“BUDAYA
KORUPSI: Kristalisasi Hedonisme Modern”
Oleh
Yosep
Copertino Apaut, SH.,MH
Ketua
DPC POSPERA Kab.TTU
Pemberitaan oleh media
se-Indonesia akhir-akhir ini sangat beragam untuk di cermati. Mulai dari soal
politik, sosial kemasyarakatan, hingga skandal suap dan kasus mega korupsi.
Menarik memang untuk di bahas, mengingat era keterbukaan ini mengharuskan
setiap orang untuk mengikuti perkembangan yang terjadi. Kali ini Saya mengajak
pembaca sekalian untuk lebih dalam membahas tentang korupsi. yang mungkin saja
sudah dibahas berkali-kali oleh penulis lainnya.
KORUPSI,
BENTUK DAN CIRI- CIRI UMUMNYA
Berbagai definisi dapat
dipakai untuk menjelaskan sekaligus menjabarkan makna korupsi. Dengan penekanan
pada studi masing-masing individu maka korupsi menjadi bermakna luas dan tidak
hanya dari satu perspektif saja. Setiap orang bebas memaknai arti korupsi.
Namun satu kata kunci yang bisa menyatukan berbagai macam definisi itu adalah
bahwa korupsi merupakan Perbuatan
Tercela Dan Harus Diberantas. Kata Korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu Corruptio dari kata kerja Corrumpere yang berarti
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Dari bahasa latin inilah
kemudian diterima oleh banyak bahasa di Eropa, seperti: dalam bahasa Inggris
menjadi Corruption Atau Corrupt, sedangkan dalam bahasa
Belanda, disebut Corruptie. Arti harafiah dari korupsi adalah kebusukan,
keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, tidak bermoral, penyimpangan arti kesucian
sebagai individu yang berakhlak. Poerwadarminta
mengartikan korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang,
penerimaan uang sogok, dan sebagainya. Sementara menurut Robert Klitgaard yang mengupas korupsi dari perspektif administrasi
negara, mendefinisikan korupsi sebagai Tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas
resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut
pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau melanggar
aturan-aturan pelaksanaan menyangkut tingkah laku pribadi.
Syed
Hussein Alatas dalam tulisan singkatnya menggambarkan
ciri-ciri umum korupsi antara lain: 1. Korupsi
senantiasa melibatkan lebih dari dari satu orang. Inilah yang membedakan dengan
pencurian atau penggelapan. 2. Korupsi
umumnya melibatkan kerahasiaan, ketertutupan terutama motif yang melatarbelakangi
dilakukannya perbuatan korupsi itu sendiri. 3. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
Kewajiban dan keuntungan itu tidaklah selalu berbentuk uang. 4. Usaha untuk berlindung dibalik
pembenaran hukum. 5. Mereka yang terlibat
korupsi adalah mereka yang memiliki kekuasaan atau wewenang dan mempengaruhi
keputusan-keputusan itu. 6. Setiap
tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau
masyarakat umum. 7. Setiap bentuk
korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang
melakukan tindakan itu. 8. Korupsi
didasarkan atas niat kesengajaan untuk menempatkan kepentingan umum di bawah
kepentingan pribadi.
Beberapa bentuk korupsi diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Penyuapan
(bribery) mencakup tindakan memberi
dan menerima suap, baik berupa uang maupun barang. 2. Embezzlement,
merupakan tindakan penipuan dan pencurian sumber daya yang dilakukan oleh
pihak-pihak tertentu yang mengelola sumber daya tersebut, baik berupa dana
publik atau sumber daya alam tertentu. 3.
Fraud, merupakan suatu tindakan
kejahatan ekonomi yang melibatkan penipuan (trickery or swindle), termasuk
didalamnya proses manipulasi atau mendistorsi informasi dan fakta dengan tujuan
mengambil keuntungan-keuntungan tertentu. 4.
Extortion, tindakan meminta uang
atau sumber daya lainnya dengan cara paksa atau disertai dengan
intimidasi-intimidasi tertentu oleh pihak yang memiliki kekuasaan. Lazimnya
dilakukan oleh mafia-mafia lokal dan regional. 5. Favouritism, adalah
mekanisme penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi pada tindakan privatisasi
sumber daya.
Secara yuridis, negara
telah menetapkan UU No. 31 Tahun 2009 tentang Pemberantasan Korupsi, sekaligus
UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidanana Pencucian Uang sebagai dasar yang
memuat tentang segala hal menyangkut korupsi dan apa saja yang teridentifikasi
menjadi bagian dari korupsi, termasuk penggunaan dan transaksi keuangan yang
mencurikan, yang seyogianya patut diduga merupakan hasil dari suatu kejahatan
yang berpotensi merugikan negara. Konsep diatas dapat kita gunakan untuk menarik
benang merah Berupa unsur-unsur penting dalam mengidentifikasikan suatu
perbuatan yang patut diduga sebagai tindak pidana korupsi yang lazim terjadi di
Indonesia, antara lain: 1. Melawan
Hukum. 2. Memperkaya diri sendiri
atau orang lain, atau korporasi. 3. Dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 4. Bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi. 5. Menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena Jabatan atau kedudukannya.
