Sabtu, 03 Juni 2017

“BUDAYA KORUPSI: Kristalisasi Hedonisme Modern”

“BUDAYA KORUPSI: Kristalisasi Hedonisme Modern”
Oleh
Yosep Copertino Apaut, SH.,MH
Ketua DPC POSPERA Kab.TTU

Pemberitaan oleh media se-Indonesia akhir-akhir ini sangat beragam untuk di cermati. Mulai dari soal politik, sosial kemasyarakatan, hingga skandal suap dan kasus mega korupsi. Menarik memang untuk di bahas, mengingat era keterbukaan ini mengharuskan setiap orang untuk mengikuti perkembangan yang terjadi. Kali ini Saya mengajak pembaca sekalian untuk lebih dalam membahas tentang korupsi. yang mungkin saja sudah dibahas berkali-kali oleh penulis lainnya.

KORUPSI, BENTUK DAN CIRI- CIRI UMUMNYA
Berbagai definisi dapat dipakai untuk menjelaskan sekaligus menjabarkan makna korupsi. Dengan penekanan pada studi masing-masing individu maka korupsi menjadi bermakna luas dan tidak hanya dari satu perspektif saja. Setiap orang bebas memaknai arti korupsi. Namun satu kata kunci yang bisa menyatukan berbagai macam definisi itu adalah bahwa korupsi merupakan Perbuatan Tercela Dan Harus Diberantas. Kata Korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu Corruptio dari kata kerja Corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Dari bahasa latin inilah kemudian diterima oleh banyak bahasa di Eropa, seperti: dalam bahasa Inggris menjadi Corruption Atau Corrupt, sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut Corruptie. Arti harafiah dari korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, tidak bermoral, penyimpangan arti kesucian sebagai individu yang berakhlak. Poerwadarminta  mengartikan korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya. Sementara menurut Robert Klitgaard yang mengupas korupsi dari perspektif administrasi negara, mendefinisikan korupsi sebagai Tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan menyangkut tingkah laku pribadi.
Syed Hussein Alatas dalam tulisan singkatnya menggambarkan ciri-ciri umum korupsi antara lain: 1. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari dari satu orang. Inilah yang membedakan dengan pencurian atau penggelapan. 2. Korupsi umumnya melibatkan kerahasiaan, ketertutupan terutama motif yang melatarbelakangi dilakukannya perbuatan korupsi itu sendiri. 3. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan keuntungan itu  tidaklah selalu berbentuk uang. 4. Usaha untuk berlindung dibalik pembenaran hukum. 5. Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang memiliki kekuasaan atau wewenang dan mempengaruhi keputusan-keputusan itu. 6. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum. 7. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan  tindakan itu. 8. Korupsi didasarkan atas niat kesengajaan untuk menempatkan kepentingan umum di bawah kepentingan pribadi.
Beberapa bentuk korupsi diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Penyuapan (bribery) mencakup tindakan memberi dan menerima suap, baik berupa uang maupun barang. 2. Embezzlement, merupakan tindakan penipuan dan pencurian sumber daya yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang mengelola sumber daya tersebut, baik berupa dana publik atau sumber daya alam tertentu. 3. Fraud, merupakan suatu tindakan kejahatan ekonomi yang melibatkan penipuan (trickery or swindle), termasuk didalamnya proses manipulasi atau mendistorsi informasi dan fakta dengan tujuan mengambil keuntungan-keuntungan tertentu. 4. Extortion, tindakan meminta uang atau sumber daya lainnya dengan cara paksa atau disertai dengan intimidasi-intimidasi tertentu oleh pihak yang memiliki kekuasaan. Lazimnya dilakukan oleh mafia-mafia lokal dan regional. 5. Favouritism, adalah mekanisme penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi pada tindakan privatisasi sumber daya.
Secara yuridis, negara telah menetapkan UU No. 31 Tahun 2009 tentang Pemberantasan Korupsi, sekaligus UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidanana Pencucian Uang sebagai dasar yang memuat tentang segala hal menyangkut korupsi dan apa saja yang teridentifikasi menjadi bagian dari korupsi, termasuk penggunaan dan transaksi keuangan yang mencurikan, yang seyogianya patut diduga merupakan hasil dari suatu kejahatan yang berpotensi merugikan negara. Konsep diatas dapat kita gunakan untuk menarik benang merah Berupa unsur-unsur penting dalam mengidentifikasikan suatu perbuatan yang patut diduga sebagai tindak pidana korupsi yang lazim terjadi di Indonesia, antara lain: 1. Melawan Hukum. 2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau korporasi. 3. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 4. Bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. 5. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena Jabatan atau kedudukannya.

