Minggu, 18 Juni 2017

“FILSAFAT HUKUM: Masihkah Hukum Sebagai Panglima”

“FILSAFAT HUKUM: Masihkah Hukum Sebagai Panglima”
(Suatu kritik sosial)
Oleh
Yosep Copertino Apaut, SH.,MH
Ketua DPC POSPERA Kab.TTU

Dunia hukum adalah dunia yang indah dan sekaligus kejam, Ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat di pisahkan antara satu dengan yang lain. Paling tidak kalimat ini dapat digunakan sebagai pengantar awal bagi praktisi, pemerhati hingga mahasiswa Fakultas Hukum. Tentu akan timbul pertanyaan singkat dari pembaca sekalian, Mengapa demikian?. Jawaban sederhana adalah dari sudut mana anda berpikir. Apakah dari sudut pandang hukum sebagai dunia yang kejam atau sebaliknya. Setidaknya jawaban itu adalah gambaran sederhana tentang bagai menjelaskan tentang hukum dalam konsep filsafat. Dalam konteks ini saya tidak membicarakan empat hal yang melahirkan filsafat (ketakjuban, ketidak puasan, hasrat bertanya, dan keraguan), akan tetapi melihat lebih spesifik dengan meminjam metode filsafati untuk menjamah hukum sedikit lebih dalam.
Jika kita menyimak sedikit lebih jauh ke belakang, karya-karya para filsuf Yunani purba, sebut saja Plato dan Aristoteles, filsafat hukum seyogianya merupakan filsafat politik, akan tetapi, dewasa ini filsafat hukum telah menjadi bagian dari filsafat yang berdiri sendiri. Patut diingat bahwa filsafat hukum berbeda dengan ilmu hukum. Ilmu hukum berbicara tentang nilai, asas, norma, aturan, motode, model, peradilan, dan banyak konsep lainnya, sementara filsafat hukum lebih menitik beratkan pada suatu refleksi filsafati dari persoalan- persoalan hukum, dengan banyaknya pertanyaan seperti, apakah sebenarnya hukum itu?, apakah hakikat hukum?, apakah keadilan itu?, mengapa manusia harus takluk kepada hukum, dan lain sebagainya. Plato dalam bukunya yang berjudul Republik, politicus, dan the laws, banyak membahas tentang hukum yang pada intinya mennyatakan bahwa hukum merupakan bagian dari pengetahuan yang dimiliki oleh penguasa negara yaitu Filsuf-Raja (saat itu), karena itu tidak tidak harus tunduk kepada hukum, karena mereka dipandang sebagai orang  yang paling arif dan memiliki pengetahuan yang paling sempurna, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir akan penyalahgunaan kebebasannya itu. Akan tetapi, kemudian sang filsuf menyadari bahwa ternyata sangat sulit menemukan orang yang arif dan benar-benar memiliki pengetahuan yang sempurna, sehingga rekomendasi akhir darinya adalah betapa pentingnya hukum untuk mengendalikan penguasa dalam dalam memerintah. Pada prinsipnya Plato menitik beratkan maksudnya lebih kepada hukum yang lahir bukan semata-mata untuk memelihara ketertiban dan menjaga stabilitas negara, akan tetapi hukum yang mampu menolong warga negara mencapai keutamaan atau kebijakan pokok, sehingga layak menjadi warga masyarakat yang ideal.
Di Indonesia, ada ungkapan yang sangat familiar dalam dunia hukum yaitu Hukum Sebagai Panglima. Mendengar kata Panglima, tentu yang terbayang adalah pejuang, mungkin juga seorang pendekar yang berada pada garda terdepan untuk bertarung demi suatu tujuan luhur. Saat saya masi berstatus sebagai mahasiswa fakultas Hukum, kalimat ini seperti suatu ungkapan penuh makna penyemangat, sekaligus memberikan rasa optimis yang nyata terhadap Eudaimonia (kebahagiaan/kenyamanan hidup) sebagai bangsa Indonesia. Pada suatu sesi perkuliahan, terungkap kalimat hebat dari guru besar saya bahwa “kendatipun hukum adalah produk politik, namun seketika ia diundangkan, maka pada saat itu dia adalah hukum yang berdiri sebagai panglima yang tidak bisa di jadikan alat politik”. Untuk sesaat, kalimat ini mengundang kekaguaman yang tak terkira terhadap hukum di Indonesia. Rasa pesimis saya mulai nampak ketika melihat fenomena sosial, politik, yang menekan  hukum akhir-akhir ini. Hukum Indonesia seolah sekarat menunggu ajalnya. Keadaan ini Seperti dongeng penghantar tidur bagi mereka yang berupaya keras melemahkan hukum. Timbul banyak pertanyaan saat ini. Bagaimana kalau kekuasaan justru menunggangi hukum untuk suatu niat jahat?, Bagaimana kalau hukum tidak mampu meredam tekanan kepentingan suatu kelompok?, Masihkah Hukum sebagai panglima?, atau Mungkinkah hukum tidak lagi bertaring sehingga mudah di kalahkan?
Indonesia dibangun dengan darah perjuangan anak bangsa, yang berusaha mengalahkan ketakutan terhadap sejarah kelam penjajahan dengan satu pekikan “ Merdeka Atau Mati”, yang kemudian terkristalisasi dalam ideologi besar yang oleh pendiri bangsa disebut sebagai Pancasila, kemudian dibalut dalam suatu hukum dasar yang dinamakan Konstitusi yang akhirnya melahirkan UUD 1945 (hukum dasar tertulis) dan KONVENSI (Hukum dasar tidak tertulis/kebiasaan). Fungsi dari pembentukan konstitusi menurut Prof. Mahfud M.D, semata-mata untuk membatasi kekuasaan antara 3 pilar penyelenggara negara  (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif), sekaligus jaminan atas hak politik rakyat. Tujuan akhirnya adalah sesuai dengan batang tubuh UUD 1945 yakni, mencerdaskan dan memajukan kehidupan bangsa, mencapai kebahagiaan nasional (tujuan nasional), serta melaksanakan ketertiban dunia (tujuan internasional), yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan soasial. Penjelmaan dari nilai-nilai luhur bangsa inilah yang selanjutnya disebut sebagai Hukum  ala Indonesia, yang mestinya menjadi senjata ampuh dalam menegakan tata kehidupan sebagai bangsa Indonesia, dengan berbagai keberagamannya tanpa alasan pelemahan terhadap hukum itu sendiri.
THE LAW IN ACTION / HUKUM DALAM PRAKTEK
Pada kenyataannya, para penyelengara negara justru melakukan berbagai kasalahan yang berakibat pada pelemahan hukum secara tidak langsung. Misalnya, praktek KKN yang marak terjadi pada lembaga-lembaga negara, kebijakan pemerintah yang bersifat diskresi akibat tekanan, dan lain sebagainya. Dalam praktek penegakan hukum pun demikian berbeda dan sangat tidak bersinergi antara The law in the books (hukum dalam tulisan/buku) dan The Law in action (hukum dalam praktek). Contoh sederhana misalnya, asas praduga tak bersalah dalam aturan hukum  menempatkan seorang terduga pelaku kejahatan sebagai individu yang bebas merdeka, sepanjang belum ada putusan pengadilan yang mengikat kebebasannya akibat terbukti melakukan perbuatan pidana. Konsep ini dalam praktek penegakan hukum justru sangat tidak dipahami secara benar, sehingga proses pencarian fakta dan selanjutnya pencarian keadilan hanya akan menjadikan seorang tersangka sebagai Victim (korban) proses Law Enforcement (penegakan Hukum). Terkait dengan asas ini, bagian yang sangat melemahkan Hukum adalah tentang letak penggunaan/penerapan asas praduga tak bersalah dalam setiap tingkatan proses penegakan hukum. Artinya apakah asas praduga tak bersalah dipakai saat pemeriksaan seseorang sebagai saksi, sebagai tersangka, atau sebagai terdakwa, mengingat dalam prakteknya seseorang hanya boleh di tetapkan sebagai pelaku kejahatan/bersalah ketika telah ada putusan yang Berkekuatan Hukum Tetap. Sementara pada posisi yang lain, berdasarkan pemikiran rasional berhukum saya, tidaklah mungkin seseorang yang dinyatakan sebagai tersangka apabila tidak didasarkan pada suatu dugaan. Logikanya bahwa diduga keras seseorang telah melakukan perbuatan pidana sehingga berdasarkan 2 alat bukti atau lebih kepada sang terduga dapat dinyatakan sebagai tersangka pelaku kejahatan tertentu.
Dengan demikian kesimpulan sederhananya adalah bahwa ada praduga bersalah atas suatu kejadian yang dikalasifikasikan sebagai perbuatan pidana, sehingga penegakan hukumnya dapat dijalankan, tinggal bagaimana melihat proses selanjutnya yang patut dipandang menggunakan asas praduga tak bersalah untuk semata-mata pencapain hukum yang elegant dan tanpa tekanan terhadap tersangka demi pencapaian keadilan yang sesungguhnya. Berpijak pada pandangan sederhana ini, maka sangat diperlukan ketegasan penyelenggara negara untuk mencarmati dan menguatkan pandangan-pandangan hukum bangsa ini sehingga tidak dijadikan alat politik bagi oknum yang tidak menginginkan perdamaian. Penegakan hukum pun harus sekurang-kurangnya mengedepankan aspek kemanfaatan, keadilan, kebahagiaan dan juga ketegasan yang kukuh, sehingga tidak dengan mudah diarahkan, dipaksakan, didesak kelompok/golongan, kepentingan kaum kuat, sehingga pencapain hukum sebagai panglima menjadi nyata dalam proses penegakan Law Enforcement/Penegakan hukum yang bersih dari praktek KKN. Pada tingkatan yang lebih tinggi dari kesemuanya, hukum harus kembali ke awal mulanya, terkait tujuan akhir dari hukum itu sendiri, sekaligus saya mengajak kita sekalian untuk merefleksi lagi dan lagi tentang untuk apa kita berhukum. Mari berpikir bersama.

Minggu, 11 Juni 2017

“MENGUKUR WIBAWA KONSTITUSI PADA ERA MODERNISASI”



“MENGUKUR WIBAWA KONSTITUSI PADA ERA MODERNISASI”
(Suatu Kritik Sosial)
Oleh
Yosep Copertino Apaut, SH.,MH
Ketua DPC POSPERA Kab.TTU

Dimulai dari ungkapan sederhana Seorang pemikir Romawi kuno Cicero (106 – 43 SM) yang menyatakan, “Ubi Societas Ibi Ius”, yang berarti “Dimana Ada Masyarakat Di Situ Ada Hukum”, yang pada prinsipnya ungkapan ini menunjukkan bahwa dalam setiap kehidupan kelompok masyarakat dimanapun, senantiasa terdapat aturan yang mengikat warganya guna menjamin keamanan dan ketertiban dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Kalimat sederhana pemikir kuno inilah yang pada akhirnya bertransformasi dalam bentuk yang lebih tinggi yang oleh bangsa-bangsa di dunia dikenal dengan sebutan Konstitusi.
Istilah konstitusi itu sendiri berasal dari bahasa Perancis, “Constitere” yang artinya menetapkan atau membentuk. Dalam bahasa Inggris disebut “Constitution”. Sedangkan dalam bahasa Belanda digunakan istilah “Constitutie” disamping kata “Grondwet”. Ada anggapan keliru yang menyamakan anntara konstitusi dengan Undang-Undang Dasar (UUD). Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “Grondwet”, “Grond” artinya dasar dan “Wet” artinya undang-undang. Namun dalam praktek ketatanegaraan, konstitusi dipandang lebih luas dari UUD, alasannya adalah bahwa konstitusi mencakup keseluruhan peraturan, baik yang tertulis seperti UUD maupun yang tidak tertulis seperti convention/konvensi. Jadi UUD hanya bagian dari konstitusi, yang oleh beberapa ahli hukum, istilah konstitusi lebih tepat diartikan sebagai Hukum Dasar. Menurut Prof. Moh. Mahfud M.D, Konstitusi secara konseptual memiliki tiga karakter utama, Pertama, Konstitusi sebagai hukum tertinggi suatu negara (a constitution is a supreme law of the land), Kedua, Konstitusi sebagai karangka kerja suatu sistem pemerintahan  (a constitution is a frame work for goverment), Ketiga, Konstitusi merupakan instrument yang memiliki legitimasi dalam membatasi kekuasaan dan kewenangan pejabat pemerintahan (constitution is a letimate way to grand and limit powers of government officials).
Kenyataan empiris membenarkan bahwa konstitusi menjadi referensi utama dalam praktek ketatanegaraan bangsa Indonesia hari ini, dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Penghormatan terhadap HAM inilah yang diwujud nyatakan dalam bentuk kebebasan yang beretika atas bentuk ekspresi pada setiap sisi kehidupan sebagai masyarakat hukum. Konstitusi sendiri lahir sebagai wujud nyata keterlibatan pemerintah dalam menjamin keberlangsungan bangsa untuk mencapai tujuan luhur dari keberadaannya sebagai negara yaitu pencapaian kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatnya, termasuk terciptanya perdamaian dan keamanan, keadilan, serta bentuk kesetaraan dalam segalah aspek kehidupan

Pengaruh Modernisasi Terhadap Konstitusi Indonesia
Tidak dapat dipungkiri bahwa suatu konstitusi memiliki masanya sendiri termasuk konstitusi Indonesia. Hal ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa konstitusi adalah produk kesepakatan politik, dimana berlandaskan pada kondisi politik, ekonomi, dan budaya saat dibuatnya. Karena itulah konstitusi meiliki keterbatasan dalam menyelesaikan permasalahan ketatanegaraan kontemporer, dimana persoalan-persoalan itu berdimensi insidentil maupun temporer yang terkadang jauh dari pemahaman konstitusi itu sendiri. Kendatipun demikian, konstitusi tetap dipaksa untuk mampu menjawab permasalahan tersebut dengan mengunakan mekanisme perubahan konstitusi.
Sangat dipahami bahwa modernisasi menjadi bagian paling berpengaruh dalam perkembangan suatau negara menuju arah kewibawaan sebagai bangsa yang tangguh dan bermartabat, mengingat perkembangan jaman dengan disertai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebebasan dalam berbagai hal. Aspirasi modernisasi tentu bukan isu satu bangsa saja, melainkan menjadi trend sekaligus gejalah dunia yang mencakup proses transformasi total dari kehidupan bersama yang boleh di katakan tradisionil/pra-modern menuju titik baru dari kehidupan yang Sosio-Demografis. Modernisasi juga dapat dipandang sebagai bentuk perubahan sosial yang terarah (Directed Change) yang didasarkan pada suatu perencanaan (bisa juga merupakan  Intended atau Planned-Change) yang biasanya disebut sebagai “Social Planning”. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang tidak semata-mata menciptakan bentuk cultural Lag, akan tetapi perubahan yang mampu memberi ruang untuk terciptanya Reorganisasi dalam masyarakat.
Dalam dunia hukum, dengan melirik terlebih dahulu pada titik perubahan yang nyata, seperti terjadinya bentuk disorganisasi, dimana telah berpudarnya/melemahnya suatu norma dan nilai dalam masyarakat akibat pergerakan perubahan yang sangat signifikan, maka hal ini berimbas pada perubahan terhadap konstitusi. Ini terbukti dengan terciptanya perubahan-perubahan terhadap setiap peraturan, yang disebut sebagai Amandemen serta bertambahnya peraturan-peraturan yang memang pada dasarnya sengaja dibuat sebagai tindakan aktif pemimpin bangsa untuk mengakomidir setiap aspek perubahan. Point penting yang patut dipahami adalah bahwa acap kali perubahan itu dilakukan semata-mata untuk melengkapi kekurangan/Perbaharuan (Renewel), atau mungkin juga sebagai bentuk pergantian terhadap peraturan yang lesuh, mengingat dinamika sosial yang sangat dinamis dalam masyarakat. Di Indonesia perubahan itu telah terjadi 4 kali untuk UUD, pada tahun 1999, tahun 2000, tahun 2001, dan tahun 2002, dan untuk kesekian kalinya telah terjadi perombakan pada UU dengan mekanisme yang telah ditetapkan negara. Pada titik ini, jelaslah bahwa tuntutan dari suatu perubahan terhadap konstitusi atau sekurang-kurangnya keinginan untuk memperbaharui suatu tata aturan yang mendasari proses kehidupan masyarakat Indonesia adalah terkait dengan modernisasi, yaitu perubahan pola, tingkah laku dan pergeseran gejalah sosial kemasyarakatan yang kompleks dengan dinamika kehidupan yang menyertainya.