BUDAYA
KORUPSI DI INDONESIA
Secara jujur harus saya
katakan bahwa ketika saya menulis artikel ini, seolah berat memang untuk
menyelipkan kata budaya di depan kata korupsi, mengingat kata “Budaya” dipandang sebagai hasil cipta,
rasa dan karsa manusia yang bermakna positif, sekaligus membanggakan. Namun
pada satu titik, memang bangsa kita harus dengan sangat jujur mengakui bahwa
korupsi sudah berakar dan memiliki tempat tersendiri di setiap sisi kehidupan
anak bangsa. Kalaupun upaya untuk mematikan korupsi di canangkan, pada akhirnya
korupsi akan hidup lagi. Tidak bermaksud untuk pesimis melihat upaya positif
dari setiap kita yang pada dasarnya membenci tindakan korup, akan tetapi fakta
membuktikan bahwa korupsi memang menjadi budaya bangsa ini yang entah sampai
kapan akan tetap bertahan. Bagi saya, tindak korupsi adalah kegilaan tingkat
tinggi yang menggerus moral anak bangsa.
Kegilaan inilah sangat
terasa manakala korupsi sudah menyentuh titik puncak, dimana tidak hanya
dilakukan oleh individu semata, akan tetapi dilakukan oleh sekian banyak orang
baik secara kelompok, organisasi, hingga kelembagaan sekalipun. Perilaku korup
inilah yang oleh beberapa praktisi dan ahli hukum menyebutnya sebagai bentuk Korupsi Berjamaah. Kaum moralis dalam
pandangannya tentu kurang setuju ketika menggunakan kosakata “Berjamaah”,
mengingat diksi ini biasanya digunakan
dalam ritus keagamaan yang celestial, sementara kata “Korupsi” merupakan salah
satu bentuk kemaksiatan. Realitas kontra makna ini secara nyata dapat dilihat
dari banyaknya kasus yang melibatkan oknum trans-lembaga yang membentuk
jaringan pencuri berdasi nan cerdas.
Uniknya, dalam setiap
kasus korupsi di negeri ini, selalu saja ada “perselingkuhan” antara dua pihak yang
berkepentingan. Ibarat pepatah “Tidak
ada makan siang yang gratis”, suap menjadi jalan keluar untuk memuluskan
langkah perselingkuhan. Lucunya, biaya perselingkuhan itu diberi ragam sandi,
mulai dari “Apel Washington”, “Apel
Malang”, “Durian”, dan sebagainya. Seakan tidak ada takutnya para pelaku
korup dalam menjalankan aksi bejatnya. Pertanyaan sederhana yang bisa kita pikirkan
bersama adalah, apa yang salah dengan
bangsa ini?, apakah Hukum kurang tajam dalam menjerat setiap pelaku korupsi?
Dapatkah hukuman mati dipakai bagi
setiap pelaku korup? Atau mungkin
moral anak bangsa memang sudah sangat rusak?. Masi banyak pertanyaan diluar
sana yang bisa kita dengar. Aneh tapi nyata, ketika tindakan korupsi di negara
lain yang terbilang makmur memang sangat gencar untuk di berantas. Sebut saja
China, dengan hukuman matinya bagi setiap pelaku korup berdampak sangat kuat
bagi stabilisasi ekonomi, penguatan birokrasi dan lain sebagainya. Sementara
itu, Indonesia yang merupakan salah satu negara berkembang, justru gencar
dengan pengampunan, pengurangan masa tahanan dalam bentuk remisi kepada pelaku
korup.
KRISTALISASI
HEDONISME MODERN
Epicuros
(314 SM) seorang filsuf yang mengilhami ajaran moralitas
mengajarkan tentang hedonisme jangka panjang yang pada intinya menekankan pada
aspek kebijaksanaan sebagai suatu seni. Dengan kata lain, hedonisme ala Epicuros memberi rekomendasi untuk
memilih antara kenikmatan sesaat atau kenikmatan jangka panjang yang diperoleh
dari rasa sakit sesaat untuk pencapaian kebahagiaan yang bertahan dalam seluruh
kehidupan.
Pandangan ini
menganjurkan agar manusia selalu dapat menguasai diri untuk menjadi bijaksana.
Baginya, orang bijak tidak akan memperbanyak kebutuhan, apalagi kebutuhan yang
semu, melainkan membatasi diri atas kebutuhan-kebutuhan dan menghindari
tindakan berlebihan, sekaligus menata diri untuk dapat menikmati kepuasaan
dengan rasa syukur demi kehidupan yang tenang dan tentram. Bukan tidak mungkin
tindakan korupsi yang terjadi pada bangsa kita merupakan bentuk kristalisasi
Hedonisme Modern yang telah bertranformasi menjadi sosok lain, dari yang
sekedar mencari kenikmatan untuk pencapaian kebahagiaan semata, hingga sampai
pada titik ketamakan dan bentuk kerakusan. Pertanyaannya reflektif bagi kita
sekalian, Kebahagiaan macam apa yang membuat seseorang melacurkan moralnya demi
kumpulan rupiah?. Mari berbenah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar