Senin, 16 Februari 2015

“ANTARA KEKUASAAN DAN DINAMIKA HUKUM”



“ANTARA KEKUASAAN DAN DINAMIKA HUKUM”
Oleh
Yosep Copertino Apaut
Mahasiswa Ilmu Hukum Program Pascasarjana Undana

Kekuasaan (Power) pada hakekatnya merupakan suatu bentuk representasi konseptual yang telah populer sejak awal mulanya suatu negara terbentuk. Jauh sebelumnya, terdapat sudut pandang yang variatif dari para ahli untuk menterjemahkan kekuasaan. Menurut Socrates, Niccolo,Thomas Hobes, Max Weber, dan April Carter, kekuasaan dapat dilihat dari aspek dominasi(dominance) yang bersifat paksaan (coersion) yang di arahkan pada tujuan tertentu. Sementara itu, menurut kelompok ahli yang lain seperti Plato, Harold D. Laswell, Abraham Kaplan, Van Dorn dan Robert Dahl mengemukakan arti Kekuasaan sebagai Persuasi atau pengaruh dengan alasan terdapatnya bentuk khusus dan lunak dari kekuasaan, dalam artian bahwa “aspek pengaruh “berusaha mempunyai tujuan dengan jalan meyakinkan (persuasi), membujuk, memberi informasi, konsultasi ataupun cara lain yang lebih lembut. Selain itu, adapun para ahli seperti R.J. Mokke, Talcott dan R.F. Beerling melihat dari sudut pandang yang menempatkan kekuasaan sebagai sesuatu yang netral secara etis, artinya bahwa kekuasaan itu adalah “Kekuasaan an sich” tidak bersifat baik dan juga tidak buruk. Baik dan buruknya terdapat pada aspek penggunaannya. Dalam bingkai keilmuan, keragaman pandangan tentang konsep kekuasaan ibarat magnet yang menjadi daya tarik tersendiri bagi para akademisi untuk mengarahkan alur berpikir tentang hal yang substansial dari suatu kekuasaan, dengan menitikberatkan pada subjek dan objek dari kekuasaan itu sendiri. Frans Magnis Suseno dalam tulisannya mengemukakan dua hal penting tentang kekuasaan. Menurutnya kekuasaan sejak awal selalu berwajah dua, yaitu mempesona dan menakutkan. Dalam hal Kekuasaan mempesona apabila kekuasaan dibaluti dengan pola pelayanan yang Elegan, karismatik, menawan, sehingga dapat menyatukan dan mengatur kehidupan masyarakat dengan gaya yang khas. Sementara kekuasaan menakutkan apabila kekuasaan disalahgunakan untuk menindas dan merampas kehidup, termasuk setiap Kebijakan yang tercipta dari konsensus yang tidak menguntungkan bagi masyarakat.
Berbicara tentang kekuasaan tentu tidak akan terlepas dari hal penting yang menjadi tujuaan akhir dari kekuasaan yaitu kebijakan publik yang berimbas pada pencapaian aspek keadilan hukum bagi masyarakat pada umumnya. Pada titik ideal, kekuasaan dan Hukum merupakan dua hal yang saling mempengaruhi satu sama lain. disatu sisi, kekuasaan tanpa ada sistem aturan maka akan terjadi kompetisi seperti halnya yang terjadi di alam liar. Siapa yang kuat, maka dialah yang menang dan berhak melakukan apapun kepada siapa saja. Sedangkan hukum tanpa ada kekuasaan di belakangnya, maka hukum tersebut akan “mandul” dan tidak bisa diterima dengan baik oleh masyarakat. Dalam bahasa akademik sering di sebut istilah “Hukum tanpa kekuasaan adalah Angan-angan, sementara Kekuasaan tanpa Hukum adalah Kezaliman”. Alasan untuk menjelaskan kalimat diatas adalah bahwa kekuasaan tanpa suatu aturan maka akan mengkondisikan keadaan seperti hal nya hutan rimba yang hanya berpihak kepada yang kuat dalam dimensi sosial.

Pengaruh Hukum terhadap Kekuasaan
Kekuasaan yang diatur hukum merupakan bentuk Pressure (bukan intimidasi) untuk pencapaian kepentingan masyarakat luas agar masyarakat yang merupakan objek dari kekuasaan tidak menjadi korban dari kekuasaan. Selain sebagai Pressure bagi kepentingan masyarakat, hukum juga berguna sebagai juri dengan mengarahkan alur bermain pihak-pihak yang sedang berkuasa, ingin berkuasa atau merebut kekuasaan. Hukum dalam hal ini tidak hanya mengatur masyarakat tetapi juga mengatur pihak-pihak yang berada di lingkaran kekuasan. Hal tersebut bisa ditemui dalam konstitusi dimana konstitusi secara garis besar berisi tentang bagaimana mengatur, membatasi dan menyelenggarakan kekuasaan serta mengutamakan nilai dan moral. karena betapapun bagusnya suatu aturan/hukum dibuat, apabila penekanan tidak terletak pada pendekatan nilai dan moral, maka sesungguhnya aturan tersebut tidak cukup berkekuatan hukum untuk meredam dominasi kekuasaan.
Tentu dalam membatasi kekuasaan untuk melindungi segenap masyarakat hukum tidak semata-mata hanya berada tetap pada satu titik namun dipaksakan hadir dalam dimensi kehidupan yang berbeda (status quo), disinilah perubahan jiwa dari hukum itu harus mengarah pada suatu dimensi lain, dalam artian bahwa, hukum tidak hanya responsif, tapi juga mengarah pada suatu pendekatan yang yang lebih progresif (aspek penggunaan hukum yang dinamis/tidak kaku). Salah satu cara berhukum yang sangat merisaukan gagasan hukum progresif adalah yang secara mutlak berpegangan pada kata-kata atau kalimat dalam teks hukum. Cara berhukum yang seperti ini merupakan hal yang banyak dilazimkan di kalangan komunitas hukum, yaitu yang disebut sebagai menjaga kepastian hukum. Hukum adalah teks dan tetap seperti itu sebelum diubah oleh legislatif. Cara berhukum tersebut hanya melihat sistem hukum sebagai mesin besar perundang-­undangan yang harus dijalankan. Di sini penegakan hukum sudah menjadi masinal, ibarat menjalankan teknologi “tekan tombol”. Karena itu maka hukum harus benar-benar berbenah dan selangkah lebih maju, untuk melakukan penguatan pada tatanan sistem demi mencapai mewujudkan masyarakat yang adil dan bebas dari tekanan kekuasaan yang lalim.

Pengaruh Kekuasaan terhadap Hukum
Seperti gambaran bahwa eksistensi hukum tanpa ada kekuasaan menjadikan hukum tak bertaji, maka menjadi kebutuhan perlunya suatu kekuasaan yang melatarbelakangi hukum. Muncul pertanyaan bagaimana kekuasaan yang hanya dipegang oleh segelintir orang bisa dipercaya untuk mempengaruhi hukum yang bertujuan untuk mengatur masyarakat. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka bisa didekati dengan metode konseptual, moral dan nilai yang tidak mungkin melegalkan kepentingan penguasa saja tetapi juga rakyat. dalam perkembangannya tentu saja tidak dapat dihindari bahwa setiap rezim penguasa memiliki karakteristik tertentu. Karakteristik tersebut dapat dilihat dari karakteristik hukum serta kebijakan yang menjadi produk politiknya. Apabila kekuasaannya demokratis, maka produk hukumnya berkarakter positif responsif sedangkan apabila kekuasaanya  otoriter, maka produk hukumnya berkarakter konservatif atau ortodoks. Ada asumsi bahwa antara demokrasi dan otoriter terkesan ambigu. Artinya tidak bisa dilihat secara tegas pembedanya. Bisa saja penguasa yang otoriter di suatu negara berdalih bahwa karakterisitik produk hukum yang bersifat konservatif yang digunakan untuk melingungi masyarakat. Dalam hal ini demokratis yang dari, untuk dan oleh rakyat mengalami pengurangan peran hanya untuk rakyat sehingga rakyat sekedar menikmati hasil atau kemanfaatannya. Bertalian dengan itu maka yang dibutuhkan tidak hanya sekedar aspek kemanfaatan tapi partisipatif yang aktif. kekuasaan yang dimaksud tidak hanya kekuasaan Eksekutif, akan tetapi keseluruhan yang kompleks termasuk Legislatif dan yudikatif, mulai dari tingkat pemerintahan pusat hingga sampai pada pemerintahan kabupaten/kota. Kekuasaan terkadang mengarahkan hukum pada satu titik untuk mencapai tujuan yang mengatasnamakan kebutuhan rakyat, yang belum tentu menghasilkan produk/kebijakan yang benar-benar di butuhkan oleh rakyat. Setiap kebijakan yang di keluarkan oleh penguasa negeri ini mestinya harus bermula dari hasil survey langsung kebutuhan rakyat dan bukan sekedar prediksi, mengingat indonesia merupakan negara yang besar dengan banyaknya keanekaragaman suku, agama, ras, bahasa dan adat istiadat, maka menjadi indah apabila setiap kebijakan tidak semata-mata dihasilkan untuk mencapai target menghasilkan produk hukum saat memimpin suatu bangsa/daerah, bukan juga mengutamakan keinginan elit, tapi produk unggul yang dibutuhkan rakyat secara umum. Maka tidaklah tabu ketika masyarakat berteriak menyalahkan pemerintah yang berkuasa, manakala masyarakat tidak menerima efek positif dari kebijakan penguasa. Oleh karena itu, maka pemangku kebijakan harus mampu membaca gejalah sosial dan pesan-pesan dari suara sumbang yang selalu terabaikan.

2 komentar: