknya. (8) Setiap anak berhak mendapat pendidikan dasar secara cuma-cuma, yang dilanjutkan pendidikan menengah, umum, kejuruan, pendidikan tinggi sesuai sarana dan kemampuan. (9) Setiap anak berhak mendapat pemeliharaan, perlindungan atau perawatan kesehatan rohani dan jasmani secara berkala dan semaksimal mungkin. (10) Setiap anak berhak untuk beristirahat dan bersantai, bermain dan turut serta dalam rekreasi yang sesuai dengan usia anak.
Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang secara komprehensif memenuhi tuntutan zaman, yang dalam ketentuannya memuatkan tentang Diversi dan Restoratif Justice. Kajian diversi ini merupakan langkah tepat untuk pemenuhan akan kebutuhan hukum bagi anak terkait kejahatan/pelanggaran yang dilakukannya. Artinya bahwa penyelesaian di luar peradilan formal (non penal) adalah metode yang cukup penting diperhatikan, kalaupun harus dilakukan oleh Peradilan Formal (penal), maka putusan alternatif selain pidana penjara seperti rehabilitasi seharusnya dijadikan sebagai putusan yang bersifat tunggal/imperatif. Keadaan inilah yang mendorong peneliti melakukan penelitian pada lembaga seperti BAPAS, Pengadilan Anak Kupang dan Lembaga-lembaga sosial lainnya yang memiliki kompetensi dalam menangani kasus anak yang berhadapan dengan hukum di wilayah hukum Pengadilan Anak Kupang dengan melihat proses pelaksanaan amanat UU No. 11 Tahun 2012 oleh lembaga-lembaga negara untuk mencapai hasil yang benar-benar menguntungkan bagi anak yang berhadapan dengan hukum.
2.    Metode Penelitian
Beranjak dari gambaran singkat tentang persoalan anak yang berhadapan dengan hukum dengan sekian banyaknya persoalan, maka penelitian ini diarahkan pada kajian penelitian yuridis empiris. Pendekatan tersebut merupakan penelitian untuk melakukan pengkajian terkait anak yang berada  pada Lembaga Pemasyarakatan Anak dan terhadap peraturan perundang-undangan mengatur tentang anak, perlindungan anak, serta sistem peradilan pidana anak dan serangkaian proses pencapaian keadilan dalam bentuk pelaksanaan diversi di wilayah hukum Pengadilan Anak Kupang.
3.    Kerangka Teori.
a.    Teori Keadilan
Pengertian keadilan memiliki sejarah pemikiran yang panjang, tema keadilan merupakan tema utama dalam hukum semenjak masa Yunani Kuno hingga sekarang[3]. Memang secara hakiki, dalam diskursus hukum, sifat dari keadilan dapat dilihat dalam 2 arti pokok, yakni dalam arti formal yang menuntut bahwa hukum itu berlaku secarah umum, dan dalam arti materil, yang menuntut agar setiap hukum itu harus sesuai dengan cita-cita keadilan masyarakat[4].
Soekanto dalam tulisannya menyebutkan dua kutub citra keadilan yang harus melekat dalam setiap tindakan yang hendak dikatakan sebagai tindakan adil, yakni (1). Naminem Laedere (jangan merugikan orang lain), yang secara luas azas ini berarti " Apa yang anda tidak ingin alami, janganlah menyebabkan orang lain mengalaminya". (2). Suum Cuique Tribuere, (bertindaklah sebanding). Secara luas azas ini berarti "Apa yang boleh anda dapat, biarkanlah orang lain berusaha mendapatkannya". Azas pertama merupakan sendi equality yang ditujukan kepada umum sebagai azas pergaulan hidup. Sedangkan azas kedua merupakan azas equity yang diarahkan pada penyamaan apa yang tidak berbeda dan membedakan apa yang memang tidak sama[5].