BUDAYA KORUPSI DI INDONESIA
Secara jujur harus saya katakan bahwa ketika saya menulis artikel ini, seolah berat memang untuk menyelipkan kata budaya di depan kata korupsi, mengingat kata “Budaya” dipandang sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang bermakna positif, sekaligus membanggakan. Namun pada satu titik, memang bangsa kita harus dengan sangat jujur mengakui bahwa korupsi sudah berakar dan memiliki tempat tersendiri di setiap sisi kehidupan anak bangsa. Kalaupun upaya untuk mematikan korupsi di canangkan, pada akhirnya korupsi akan hidup lagi. Tidak bermaksud untuk pesimis melihat upaya positif dari setiap kita yang pada dasarnya membenci tindakan korup, akan tetapi fakta membuktikan bahwa korupsi memang menjadi budaya bangsa ini yang entah sampai kapan akan tetap bertahan. Bagi saya, tindak korupsi adalah kegilaan tingkat tinggi yang menggerus moral anak bangsa.
Kegilaan inilah sangat terasa manakala korupsi sudah menyentuh titik puncak, dimana tidak hanya dilakukan oleh individu semata, akan tetapi dilakukan oleh sekian banyak orang baik secara kelompok, organisasi, hingga kelembagaan sekalipun. Perilaku korup inilah yang oleh beberapa praktisi dan ahli hukum menyebutnya sebagai bentuk Korupsi Berjamaah. Kaum moralis dalam pandangannya tentu kurang setuju ketika menggunakan kosakata “Berjamaah”, mengingat diksi ini  biasanya digunakan dalam ritus keagamaan yang celestial, sementara kata “Korupsi” merupakan salah satu bentuk kemaksiatan. Realitas kontra makna ini secara nyata dapat dilihat dari banyaknya kasus yang melibatkan oknum trans-lembaga yang membentuk jaringan pencuri berdasi nan cerdas.
Uniknya, dalam setiap kasus korupsi di negeri ini, selalu saja ada “perselingkuhan” antara dua pihak yang berkepentingan. Ibarat pepatah “Tidak ada makan siang yang gratis”, suap menjadi jalan keluar untuk memuluskan langkah perselingkuhan. Lucunya, biaya perselingkuhan itu diberi ragam sandi, mulai dari “Apel Washington”, “Apel Malang”, “Durian”, dan sebagainya. Seakan tidak ada takutnya para pelaku korup dalam menjalankan aksi bejatnya. Pertanyaan sederhana yang bisa kita pikirkan bersama adalah, apa yang salah dengan bangsa ini?, apakah Hukum kurang tajam dalam menjerat setiap pelaku korupsi? Dapatkah hukuman mati dipakai bagi setiap pelaku korup? Atau mungkin moral anak bangsa memang sudah sangat rusak?. Masi banyak pertanyaan diluar sana yang bisa kita dengar. Aneh tapi nyata, ketika tindakan korupsi di negara lain yang terbilang makmur memang sangat gencar untuk di berantas. Sebut saja China, dengan hukuman matinya bagi setiap pelaku korup berdampak sangat kuat bagi stabilisasi ekonomi, penguatan birokrasi dan lain sebagainya. Sementara itu, Indonesia yang merupakan salah satu negara berkembang, justru gencar dengan pengampunan, pengurangan masa tahanan dalam bentuk remisi kepada pelaku korup.

KRISTALISASI HEDONISME MODERN
Epicuros (314 SM) seorang filsuf yang mengilhami ajaran moralitas mengajarkan tentang hedonisme jangka panjang yang pada intinya menekankan pada aspek kebijaksanaan sebagai suatu seni. Dengan kata lain, hedonisme ala Epicuros memberi rekomendasi untuk memilih antara kenikmatan sesaat atau kenikmatan jangka panjang yang diperoleh dari rasa sakit sesaat untuk pencapaian kebahagiaan yang bertahan dalam seluruh kehidupan.
Pandangan ini menganjurkan agar manusia selalu dapat menguasai diri untuk menjadi bijaksana. Baginya, orang bijak tidak akan memperbanyak kebutuhan, apalagi kebutuhan yang semu, melainkan membatasi diri atas kebutuhan-kebutuhan dan menghindari tindakan berlebihan, sekaligus menata diri untuk dapat menikmati kepuasaan dengan rasa syukur demi kehidupan yang tenang dan tentram. Bukan tidak mungkin tindakan korupsi yang terjadi pada bangsa kita merupakan bentuk kristalisasi Hedonisme Modern yang telah bertranformasi menjadi sosok lain, dari yang sekedar mencari kenikmatan untuk pencapaian kebahagiaan semata, hingga sampai pada titik ketamakan dan bentuk kerakusan. Pertanyaannya reflektif bagi kita sekalian, Kebahagiaan macam apa yang membuat seseorang melacurkan moralnya demi kumpulan rupiah?. Mari berbenah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar