Selasa, 25 Juli 2017

“POLITIK HUKUM PIDANA: Rekonstruksi Hukuman Paten Bagi Koruptor”



“POLITIK HUKUM PIDANA: Rekonstruksi Hukuman Paten Bagi Koruptor”
(Suatu Kritik Sosial)
Oleh
Yosep Copertino Apaut, SH.,MH
Ketua DPC POSPERA Kab.TTU
Beberapa kesempatan yang lalu di opini Timex ini, saya perna menulis tentang BUDAYA KORUPSI: Kristalisasi Hedonisme Modern yang pada intinya berbicara tentang konsep korupsi, bentuk dan ciri- ciri umumnya serta semua pola yang mengarah pada ungkapan minor korupsi sebagai budaya yang mungkin merupakan bentuk kristalisasi hedonisme modern. Pada kesempatan ini, saya masi tertarik membahas tentang korupsi namun lebih kepada bagaimana menghasilkan hukuman yang paling tepat bagi pelaku tindak pidana korupsi sebagai aksi dari politik hukum untuk menjawab tantangan penanganan tindak pidana korupsi yang seakan menjadi fenomena dan mungkin juga menjadi trend kekinian. Langkah ini menjadi sangat penting mengingat kasus korupsi tumbuh subur di negeri ini,

KONSEP POLITIK HUKUM PIDANA
Pada prinsipnya politik hukum pidana merupakan bagian terkecil dari prinsip dasar politik hukum itu sendiri yang bermuara pada tujuan pencapaian keadilan yang hakiki. Sebelum masuk pada pengertian politik hukum pidana, maka sangat penting untuk memahami terlebih dahulu tentang konsep politik hukum. secarah sederhana Politik Hukum dapat diartikan bentuk legal policy atau arah hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Dalam arti yang seperti ini politik hukum harus berpijak pada tujuan negara dan sistem hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan yang dalam konteks Indonesi, tujuan dan sistem itu terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya Pancasila yang melahirkan kaidah-kaidah hukum.
Menurut Sudarto, Politik hukum terdapat dua dimensi . Dimesi pertama adalah politik hukum yang menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan perundang-undangan (“Kebijakan Dasar” atau basic policy) Dimesi kedua dari politik hukum adalah tujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakukan suatu peraturan perundang-undangan (“Kebijakan Pemberlakuan” atau enactment policy). Sementara Politik Hukum Pidana (penal policy) atau dengan istilah lain disebut sebagai “Kebijakan Hukum Pidana” oleh Marc Ancel diartikan sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan undang-undang dan kepada para pelaksana putusan pengadilan. Kebijakan hukum pidana (penal policy) tersebut merupakan salah satu komponen dari modern criminal science disamping criminology dan criminal law.
Secarah keilmuan, politik hukum (termasuk politik hukum pidana) merupakan suatu konsep berpikir dan sekaligus menjadi aksi nyata negara dalam Pembangunan hukum yang mencakup upaya-upaya pembaruan tatanan hukum di Indonesia, yang sedianya harus selalu dilakukan secara terus menerus. Alasan pembenarannya adalah agar hukum dapat memainkan peran dan fungsinya sebagai pedoman bertingkah laku (fungsi ketertiban) dalam hidup bersama yang imperatif dan efektif sebagai penjamin keadilan di dalam masyarakat. Upaya pembangunan tatanan hukum yang terus menerus ini diperlukan negara sebagai bukti pernyataan negara Sebagai pelayan bagi masyarakat. Alasan lain mengapa politik hukum menjadi sangat penting adalah bahwa Karena hukum itu tidak berada pada tataran kevakuman, karena itu hukum harus senantiasa disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
Kesimpulan akhir dari suatu konsep politik hukum ala Indonesia adalah bahwa dalam Upaya pembaruan tatanan hukum itu, tentu tetap melihat Pancasila sebagai paradigmanya, yang berkedudukan sebagai dasar, ideologi, cita hukum dan norma fundamental negara yang patut dijadikan orientasi arah, sumber nilai-nilai dan karenanya juga kerangka berpikir dalam setiap upaya pembaruan hukum harus berorientasi pada tujuan luhur bangsa yaitu keadilan.

REKONSTRUKSI HUKUMAN PATEN BAGI KORUPTOR
Kenyataan empiris hari ini membenarkan bahwa di negeri ini, korupsi agaknya telah menjadi penyakit akut yang sangat sulit untuk diberantas. Bertahun-tahun di bawah pemerintahan yang korup, menjadikan penyebaran korupsi semakin meluas dan sistematis, bahkan korupsi memiliki kecenderungan untuk menjadi masalah publik, yang dilakukan secara bersama-sama. Korupsi yang meluas dengan gampang kita jumpai pada hampir semua sisi kehidupan bangsa. Korupsi juga telah menjadi bagian sistem pengelolaan negara. Celakanya korupsi kerap melibatkan petinggi-petinggi negeri ini. Hasil riset juga menunjukkan korupsi meningkat dari waktu ke waktu, baik kuantitas maupun kualitas, bahkan korupsi menjadi kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crimes), seiring dengan predikat Indonesia sebagai negara terkorup.
Beberapa praktisi dan ahli hukum menyebut perilaku korup di Indonesia sebagai bentuk Korupsi Berjamaah. Tentu ini bukan ungkapan untuk menyanjung suatu prestasi kerja atau apapun yang positif, ungkapan ini tidak lain adalah ungkapan pemberian julukan/alias/istilah yang paling memalukan yang akan selalu diingat oleh setiap kita sebagai kenyataan pahit yang terjadi pada bangsa ini. Beranjak dari istilah negatif diatas, tentu yang dipikirkan oleh kita sekalian adalah bagaimana cara yang tepat untuk memutus mata rantai korupsi ini. Secarah kelembagaan negara Indonesia sudah sangat luar biasa berupaya keras untuk memerangi pratek korupsi dengan dibentuknya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Pada sisi yang lain antar lembaga penegak hukum juga terlihat sangat optimal bersinergi untuk saling bahu membahu memberantas praktek KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme). Secara yuridis, negara telah menetapkan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, dan juga UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidanana Pencucian Uang sebagai dasar yang memuat tentang segala hal menyangkut korupsi yang juga dapat disebut sebagai barometer untuk menyebut tindakan apa saja yang teridentifikasi menjadi bagian dari korupsi.
Realita yang terjadi bahwa para pelaku korup tidak sedikitpun gentar apalagi takut melakukan tindakan korup. Pertanyaan sederhana yang bisa kita pikirkan bersama adalah Apa Yang Salah Dengan Penegakan Hukum Kita? Pada titik ini, tentu tidak ada yang dapat dilakukan selain menjalankan prinsip hukum pidana untuk menjerat setiap pelaku korup, namun apakah itu sudah cukup?  tentu itu belum cukup. Ada hukuman yang lebih berat dari pada sekedar hukuman penjara, contohnya saja penerapan hukuman mati bagi koruptor, akan tetapi hal itu hanya sebatas pada pernyataan “keadaan tertentu” seperti yang termuat dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Thn 1999 jo. UU No. 20/2001 yang menyebut sebagai berikut: dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Penjelasan pasal tersebut menyebutkan: Yang dimaksud “Keadaan Tertentu“ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter dan pengulangan tidak pidana korupsi.
Dari pernyataan ini saja dapat kita lihat bahwa negara tidak tegas untuk memberlakukan aturan. Negara terkesan ragu-ragu menghukum mati pelaku korup yang nota bene adalah pelaku kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) yang juga sejajar dengan aksi penyelundup, pengedaran narkoba yang pada hari ini telah berani di hukum mati oleh negara. Mengapa harus menunggu keadaan tertentu baru bisa di hukum mati?. Tentu ini akan menjadi pertanyaan masyarakat pada umumnya. Lihat saja negara tetangga kita, China misalnya, dengan berani tanpa ampun memberikan hukuman mati bagi para pelaku korup yang juga sangat efektif dalam menekan perilaku korup.
Adapun Pola lain yang bisa digunakan apabila hukuman mati tidak bisa dijalankan oleh negara, misalnya saja dengan menggunakan pendekatan politik hukum pidana sebagai jalan keluar, dengan mencantumkan hukuman Pemiskinan dalam setiap aturan tentang korupsi. Pemiskinan itu antara lain bisa dilakukan dengan mengikutseratakan bunga yang diperoleh dari hasil korupsi sebagai uang pengganti yang harus dibayar. Konsep ini merujuk dari konsep ganti rugi dalam ranah perdata dimana bunga termasuk yang dihitung sebagai kewajiban yang harus dipenuhi jika seseorang wanprestasi. Pembuktian terbalik dan perampasan aset juga bisa dilakukan sehingga orang takut melakukan tindakan korupsi. Namun yang paling dibutuhkan saat ini adalah negara tegas mengambil sikap untuk memulai. Mari berpikir untuk kebaikan bangsa.

1 komentar:

  1. SELAMAT ANDA MENDAPATKAN UNDANGAN RESMI DARI SUMOQQ.ORG Kunjungi skrg Live Chat nya u/Info lbh Lanjut,Dan Dapatkan Jutaan Rupiah Dengan Cuma-Cuma BBM : D8ACD825

    BalasHapus