Apabila dikaitkan dengan keadilan yang patut diterima oleh anak pelaku kejahatan tentu sangat tidak menguntungkan, manakalah anak pelaku kejahatan dipandang sebagai penjahat yang tidak harus mendapatkan perlindungan dan keadilan, mengingat kejahatan yang telah dilakukan olehnya tanpa melihat alasan terjadinya kejahatan. Asas praduga tak bersalah yang harusnya menjadi payung hukum dalam memberikan keadilan bagi setiap orang yang melakukan kejahatan, termasuk anak sebagai pelaku kejahatan justru terkadang diabaikan.
b.   Teori Perlindungan Hukum.
Awal mula dari munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan Zeno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.
Pemikiran yang lebih eksplisit tentang hukum sebagai pelindung hak-hak asasi dan kebebasan warganya, dikemukakan oleh Immanuel Kant. Bagi Kant, manusia merupakan makhluk berakal dan berkehendak bebas. Negara bertugas menegakkan hak-hak dan kebebasan warganya. Kemakmuran dan kebahagian rakyat merupakan tujuan negara dan hukum, oleh karena itu, hak-hak dasar itu, tidak boleh dihalangi oleh negara[6].
Hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan,  dan hak kesejahteraan, yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun.
Fitzgerald menjelaskan teori pelindungan hukum ala Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan  dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak[7]. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi[8]. Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseoranan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingak masyarakat.
Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum[9].
Menurut pendapat Pjillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif[10]. Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah berikap hati-hati dalam pengambilan keputusan bedasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di lembaga peradilan[11]. Patut dicatat bahwa upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum, meskipun pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang, namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan[12].
Terhadap kasus anak yang berhadapan dengan hukum, bentuk perlindungan yang dimaksudkan adalah bagaimana negara ikut terlibat secara langsung melalui lembaga-lembaga negara yang berperan aktif dalam menyelesaikan setiap persoalan yang sedang dihadapi mengingat sebagai masyarakat yang berada dalam suatu negara secara tidak langsung telah menyerahkan segalah kehidupannya untuk diatur oleh negara, oleh karena itu maka aspek perlindungan hak dan kewajiban harus menjadi prioritas dalam kehidupan sebagai bangsa yang telah bersepakat untuk menjadi suatu negara.
c.    Teori Labeling
Schrag  memberikan simpulan atas asumsi dasar teori labeling, yaitu sebagai berikut[13]: (1) Tidak ada satu perbuatan yang terjadi dengan sendirinya bersifat kriminal. (2) Rumusan batasan tentang kejahatan dan penjahat dipaksakan sesuai dengan kepentingan mereka yangmemiliki kekuasaan. (3) Seseorang menjadi penjahat bukan karena ia melanggar undang-undang, melainkan karena ia ditetapkan demikan oleh penguasa. (4) Sehubungan dengan kenyataan di mana setiap orang dapat berbuat baik atau tidak baik, tidak berarti bahwa mereka dapat dikelompokkan menjadi dua bagian kelompok: kriminal dan non-kriminal. (5) Tindakan penangkapan merupakan awal dari proses labeling. (6) Penangkapan dan pengambilan keputusan dalam system peradilan pidanan adalah fungsi dari pelaku/penjahat sebagai lawan dari karakteristik pelanggarannya. (7) Usia, tingkatan sosial-ekonomi, dan ras merupakan karateristik umum pelaku kejahatan yang menimbulkan perbedaan pengabilan keputusan dalam sistem peradilan pidana. (8) Sistem peradilan pidana dibentuk berdasarkan perspektif kehendak bebas yang memperkenankan penilaian dan penolakan terhadap mereka yang dipandang sebagai penjahat. (9) Labeling merupakan suatu proses yang akan melahirkan identifikasi dengan citra sebagai deviant dan sub-kultur serta menghasilan “rejection of the rejector”.
 Dilain pihak, terlepas dari aspek kejahatan yang dikarenakan label/cap yang melekat pada diri seseorang akibat suatu perbuatan yang dilakukannya maupun sebagai korban suatu kejahatan, jika teori labeling di perhadapkan dengan kasus anak sebagai pelaku kejahatan, maka keadaan dalam tekanan secara otomatis akan sepenuhnya diterima dan memungkinkan label tersebut akan mengantarkan seorang anak ke dunia kejahatan yang sesungguhnya. Akibat yang lebih berat manakala kejahatan yang dilakukan oleh seorang anak akan menjadi kebiasaan yang dilakukan sesering mungkin. Karenanya kajian diversi untuk pencapaian keadilan restoratif yang termuat dalam UU No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak dapat menjadi resolusi yang bisa di gunakan saat solusi dalam bentuk personal antar pelaku dan korban kejahatan tidak menemui hasil dan sekaligus akan berdampak pada perbaikan hubungan dan penghindaran atas label/cap yang harus di terima oleh pelaku dan korban dari suatu kejahatan[14].
d.   Teori Utilitarianisme
Menurut aliran ini yang dipelopori oleh Jeremy Bentham, tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan sebanyak-banyaknya kepada warga masyarakat yang didasari oleh falsafah sosial yang mengungkapkan bahwa setiap warga negara mendambakan kebahagiaan, dan hukum merupakan salah satu alatnya[15]. Pemikiran hukum Bentham banyak diilhami oleh karya David Hume (1711-1776) yang merupakan seorang pemikir dengan kemampuan analisis luar biasa, yang meruntuhkan dasar teoritis dari hukum alam, di mana inti ajaran Hume bahwa sesuatu yang berguna akan memberikan kebahagiaan. Atas dasar pemikiran tersebut, kemudian Bentham membangun sebuah teori hukum komprehensif di atas landasan yang sudah diletakkan Hume tentang asas manfaat. Menurutnya hakikat kebahagiaan adalah kenikmatan dan kehidupan yang bebas dari kesengsaraan. Bentham menyebutkan bahwa “The aim of law is The Greatest Happines for the greatest number”[16].
Secara sederhana apabila dikaitkan antara teori utilitarianisme dengan kasus anak yang berhadapan dengan hukum, maka akan ditarik suatu benang merah yang menjadi acuan penting, terutama dalam proses pencarian keadilan oleh anak sebagai pelaku dan korban kejahatan. Alasan pembenarannya adalah bahwa dalam menyelesaikan kasus anak yang berhadapan dengan hukum, entah dalam bingkai anak sebagai korban atau pelaku kejahatan, maka UU yang menjadi patokan dalam penyelesaiannya perlu diupayakan untuk mencapai aspek kebahagiaan sebesar-besarnya bagi kepentingan para pihak (anak) yang berperkara. Terhadap UU No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, akan dipandang berhasil , bermanfaat dan dapat dikatakan sebagai UU yang baik, apabila setiap rumusan pasal/rekomendasi ketentuan yang ada di dalamnya dapat berdampak pada kebahagiaan anak yang berhadapan dengan hukum.
B.  Hasil dan pembahasan
1.    Penerapan Diversi dan Restoratif Justice Sistem dalam pemidanaan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana di wilayah hukum Pengadilan Anak Kupang.
Terhadap anak yang berhadapan dengan hukum di wilayah hukum kupang, dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh penulis di Lembaga Pemasyarakatan kelas I A Anak Kupang, Bapas Kupang dan Pengadilan Negeri kelas I A Kupang (Pengadilan anak) terlihat jelas bahwa telah terdapat rangkaian panjang yang dilakukan oleh setiap elemen pendukung proses (mulai dari BAPAS hingga penempatan di LP Anak) untuk menghasilkan keputusan terbaik bagi anak. Terlihat selama proses penelitian bahwa pada prinsipnya tidak sedikit kasus anak-anak di kawsan hukum pengadilan anak Kupang yang berhadapan dengan hukum.
Data yang di himpun, tercatat 50 kasus anak yang di selesaikan di pengadilan negeri kelas I A Kupang dengan 37 orang diputus menjadi warga binaan dari Lembaga Pemasyarakatan anak kelas I A Kupang dari tahun 2014 hingga pada saat penelitian ini dilakukan. Jenis kejahatan yang dilakukan oleh anak sangat bervariasi mulai dari pembunuhan, pencurian, penganiayaan, pemfitnaan, serta kasus asusila. Tercatat terdapat 90% kejahatan ini lazim dilakukan oleh anak. Terkait dengannya, asusila menjadi trend bentuk kejahatan yang paling sering terjadi.
Terkait dengan penerapan deversi dalam proses pencapaian restoratif justice, di lingkungan kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur dapat dikatakan telah dilakukan. Kendatipun proses pencapaian restoratif telah dilakukan, namun masih terdapat banyak kekurangan yang terlihat sangat jelas dalam pelaksanaannya. Alasan sederhana untuk menjelaskan setiap kekurangan dimaksud adalah bahwa dalam pelaksanaannya lembaga-lembaga yang berperan seperti bapas, masyarakat, lembaga adat, tokoh agama, dan keluarga tidak selalu bersepakat untuk mencapai kesepakatan yang menguntungkan bagi kedua pihak yang berperkara.
Diversi yang digadang sebagai model yang berpotensi memberikan dampak perubahan dalam aspek rekonsiliasi antara pihak yang berperkara terkadang menemui jalan buntuh. Belum lagi ditambah persoalan yang semakin mempersulit dengan terbatasnya jumlah petugas BAPAS, dalam hal ini Pembimbing Kemasyarakatan (PK) yang bertugas untuk memfasilitasi sekaligus memediasi persoalan antara para pihak yang berperkara. untuk wilayah kerja di kawasan Kementrian Hukum Dan HAM NTT.
Bertalian dengan kenyataan yang telah digambarkan sebelumnya tentang kurangnya petugas BAPAS yang juga menjadi agen negara dalam proses diversi, menjadi sangat tidak optimal manakala kasus anak yang berhadapan dengan hukum meningkat setiap tahunnya, sementara petugas Bapas tidak sebanding dengan kasus-kasus tersebut. Pelaksanaan diversi hanya diatas kertas, sementara proses pelaksanaannya tidak benar-benar optimal karena kekurangan-kekurangaan tersebut diatas. Rasionya adalah penanganan oleh BAPAS terhadap kasus anak yang berhadapan dengan hukum yang dapat di katakan tidak optimal, dengan demikian hal yang sering terjadi adalah bahwa rekomendasi Bapas  kepada hakim anak dalam persidangan semata rekomendasi yang tidak bisa dikatakan sebagai hasil LITMAS yang betul-betul dijalankan.
Persoalan inilah yang harus dipandang penting oleh negara lewat Kementrian Hukum dan HAM RI untuk mulai memperbaiki keadaan dengan menambah petugas yang menangani kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Alasannya bahwa sebagus apapun pola diversi dan restoratif justice yang termuat dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem peradilan Pidana Anak, namun apabila pelaksanaannya tidak sebagus cita-cita UU karena alasan personil pelaksana maka UU No 11. Tahun 2012 tidak dapat dipandang sebagai suatu produk hukum yang baik karena negara menyediakan UU tanpa mempertimbangkan faktor pendukung pelaksanaan UU.
Beralih dari peran BAPAS dalam memediasi anak dalam diversi untuk tujuan restoratif, pihak pendukung seperti  keluarga juga dipandang penting. Selain itu, lembaga adat dalam proses diversi juga menjadi salah satu pendukung untuk mencapai kesepakatan restoratif. Selain itu, dalam wawancara penulis dengan salah satu hakim di pengadilan negeri kelas I A Kupang (Ida Bagus Dwiyantara), menyatakan bahwa:
pada prinsipnya pengadilan akan dengan terbuka berharap ada pencapaian kesepakatan yang menguntungkan anatara para pihak selama proses diversi sebelum pelimpahan kasus anak yang berhadapan dengan persoalan hukum ke pengadilan anak, karena apapun hasil dari diversi akan berpengaruh pada putusan oleh hakim anak. Karena itu kerja sama serta semua unsur pendukung untuk putusan terbaik bagi anak haruslah menjadi prioritas utama. Akan tetapi tidak dipungkiri bahwa terhadap anak dengan tipe kejahatan berat seperti pembunuhan atau asusila memang diperlukan sedikitnya perlakuan yang khusus selama proses diversi, putusan oleh hakim anak, termasuk saat di lembaga pemasyarakatan khusus anak, dengan tujuan untuk pemulihan total dan dapat berubah sekaligus melupakan kejadian yang dilakukan sehingga tidak berefek buruk pada kehidupan anak tersebut kelak”.

Dari penjelasan diatas jelas dapat dikatan bahwa peran pengadilan dalam proses demi tercapainya putusan terbaik bagi anak di kawasan hukum pengadilan Anak Kota Kupang terletak pada rekomendasi yang diberikan dari hasil kesepakan diversi para pihak yang kemudian menjadi patokan bagi hakim anak dalam menjatuhkan putusan yang seyogianya terbaik bagi anak.
2.    Penegakan UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, terkait dengan penerapan diversi dan restoratif justice terhadap anak sebagai pelaku kejahatan di kawasan hukum Pengadilan Anak Kupang.
Pada prinsipnya  penegakan hukum terhadap anak pelaku kejahatan di kawasan hukum pengadilan negeri kelas I A kupang (pengadilan anak) di jalankan sesuai dengan standar prosedural pelaksanaan penegakan hukum.  Konteks penegakan hukum di wilayah kerja PN kelas I A Kupang juga merupakan bentuk representasi Amanat konstitusi yang secara tegas menjelaskan bahwa penegakan hukum yang dimaksud bertujuan untuk menjaga hak dan martabatnya sebagai manusia, oleh karena itu anak yang berhadapan dengan hukum berhak mendapat perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan yang termuat diejawantakan dalam UU No. 11 tahun 2012 dan standar-standar operasinal yang telah ditentukan oleh negara terhadap lembaga-lembaga yang ikut terlibat dalam urusan anak yang berhadapan dengan hukum seperti kepolisian, kejaksaan, BAPAS, Pengadilan Anak, LP Anak, juga termasuk lembaga adat dan masyarakat.
Terkait persoalan anak yang berhadapan dengan hukum di wilayah kerja PN kelas I A Kupang, tentu Undang-undang  No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengarahkan pada pola sistem pemidanaan yang khusus dengan mempertimbangkan berbagai hal termasuk hak asasi anak dan upaya lain sebelumnya dilakukan diluar sistem peradilan yang kemudian baru dapat memberikan rekomendasi terbaik bagi hakim dalam persidangan khusus anak guna memberikan putusan yang paling menguntungkan bagi anak pelaku tindak kejahatan.
Pada prinsipnya, proses diversi di kawasan hukum Pengadilan Anak Kupang dan kementrian hukum dan Ham wilayah  kerja NTT dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan: Anak dan orang tua/wali, korban dan atau orang tua/wali (apabila korbannya anak), Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. terkait hal diperlukan, musyawarah dimaksud adalah dengan melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat (antara lain tokoh agama, guru, dan tokoh masyarakat[17]. Terkait dengannya, dalam proses diversi wajib memperhatikan[18]: a) Kepentingan korban; b) Kesejahteraan dan tanggung jawab Anak; c) Penghindaran stigma negatif; d) Penghindaran pembalasan; e) Keharmonisan masyarakat; dan f) Kepatutan, Kesusilaan, dan Ketertiban umum.
Terkait dengannya, Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim dalam melakukan diversi harus mempertimbangkan: a) Kategori tindak pidana[19]; b) Umur anak[20]; c) Hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan d) Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat. Kesepakatan mengenai terjadinya diversi juga harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk[21]: a) Tindak pidana yang berupa pelanggaran; b) Tipiring; c) Tindak pidana tanpa korban; d) Nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat. Hasil dari kesepakatan untuk menjalankan proses diversi dapat berbentuk[22]: a) Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian; b) Penyerahan kembali kepada orang tua/wali; c) Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau d) Pelayanan masyarakat.
3.    Prospek pola penanganan tindak pidana terhadap anak sebagai pelaku kejahatan di masa mendatang.
a.   Pola/Model Penanganan Tindak pidana yang berbasis Harmoni bagi anak.
Terhadap kasus anak yang berhadapan dengan hukum dengan pertimbangan regulasi yang mengatur kesemua sistem peradilan pidana anak maka pendekatan yang perlu dipertimbangkan mengingat banyak hal yang sesuai pengamatan penulis terlihat banyak kelemahan dalam menjawab amanat UU. Keadaan tersebut terlihat jelas selama proses diversi hingga sampai pada putusan oleh hakim yang mana hakim hanya menunggu rekomendasi dari bapas saja sebagai bahan pertimbangannya untuk menjatuhkan putusan terhadap anak pelaku kejahatan tertentu.
Apabila dilihat lebih lanjut, diversi sedianya hanya menjadi cover dari aspek pencapaian keadilan restoratif. Mengapa demikian? Karena dalam pelaksanaannya tidak semua anak pelaku kejahatan betul-betul difasilitasi oleh PK sebagai perwakilan negara untuk mencapai kesepakatan. Lebih lanjut, terlihat bahwa cita dari diversi tidak mencapai klimaksnya, karena diversi kesannya hanya diperuntukan untuk kejahatan yang sifatnya sedang, sementara untuk kejahatan berat seperti pembunuhan, pemerkosaan/asusilah,dll. Karenanya maka tuntutan perubahan menjadi hal yang sangat diperlukan sekarang. Perubahan yang dimaksud bukan berarti merubah sistem peradilan pidana anak dengan keseluruhan yang ada pada UU No. 11 tahun 2012, akan tetapi perubahan yang dimaksud adalah pelengkap yang dipandang kurang dengan menggunakan pola yang agak berbeda.
Terhadap keadaan ini, pola yang ditawarkan adalah penyelesaian sengketa yang berbasis harmonisasi demi pencapaian keadilan restoratif yang elegan. Alasan sederhana untuk menjelaskan argumentasi diatas adalah bahwa harmonisasi menjadi patokan dalam menyelesaikan kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Dengan kata lain, harmonisasi tidak sekedar bentuk rekonsiliasi individual antara pelaku dan korban, akan tetapi lebih dari pada itu tindakan harmonisasi yang bersifat sosial dan adikodrati dengan sang ilahi[23]. Harmonisasi dalam penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum menjadi suatu model yang secara nyata dapat dikatakan sebagai suatu upaya yang pelaksanaannya dilakukan sesederhana mungkin dengan merokonstruksi nilai-nilai budaya dan kearifan lokal dalam peradilan yang sedianya menjadi peradilan alternatif untuk mencapai keadilan bersama. Harmonisasi ini juga dapat dipandang tidak saja dilakukan pada penyelesaian sengketa diluar sidang peradilan pidana/alternatif/ Non-Penan, akan tetapi juga dimasukan sebagai bagian penting dalam peradilan negara/Penan, akan tetapi peradilan tersebut juga harus berbasis harmoni dalam artian bahwa keberlangsungan proses peradilan pidana haruslah selalu dalam tuntunan dan kontrol dari kekuatan duniawi maupun kekuatan adikodrati/kekuatan ilahi[24], guna mencapai putusan yang adil.
Perubahan ini dapat menjadi lebih elegan apabila dalam proses diversi demi pencapaian restoratif justice hingga ssampai pada urusan persidangan untuk menjatuhkan putusan juga sedianya harus diberi muatan harmonisasi. Maksudnya adalah bahwa kendatipun suatu kejahatan besar telah dilakukan oleh seorang anak, akan tetapi dengan pola harmonisasi yang ditawarkan dapat digunakan untuk kebaikan bagi korban dan pelaku. Tidak hanya itu, efek positifnya adalah bahwa stigma penjahat atau korban kejahatan dengan sendirinya tidak menjadi beban yang harus dipikul oleh pelaku dan korban suatu kejahatan, manakala kejahatan tersebut mampu dipertanggungjawabkan secara nyata oleh pelaku, baik pertanggung jawaban kepada negara sebagai penjamin ketentraman kehidupan masyarakatnya, kepada korban dan keluarga, masyarakat umum, lingkup masyarakat adat, maupun pertanggungjawaban kepada Tuhan, yang telah dilakukan secara bersama-sama sebelumnya dalam proses diversi untuk selanjutnya dapat menjadi patokan dalam putusan hakim pengadilan anak.
Pola harmonisasi dalam proses penanganan kasus bagi anak yang berhadapan dengan hukum inilah yang seharusnya menjadi bentuk jaminan perlindungan serta keikutsertaan negara dalam memperbaiki kembali hubungan yang rusak akibat kejahatan yang dilakukan oleh seorang anak. Dengan demikian, cita UU No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan Pidana anak dapat terpenuhi. Pencapaian amanat UU itu tidak saja terlihat dalam setiap putusan hakim anak kepada anak pelaku kejahatan, akan tetapi terlihat sejak proses panjang yang dilakukan Pembimbing Kemasyarakatan (BAPAS), putusan hakim, pelaksanaan pembinaan dilembaga pemasyarakatan anak, sampai pada seorang anak dikembalikan tanggungjawabnya pembinaan dan pengawasan kepada orang tua dan kepada masyarakat.
C.  Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.    Penerapan diversi dan restoratif justice dalam pemidanaan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana tertentu dikawasan hukum Kupang dalam kenyataannya tidak begitu optimal dijalankan. Hal ini disebabkan karena lemahnya lembaga-lembaga negara yang berperan untuk mengimplementasikan amanat konstitusi yang termuat dalam UU no. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak. Efek yang nyata sebagai akibat dari kelemahan negara mengacuh pada kelemahan lembaga-lembaga seperti Bapas, partisipasi yang kurang dari tokoh masyarakat, tokoh agama dan tidak dipungkiri bahwa antar para pihak (konteks keluarga) masi belum bisa dilibatkan secara aktif dalam proses pencapaian restoratif justice dengan pola diversi dengan alasan yang vafiatif, mulai dari ketidak sediaan hingga sampai pada keberatan untuk berunding mengingat kejahatan yang terjadi menimbulkan trauma dan murka tersendiri.
2.    Prospek Pola penanganan terhadap anak pelaku tindak pidana tertentu yang mestinya menjadi cara cadangan manakala pendekatan rekonsiliasi ala UU no 11 tahun 2012 tidak mampu memberikan jawaban atas perselisihan para pihak justru tidak terdapat dalam Standar Operasi Prosedur penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Negara mengandalkan kekuatan petugas Bapas dalam proses perdamaian non penal akan tetapi pola yang dibangun tidak menggambarkan bentuk responsibilitas negara dalam memediasi persoalan anak tersebut.
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka disarankan :
1.    Agar penerapan diversi dan restoratif justice dalam pemidanaan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana tertentu dikawasan hukum Pengadilan Anak Kupang dapat berjalan dengan optimal, maka dalam pelaksanaannya selain memperhatikan amanat UU, patut memperhatikan juga pilar pendukung tercapainya proses mediasi dan rekonsiliasi seperti tenaga Pendamping Kemasyarakatan yang pada intinya harus diperbanyak sesuai dengan rasio wilaya kerja Balai Pemasyarakatan, mengingat banyaknya kasus anak yang herus berhadapan dengan hukum semakin bertamba di kawasan hukum pengadilan anak Kupang.
2.    Prospek Pola penanganan terhadap anak pelaku tindak pidana tertentu mestinya menggunakan pola harmonisasi sebagai bagian pelengkap penting dalam proses diversi dalam menjalankan sistem peradilan  (non penal dan penal), sehingga mampu menjawab tuntutan dalam UU No 11 Tahun 2012 tentang sistem peradila pidana anak.
Daftar Pustaka
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Sejarah, Aliran dan Pemaknaan, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 2006.
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta, Sinar Grafiti, 2008
Bernard L. Tanya, Ed. All, Teori Hukum (Strategi tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), Yogyakarta: Genta Publishing, 2010.
E. Fernando M. Manulang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, jakarta, Kompas, 2007.
Franz Magnis Suseno, Etika Politik, prinsip-prinsip moral dasar kewarganegaraan modern, Jakarta: Gramedia, 2003.
Haji N.A. Noor Muhammad, Proses Hukum Bagi Orang yang Didakwa Melakukan Kejahatan, dalam Hak Sipil dan Politik : Esai-Esai Pilihan, Ifdhal Kasim (Editor), Jakarta: Elsam, 2001.
Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum ; Edisi lengkap (Dari Klasik sampai Postmoderenisme), Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Jogyakarta, 2011
H.R Otje Salman, S, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), Refika Aditama, Bandung, 2010,
Karolus Kopong Medan, Sistem Peradilan (Gagasan Alternatif dalam Berhukum), Yogyakarta, Genta Press, 2012.
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, , 2008.
Maria Alfons, “Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk Masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual”, Ringkasan Disertasi Doktor, Malang: Universitas Brawijaya, 2010.
Phillipus M. Hadjon, perlindungan hukum Bagi Rakyat Indonesia”, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987.
Prayogo, Presly. Aplikasi Hukum Terhadap Perlindungan Anak Dikaitkan Dengan Hak Asasi Manusia. Jurnal Vol.XXI/No.4/April-Juni /2013 Edisi Khusus. ejournal.unsrat.ac.id, 2013, hlm. 21 diakses pada hari senin, 31 Oktober 2014
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi,  Bandung: PT Eresco, 1992.
________________, Peradilan Anak Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1997.
Satijipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung”: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.


[1] Haji N.A. Noor Muhammad, Proses Hukum Bagi Orang yang Didakwa Melakukan Kejahatan, dalam Hak Sipil dan Politik, Elsam, Jakarta, 2001,hlm. 180.
[2] Konvensi Hak-Hak Anak di Jenewa dalam Prayogo, Presly. Aplikasi Hukum Terhadap Perlindungan Anak Dikaitkan Dengan Hak Asasi Manusia. Jurnal Vol.XXI/No.4/April-Juni /2013 Edisi Khusus. ejournal.unsrat.ac.id, 2013, hlm. 21 diakses pada hari senin, 31 Oktober 2014
[3] E. Fernando M. Manulang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Kompas, Jakarta, 2007, hlm. 96.
[4]Franz Magnis Suseno, Etika Politik, prinsip-prinsip moral dasar kewarganegaraan modern, Gramedia, Jakarta, 2003, hlm. 81.
[5] Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Sejarah, Aliran dan Pemaknaan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2006, hlm. 51
[6] Bernard L. Tanya Ed. All.Op. Cit,hlm , 75
[7] Satijipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti,  Bandung, 2000, hlm. 53.
[8] Ibid, hlm 53.
[9] Ibid, hlm, 54.
[10] Phillipus M. Hadjon, perlindungan hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987,  hlm. 2.
[11] Maria Alfons, “Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk Masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual”, Ringkasan Disertasi Doktor, Universitas Brawijaya, Malang, 2010, hlm. 18.
[12] Ibid. Hlm 18.
[13] Ibid. Hlm 27
[14] Lihat UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bab I pasal 1 ayat (6), dan (7), pasal 6, pasal 8 ayat (1) dan (3)
[15] Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum ; Edisi lengkap (Dari Klasik sampai Postmoderenisme), Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Jogyakarta, 2011, hlm 159.
[16] H.R Otje Salman, S, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm 44.
[17] Pasal 8, Undang-undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
[18] Pasal 8 ayat (3), Undang-undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
[19] Ketentuan ini merupakan Indikator bahwa semakin rendah ancaman pidana semakin tinggi prioritas diversi. Diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku tindak pidana yang serius, misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba dan terorisme yang diancam pidana di atas 7 (tujuh) tahun.
[20] Umur anak dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menentukan prioritas pemberian Diversi dan semakin muda umur anak semakin tinggi prioritas Diversi.
[21] Pasal 9 ayat (2), Undang-undan No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
[22] Pasal 11 , Undang-undan No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
[23] Karolus Kopong Medan, Karolus Kopong Medan, Sistem Peradilan (Gagasan Alternatif dalam Berhukum), Yogyakarta, Genta Press, 2012, hlm. 197.
[24]  Ibid, hlm. 198

Tidak ada komentar:

Posting Komentar