Tantanngan Konstitusi Kedepan
Akhir-akhir ini bangsa Indonesia dihadapkan dengan berbagai persoalan yang mengharuskan kita sedikit berpikir keras untuk membendung setiap dinamika kehidupan masyarakat, mulai dari kasus makar,, hingga upaya konstitusi dalam membatasi sepak terjang Organisasi radikal. Opinion dari berbagai latar belakang mulai dari LSM, aktivis, mahasiswa, birokrat dan para pencinta bangsa lainnya berteriak kencang menginginkan suatu perubahan besar dalam sistem ketatanegaraan agar terciptanya kesejahteraan dan terjaminnya kedaulatan bangsa Indonesia. Hasrat perubahan tersebut harus termaktub dalam setiap elemen konstitusi sebagaimana perubahan pertama sampai keempat UUD 1945 sebagai alat mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa ini secara damai dan progresif. Apalagi kalau kita mengingat genetika kultural (Cultural Genetic) masyarakat Indonesia dalam proses perubahan pasti sangat melampaui batas, dan bukan tidak mungkin terdapat pula potensi konflik secara horizontal maupun vertical yang senantiasa seiring sejalan.
Pada titik ini memang harapan terbesar segenap masyarakat Indonesia akan tertuju pada satu titik sentral yakni tindakan konstitusional. Tentu dengan harapan mulia sekaligus tuntutan kepada negara untuk suatu kebijakan yang berefek positif bagi keseluruhan masyarakat Indonesia yang plural. Ibarat kontrak kepentingan antara penguasa dan rakyatnya, penguasa mengkalim dirinya sebagai pemilik atas wilayah sekaligus pemilik rakyat, pada sisi yang lain rakyat akan mengharapkan kebijakan yang seyogianya merupakan representasi dari perasaan batin rakyat itu sendiri untuk sesuatu yang dipandang baik untuk diperjuangkan. Memang bukan suatu perkara yang mudah, manakalah negara harus berpikir keras untuk mencapai tujuan yang diinginkan rakyat. Tuntutan yang paling berat bagi konstitusi bangsa ini adalah bagaimana cara yang tepat untuk memindai norma abstrak yang menjadi konsep aturan ideal di dalam tubuh konstitusi untuk menyanggupi fakta dan praktek dalam penyelenggaraan negara. Harapan yang menjadi tantangan lain bagi negara dalam menjalankan penyelenggaraan negara berdasarkan konstitusi adalah penataan kembali kehidupan kenegaraan, sekaligus memberikan suatu action constitution semacam tindakan tegas dalam bentuk Shock Terapi tentang apa yang patut dan tidak patut. Dengan demikian, martabat konstitusi bangsa ini tidak disepelehkan. Setiap tindakan yang bertentangan dengan konstitusi juga harus mendapatkan tindakan tegas dan bertaring secara konstitusional dari negara, yang saya sebut sebagai tindakan Langsung Tunai.

Sabtu, 03 Juni 2017

“BUDAYA KORUPSI: Kristalisasi Hedonisme Modern”

“BUDAYA KORUPSI: Kristalisasi Hedonisme Modern”
Oleh
Yosep Copertino Apaut, SH.,MH
Ketua DPC POSPERA Kab.TTU

Pemberitaan oleh media se-Indonesia akhir-akhir ini sangat beragam untuk di cermati. Mulai dari soal politik, sosial kemasyarakatan, hingga skandal suap dan kasus mega korupsi. Menarik memang untuk di bahas, mengingat era keterbukaan ini mengharuskan setiap orang untuk mengikuti perkembangan yang terjadi. Kali ini Saya mengajak pembaca sekalian untuk lebih dalam membahas tentang korupsi. yang mungkin saja sudah dibahas berkali-kali oleh penulis lainnya.

KORUPSI, BENTUK DAN CIRI- CIRI UMUMNYA
Berbagai definisi dapat dipakai untuk menjelaskan sekaligus menjabarkan makna korupsi. Dengan penekanan pada studi masing-masing individu maka korupsi menjadi bermakna luas dan tidak hanya dari satu perspektif saja. Setiap orang bebas memaknai arti korupsi. Namun satu kata kunci yang bisa menyatukan berbagai macam definisi itu adalah bahwa korupsi merupakan Perbuatan Tercela Dan Harus Diberantas. Kata Korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu Corruptio dari kata kerja Corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Dari bahasa latin inilah kemudian diterima oleh banyak bahasa di Eropa, seperti: dalam bahasa Inggris menjadi Corruption Atau Corrupt, sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut Corruptie. Arti harafiah dari korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, tidak bermoral, penyimpangan arti kesucian sebagai individu yang berakhlak. Poerwadarminta  mengartikan korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya. Sementara menurut Robert Klitgaard yang mengupas korupsi dari perspektif administrasi negara, mendefinisikan korupsi sebagai Tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan menyangkut tingkah laku pribadi.
Syed Hussein Alatas dalam tulisan singkatnya menggambarkan ciri-ciri umum korupsi antara lain: 1. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari dari satu orang. Inilah yang membedakan dengan pencurian atau penggelapan. 2. Korupsi umumnya melibatkan kerahasiaan, ketertutupan terutama motif yang melatarbelakangi dilakukannya perbuatan korupsi itu sendiri. 3. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan keuntungan itu  tidaklah selalu berbentuk uang. 4. Usaha untuk berlindung dibalik pembenaran hukum. 5. Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang memiliki kekuasaan atau wewenang dan mempengaruhi keputusan-keputusan itu. 6. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum. 7. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan  tindakan itu. 8. Korupsi didasarkan atas niat kesengajaan untuk menempatkan kepentingan umum di bawah kepentingan pribadi.
Beberapa bentuk korupsi diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Penyuapan (bribery) mencakup tindakan memberi dan menerima suap, baik berupa uang maupun barang. 2. Embezzlement, merupakan tindakan penipuan dan pencurian sumber daya yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang mengelola sumber daya tersebut, baik berupa dana publik atau sumber daya alam tertentu. 3. Fraud, merupakan suatu tindakan kejahatan ekonomi yang melibatkan penipuan (trickery or swindle), termasuk didalamnya proses manipulasi atau mendistorsi informasi dan fakta dengan tujuan mengambil keuntungan-keuntungan tertentu. 4. Extortion, tindakan meminta uang atau sumber daya lainnya dengan cara paksa atau disertai dengan intimidasi-intimidasi tertentu oleh pihak yang memiliki kekuasaan. Lazimnya dilakukan oleh mafia-mafia lokal dan regional. 5. Favouritism, adalah mekanisme penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi pada tindakan privatisasi sumber daya.
Secara yuridis, negara telah menetapkan UU No. 31 Tahun 2009 tentang Pemberantasan Korupsi, sekaligus UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidanana Pencucian Uang sebagai dasar yang memuat tentang segala hal menyangkut korupsi dan apa saja yang teridentifikasi menjadi bagian dari korupsi, termasuk penggunaan dan transaksi keuangan yang mencurikan, yang seyogianya patut diduga merupakan hasil dari suatu kejahatan yang berpotensi merugikan negara. Konsep diatas dapat kita gunakan untuk menarik benang merah Berupa unsur-unsur penting dalam mengidentifikasikan suatu perbuatan yang patut diduga sebagai tindak pidana korupsi yang lazim terjadi di Indonesia, antara lain: 1. Melawan Hukum. 2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau korporasi. 3. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 4. Bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. 5. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena Jabatan atau kedudukannya.

