“ANTARA KEKUASAAN DAN DINAMIKA HUKUM”
Oleh
Yosep Copertino Apaut
Mahasiswa Ilmu Hukum Program Pascasarjana Undana
Kekuasaan (Power) pada hakekatnya merupakan suatu bentuk representasi konseptual
yang telah populer sejak awal mulanya suatu negara terbentuk. Jauh sebelumnya, terdapat
sudut pandang yang variatif dari para ahli untuk menterjemahkan kekuasaan. Menurut
Socrates, Niccolo,Thomas Hobes, Max Weber, dan April Carter, kekuasaan dapat dilihat dari aspek dominasi(dominance) yang bersifat paksaan (coersion) yang di arahkan pada tujuan
tertentu. Sementara itu, menurut kelompok ahli yang lain seperti Plato, Harold D. Laswell, Abraham
Kaplan, Van Dorn dan Robert Dahl mengemukakan arti Kekuasaan
sebagai Persuasi atau pengaruh dengan alasan terdapatnya bentuk khusus dan
lunak dari kekuasaan, dalam artian bahwa “aspek pengaruh “berusaha mempunyai
tujuan dengan jalan meyakinkan (persuasi),
membujuk, memberi informasi, konsultasi ataupun cara lain yang lebih lembut. Selain
itu, adapun para ahli seperti R.J. Mokke,
Talcott dan R.F. Beerling melihat dari sudut pandang yang menempatkan kekuasaan
sebagai sesuatu yang netral secara etis, artinya bahwa kekuasaan itu adalah “Kekuasaan an sich” tidak bersifat baik dan juga tidak buruk. Baik dan
buruknya terdapat pada aspek penggunaannya. Dalam bingkai keilmuan, keragaman
pandangan tentang konsep kekuasaan ibarat magnet yang menjadi daya tarik tersendiri
bagi para akademisi untuk mengarahkan alur berpikir tentang hal yang
substansial dari suatu kekuasaan, dengan menitikberatkan pada subjek dan objek
dari kekuasaan itu sendiri. Frans Magnis
Suseno dalam tulisannya mengemukakan dua hal penting tentang kekuasaan. Menurutnya
kekuasaan sejak awal selalu berwajah dua, yaitu mempesona dan menakutkan. Dalam
hal Kekuasaan mempesona apabila kekuasaan dibaluti dengan pola pelayanan yang Elegan,
karismatik, menawan, sehingga dapat menyatukan dan mengatur kehidupan
masyarakat dengan gaya yang khas. Sementara kekuasaan menakutkan apabila kekuasaan
disalahgunakan untuk menindas dan merampas kehidup, termasuk setiap Kebijakan yang
tercipta dari konsensus yang tidak menguntungkan bagi masyarakat.
Berbicara tentang kekuasaan tentu
tidak akan terlepas dari hal penting yang menjadi tujuaan akhir dari kekuasaan yaitu
kebijakan publik yang berimbas pada pencapaian aspek keadilan hukum bagi
masyarakat pada umumnya. Pada titik ideal, kekuasaan dan Hukum merupakan dua
hal yang saling mempengaruhi satu sama lain. disatu sisi, kekuasaan tanpa ada
sistem aturan maka akan terjadi kompetisi seperti halnya yang terjadi di alam
liar. Siapa yang kuat, maka dialah yang menang dan berhak melakukan apapun
kepada siapa saja. Sedangkan hukum tanpa ada kekuasaan di belakangnya, maka
hukum tersebut akan “mandul” dan tidak bisa diterima dengan baik oleh
masyarakat. Dalam bahasa akademik sering di sebut istilah “Hukum tanpa kekuasaan adalah Angan-angan, sementara Kekuasaan tanpa
Hukum adalah Kezaliman”. Alasan untuk menjelaskan kalimat diatas adalah
bahwa kekuasaan tanpa suatu aturan maka akan mengkondisikan keadaan seperti hal
nya hutan rimba yang hanya berpihak kepada yang kuat dalam dimensi sosial.
Pengaruh
Hukum terhadap Kekuasaan
Kekuasaan yang diatur hukum merupakan bentuk
Pressure (bukan intimidasi) untuk pencapaian kepentingan masyarakat
luas agar masyarakat yang merupakan objek dari kekuasaan tidak menjadi korban
dari kekuasaan. Selain sebagai Pressure bagi
kepentingan masyarakat, hukum juga berguna sebagai juri dengan mengarahkan alur
bermain pihak-pihak yang sedang berkuasa, ingin berkuasa atau merebut
kekuasaan. Hukum dalam hal ini tidak hanya mengatur masyarakat tetapi juga
mengatur pihak-pihak yang berada di lingkaran kekuasan. Hal tersebut bisa
ditemui dalam konstitusi dimana konstitusi secara garis besar berisi tentang
bagaimana mengatur, membatasi dan menyelenggarakan kekuasaan serta mengutamakan
nilai dan moral. karena betapapun bagusnya suatu aturan/hukum dibuat, apabila
penekanan tidak terletak pada pendekatan nilai dan moral, maka sesungguhnya aturan
tersebut tidak cukup berkekuatan hukum untuk meredam dominasi kekuasaan.
Tentu dalam membatasi kekuasaan untuk
melindungi segenap masyarakat hukum tidak semata-mata hanya berada tetap pada
satu titik namun dipaksakan hadir dalam dimensi kehidupan yang berbeda (status quo), disinilah perubahan jiwa dari hukum itu harus mengarah pada suatu dimensi
lain, dalam artian bahwa, hukum tidak hanya responsif, tapi juga mengarah pada
suatu pendekatan yang yang lebih progresif (aspek penggunaan hukum yang dinamis/tidak
kaku). Salah satu cara berhukum yang sangat merisaukan gagasan
hukum progresif adalah yang secara mutlak berpegangan pada kata-kata atau
kalimat dalam teks hukum. Cara berhukum yang seperti ini merupakan hal yang
banyak dilazimkan di kalangan komunitas hukum, yaitu yang disebut sebagai
menjaga kepastian hukum. Hukum adalah teks dan tetap seperti itu sebelum diubah
oleh legislatif. Cara berhukum tersebut hanya melihat sistem hukum sebagai
mesin besar perundang-undangan yang harus dijalankan. Di sini penegakan hukum
sudah menjadi masinal, ibarat menjalankan teknologi “tekan tombol”. Karena itu
maka hukum harus benar-benar berbenah dan selangkah lebih maju, untuk melakukan
penguatan pada tatanan sistem demi mencapai mewujudkan masyarakat yang adil dan
bebas dari tekanan kekuasaan yang lalim.
Pengaruh
Kekuasaan terhadap Hukum
Seperti
gambaran bahwa eksistensi hukum tanpa ada kekuasaan menjadikan hukum tak
bertaji, maka menjadi kebutuhan perlunya suatu kekuasaan yang melatarbelakangi
hukum. Muncul pertanyaan bagaimana kekuasaan yang hanya dipegang oleh
segelintir orang bisa dipercaya untuk mempengaruhi hukum yang bertujuan untuk
mengatur masyarakat. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka bisa didekati
dengan metode konseptual, moral dan nilai yang tidak mungkin melegalkan
kepentingan penguasa saja tetapi juga rakyat. dalam perkembangannya tentu saja
tidak dapat dihindari bahwa setiap rezim penguasa memiliki karakteristik
tertentu. Karakteristik tersebut dapat dilihat dari karakteristik hukum serta
kebijakan yang menjadi produk politiknya. Apabila kekuasaannya demokratis, maka
produk hukumnya berkarakter positif responsif sedangkan apabila
kekuasaanya otoriter, maka produk hukumnya berkarakter konservatif atau
ortodoks. Ada asumsi bahwa antara demokrasi dan otoriter terkesan ambigu.
Artinya tidak bisa dilihat secara tegas pembedanya. Bisa saja penguasa yang
otoriter di suatu negara berdalih bahwa karakterisitik produk hukum yang
bersifat konservatif yang digunakan untuk melingungi masyarakat. Dalam hal ini
demokratis yang dari, untuk dan oleh
rakyat mengalami pengurangan peran hanya untuk rakyat sehingga
rakyat sekedar menikmati hasil atau kemanfaatannya. Bertalian dengan itu maka
yang dibutuhkan tidak hanya sekedar aspek kemanfaatan tapi partisipatif yang
aktif. kekuasaan yang dimaksud tidak hanya kekuasaan Eksekutif, akan tetapi
keseluruhan yang kompleks termasuk Legislatif dan yudikatif, mulai dari tingkat
pemerintahan pusat hingga sampai pada pemerintahan kabupaten/kota. Kekuasaan terkadang
mengarahkan hukum pada satu titik untuk mencapai tujuan yang mengatasnamakan kebutuhan
rakyat, yang belum tentu menghasilkan produk/kebijakan yang benar-benar di
butuhkan oleh rakyat. Setiap kebijakan yang di keluarkan oleh penguasa negeri
ini mestinya harus bermula dari hasil survey langsung kebutuhan rakyat dan
bukan sekedar prediksi, mengingat indonesia merupakan negara yang besar dengan
banyaknya keanekaragaman suku, agama, ras, bahasa dan adat istiadat, maka
menjadi indah apabila setiap kebijakan tidak semata-mata dihasilkan untuk
mencapai target menghasilkan produk hukum saat memimpin suatu bangsa/daerah, bukan
juga mengutamakan keinginan elit, tapi produk unggul yang dibutuhkan rakyat
secara umum. Maka tidaklah tabu ketika masyarakat berteriak menyalahkan
pemerintah yang berkuasa, manakala masyarakat tidak menerima efek positif dari kebijakan
penguasa. Oleh karena itu, maka pemangku kebijakan harus mampu membaca gejalah sosial
dan pesan-pesan dari suara sumbang yang selalu terabaikan.
PROFICIAT KK.... LUAR BIASA
BalasHapusTrimakasih adik... ingat selalu menulis ya...
BalasHapus