“FILSAFAT HUKUM: Masihkah Hukum
Sebagai Panglima”
(Suatu kritik sosial)
Oleh
Yosep Copertino Apaut, SH.,MH
Ketua DPC POSPERA Kab.TTU
Dunia hukum adalah dunia
yang indah dan sekaligus kejam, Ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat di
pisahkan antara satu dengan yang lain. Paling tidak kalimat ini dapat digunakan
sebagai pengantar awal bagi praktisi, pemerhati hingga mahasiswa Fakultas
Hukum. Tentu akan timbul pertanyaan singkat dari pembaca sekalian, Mengapa
demikian?. Jawaban sederhana adalah dari sudut mana anda berpikir. Apakah dari
sudut pandang hukum sebagai dunia yang kejam atau sebaliknya. Setidaknya
jawaban itu adalah gambaran sederhana tentang bagai menjelaskan tentang hukum
dalam konsep filsafat. Dalam konteks ini saya tidak membicarakan empat hal yang
melahirkan filsafat (ketakjuban, ketidak puasan, hasrat bertanya, dan
keraguan), akan tetapi melihat lebih spesifik dengan meminjam metode filsafati
untuk menjamah hukum sedikit lebih dalam.
Jika kita menyimak
sedikit lebih jauh ke belakang, karya-karya para filsuf Yunani purba, sebut
saja Plato dan Aristoteles, filsafat hukum seyogianya merupakan filsafat
politik, akan tetapi, dewasa ini filsafat hukum telah menjadi bagian dari
filsafat yang berdiri sendiri. Patut diingat bahwa filsafat hukum berbeda
dengan ilmu hukum. Ilmu hukum berbicara tentang nilai, asas, norma, aturan,
motode, model, peradilan, dan banyak konsep lainnya, sementara filsafat hukum
lebih menitik beratkan pada suatu refleksi filsafati dari persoalan- persoalan
hukum, dengan banyaknya pertanyaan seperti, apakah sebenarnya hukum itu?,
apakah hakikat hukum?, apakah keadilan itu?, mengapa manusia harus takluk
kepada hukum, dan lain sebagainya. Plato dalam bukunya yang berjudul Republik, politicus, dan the laws, banyak membahas tentang hukum
yang pada intinya mennyatakan bahwa hukum merupakan bagian dari pengetahuan
yang dimiliki oleh penguasa negara yaitu Filsuf-Raja (saat itu), karena itu
tidak tidak harus tunduk kepada hukum, karena mereka dipandang sebagai
orang yang paling arif dan memiliki
pengetahuan yang paling sempurna, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir akan
penyalahgunaan kebebasannya itu. Akan tetapi, kemudian sang filsuf menyadari
bahwa ternyata sangat sulit menemukan orang yang arif dan benar-benar memiliki
pengetahuan yang sempurna, sehingga rekomendasi akhir darinya adalah betapa
pentingnya hukum untuk mengendalikan penguasa dalam dalam memerintah. Pada
prinsipnya Plato menitik beratkan maksudnya lebih kepada hukum yang lahir bukan
semata-mata untuk memelihara ketertiban dan menjaga stabilitas negara, akan
tetapi hukum yang mampu menolong warga negara mencapai keutamaan atau kebijakan
pokok, sehingga layak menjadi warga masyarakat yang ideal.
Di Indonesia, ada
ungkapan yang sangat familiar dalam dunia hukum yaitu Hukum Sebagai Panglima. Mendengar
kata Panglima, tentu yang terbayang adalah pejuang, mungkin juga seorang
pendekar yang berada pada garda terdepan untuk bertarung demi suatu tujuan
luhur. Saat saya masi berstatus sebagai mahasiswa fakultas Hukum, kalimat ini seperti
suatu ungkapan penuh makna penyemangat, sekaligus memberikan rasa optimis yang
nyata terhadap Eudaimonia (kebahagiaan/kenyamanan hidup) sebagai bangsa
Indonesia. Pada suatu sesi perkuliahan, terungkap kalimat hebat dari guru besar
saya bahwa “kendatipun hukum adalah produk politik, namun seketika ia diundangkan,
maka pada saat itu dia adalah hukum yang berdiri sebagai panglima yang tidak
bisa di jadikan alat politik”. Untuk sesaat, kalimat ini mengundang kekaguaman
yang tak terkira terhadap hukum di Indonesia. Rasa pesimis saya mulai nampak ketika
melihat fenomena sosial, politik, yang menekan
hukum akhir-akhir ini. Hukum Indonesia seolah sekarat menunggu ajalnya.
Keadaan ini Seperti dongeng penghantar tidur bagi mereka yang berupaya keras
melemahkan hukum. Timbul banyak pertanyaan saat ini. Bagaimana kalau kekuasaan
justru menunggangi hukum untuk suatu niat jahat?, Bagaimana kalau hukum tidak
mampu meredam tekanan kepentingan suatu kelompok?, Masihkah Hukum sebagai
panglima?, atau Mungkinkah hukum tidak lagi bertaring sehingga mudah di
kalahkan?
Indonesia dibangun dengan
darah perjuangan anak bangsa, yang berusaha mengalahkan ketakutan terhadap
sejarah kelam penjajahan dengan satu pekikan “ Merdeka Atau Mati”, yang
kemudian terkristalisasi dalam ideologi besar yang oleh pendiri bangsa disebut
sebagai Pancasila, kemudian dibalut dalam suatu hukum dasar yang dinamakan Konstitusi
yang akhirnya melahirkan UUD 1945 (hukum dasar tertulis) dan KONVENSI (Hukum
dasar tidak tertulis/kebiasaan). Fungsi dari pembentukan konstitusi menurut Prof.
Mahfud M.D, semata-mata untuk membatasi kekuasaan antara 3 pilar penyelenggara
negara (Eksekutif, Legislatif, dan
Yudikatif), sekaligus jaminan atas hak politik rakyat. Tujuan akhirnya adalah
sesuai dengan batang tubuh UUD 1945 yakni, mencerdaskan dan memajukan kehidupan
bangsa, mencapai kebahagiaan nasional (tujuan nasional), serta melaksanakan
ketertiban dunia (tujuan internasional), yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan soasial. Penjelmaan dari nilai-nilai luhur bangsa
inilah yang selanjutnya disebut sebagai Hukum
ala Indonesia, yang mestinya menjadi senjata ampuh dalam menegakan tata
kehidupan sebagai bangsa Indonesia, dengan berbagai keberagamannya tanpa alasan
pelemahan terhadap hukum itu sendiri.
THE LAW IN ACTION / HUKUM DALAM PRAKTEK
Pada kenyataannya, para
penyelengara negara justru melakukan berbagai kasalahan yang berakibat pada
pelemahan hukum secara tidak langsung. Misalnya, praktek KKN yang marak terjadi
pada lembaga-lembaga negara, kebijakan pemerintah yang bersifat diskresi akibat
tekanan, dan lain sebagainya. Dalam praktek penegakan hukum pun demikian
berbeda dan sangat tidak bersinergi antara The law in the books (hukum dalam
tulisan/buku) dan The Law in action (hukum dalam praktek). Contoh sederhana
misalnya, asas praduga tak bersalah dalam aturan hukum menempatkan seorang terduga pelaku kejahatan
sebagai individu yang bebas merdeka, sepanjang belum ada putusan pengadilan
yang mengikat kebebasannya akibat terbukti melakukan perbuatan pidana. Konsep
ini dalam praktek penegakan hukum justru sangat tidak dipahami secara benar,
sehingga proses pencarian fakta dan selanjutnya pencarian keadilan hanya akan menjadikan
seorang tersangka sebagai Victim (korban) proses Law Enforcement (penegakan
Hukum). Terkait dengan asas ini, bagian yang sangat melemahkan Hukum adalah
tentang letak penggunaan/penerapan asas praduga tak bersalah dalam setiap
tingkatan proses penegakan hukum. Artinya apakah asas praduga tak bersalah dipakai
saat pemeriksaan seseorang sebagai saksi, sebagai tersangka, atau sebagai
terdakwa, mengingat dalam prakteknya seseorang hanya boleh di tetapkan sebagai
pelaku kejahatan/bersalah ketika telah ada putusan yang Berkekuatan Hukum Tetap.
Sementara pada posisi yang lain, berdasarkan pemikiran rasional berhukum saya,
tidaklah mungkin seseorang yang dinyatakan sebagai tersangka apabila tidak
didasarkan pada suatu dugaan. Logikanya bahwa diduga keras seseorang telah
melakukan perbuatan pidana sehingga berdasarkan 2 alat bukti atau lebih kepada
sang terduga dapat dinyatakan sebagai tersangka pelaku kejahatan tertentu.
Dengan demikian
kesimpulan sederhananya adalah bahwa ada praduga bersalah atas suatu kejadian
yang dikalasifikasikan sebagai perbuatan pidana, sehingga penegakan hukumnya dapat
dijalankan, tinggal bagaimana melihat proses selanjutnya yang patut dipandang
menggunakan asas praduga tak bersalah untuk semata-mata pencapain hukum yang
elegant dan tanpa tekanan terhadap tersangka demi pencapaian keadilan yang
sesungguhnya. Berpijak pada pandangan sederhana ini, maka sangat diperlukan
ketegasan penyelenggara negara untuk mencarmati dan menguatkan
pandangan-pandangan hukum bangsa ini sehingga tidak dijadikan alat politik bagi
oknum yang tidak menginginkan perdamaian. Penegakan hukum pun harus
sekurang-kurangnya mengedepankan aspek kemanfaatan, keadilan, kebahagiaan dan
juga ketegasan yang kukuh, sehingga tidak dengan mudah diarahkan, dipaksakan,
didesak kelompok/golongan, kepentingan kaum kuat, sehingga pencapain hukum
sebagai panglima menjadi nyata dalam proses penegakan Law Enforcement/Penegakan
hukum yang bersih dari praktek KKN. Pada tingkatan yang lebih tinggi dari
kesemuanya, hukum harus kembali ke awal mulanya, terkait tujuan akhir dari
hukum itu sendiri, sekaligus saya mengajak kita sekalian untuk merefleksi lagi
dan lagi tentang untuk apa kita berhukum. Mari berpikir bersama.