BUDAYA KORUPSI DI INDONESIA
Secara jujur harus saya katakan bahwa ketika saya menulis artikel ini, seolah berat memang untuk menyelipkan kata budaya di depan kata korupsi, mengingat kata “Budaya” dipandang sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang bermakna positif, sekaligus membanggakan. Namun pada satu titik, memang bangsa kita harus dengan sangat jujur mengakui bahwa korupsi sudah berakar dan memiliki tempat tersendiri di setiap sisi kehidupan anak bangsa. Kalaupun upaya untuk mematikan korupsi di canangkan, pada akhirnya korupsi akan hidup lagi. Tidak bermaksud untuk pesimis melihat upaya positif dari setiap kita yang pada dasarnya membenci tindakan korup, akan tetapi fakta membuktikan bahwa korupsi memang menjadi budaya bangsa ini yang entah sampai kapan akan tetap bertahan. Bagi saya, tindak korupsi adalah kegilaan tingkat tinggi yang menggerus moral anak bangsa.
Kegilaan inilah sangat terasa manakala korupsi sudah menyentuh titik puncak, dimana tidak hanya dilakukan oleh individu semata, akan tetapi dilakukan oleh sekian banyak orang baik secara kelompok, organisasi, hingga kelembagaan sekalipun. Perilaku korup inilah yang oleh beberapa praktisi dan ahli hukum menyebutnya sebagai bentuk Korupsi Berjamaah. Kaum moralis dalam pandangannya tentu kurang setuju ketika menggunakan kosakata “Berjamaah”, mengingat diksi ini  biasanya digunakan dalam ritus keagamaan yang celestial, sementara kata “Korupsi” merupakan salah satu bentuk kemaksiatan. Realitas kontra makna ini secara nyata dapat dilihat dari banyaknya kasus yang melibatkan oknum trans-lembaga yang membentuk jaringan pencuri berdasi nan cerdas.
Uniknya, dalam setiap kasus korupsi di negeri ini, selalu saja ada “perselingkuhan” antara dua pihak yang berkepentingan. Ibarat pepatah “Tidak ada makan siang yang gratis”, suap menjadi jalan keluar untuk memuluskan langkah perselingkuhan. Lucunya, biaya perselingkuhan itu diberi ragam sandi, mulai dari “Apel Washington”, “Apel Malang”, “Durian”, dan sebagainya. Seakan tidak ada takutnya para pelaku korup dalam menjalankan aksi bejatnya. Pertanyaan sederhana yang bisa kita pikirkan bersama adalah, apa yang salah dengan bangsa ini?, apakah Hukum kurang tajam dalam menjerat setiap pelaku korupsi? Dapatkah hukuman mati dipakai bagi setiap pelaku korup? Atau mungkin moral anak bangsa memang sudah sangat rusak?. Masi banyak pertanyaan diluar sana yang bisa kita dengar. Aneh tapi nyata, ketika tindakan korupsi di negara lain yang terbilang makmur memang sangat gencar untuk di berantas. Sebut saja China, dengan hukuman matinya bagi setiap pelaku korup berdampak sangat kuat bagi stabilisasi ekonomi, penguatan birokrasi dan lain sebagainya. Sementara itu, Indonesia yang merupakan salah satu negara berkembang, justru gencar dengan pengampunan, pengurangan masa tahanan dalam bentuk remisi kepada pelaku korup.

KRISTALISASI HEDONISME MODERN
Epicuros (314 SM) seorang filsuf yang mengilhami ajaran moralitas mengajarkan tentang hedonisme jangka panjang yang pada intinya menekankan pada aspek kebijaksanaan sebagai suatu seni. Dengan kata lain, hedonisme ala Epicuros memberi rekomendasi untuk memilih antara kenikmatan sesaat atau kenikmatan jangka panjang yang diperoleh dari rasa sakit sesaat untuk pencapaian kebahagiaan yang bertahan dalam seluruh kehidupan.
Pandangan ini menganjurkan agar manusia selalu dapat menguasai diri untuk menjadi bijaksana. Baginya, orang bijak tidak akan memperbanyak kebutuhan, apalagi kebutuhan yang semu, melainkan membatasi diri atas kebutuhan-kebutuhan dan menghindari tindakan berlebihan, sekaligus menata diri untuk dapat menikmati kepuasaan dengan rasa syukur demi kehidupan yang tenang dan tentram. Bukan tidak mungkin tindakan korupsi yang terjadi pada bangsa kita merupakan bentuk kristalisasi Hedonisme Modern yang telah bertranformasi menjadi sosok lain, dari yang sekedar mencari kenikmatan untuk pencapaian kebahagiaan semata, hingga sampai pada titik ketamakan dan bentuk kerakusan. Pertanyaannya reflektif bagi kita sekalian, Kebahagiaan macam apa yang membuat seseorang melacurkan moralnya demi kumpulan rupiah?. Mari berbenah.