Jumat, 27 Februari 2015

SUATU KRITIK SOSIAL - “Keadilan sebagai Sakramen Hukum”



“Keadilan sebagai Sakramen Hukum”
Oleh
Yosep Copertino Apaut, SH
Mahasiswa Ilmu Hukum Program Pascasarjana Undana

Keadilan (Justice) pada prinsipnya merupakan keseimbangan antara kewajiban dan Hak yang patut diterima oleh setiap manusia sebagai milik pribadi, tanpa batasan dengan alasan apapun. Keseimbangan rasa adil tersebut mengandung nilai yang berlaku Universal. Keadilan baru dapat dikatakan bersifat universal manakala pemenuhannya mencakup semua persoalan keadilan sosial dan individual yang muncul, termasuk universal dalam proses penerapannya yang berlaku bagi seluruh anggota masyarakat. Umumnya keadilan bisa bersifat subjektif  dan bisa individualistis, artinya tidak bisa disama ratakan. Karena adil bagi si A belum tentu adil bagi si B, maka rasa keadilan” harus merujuk kepada berbagai pertimbangan psikologis dan sosiologis untuk memenuhi konsep adil yang hakiki. Sejak awal, Aristoteles seorang filsuf yang pertama kali merumuskan arti keadilan mengatakan bahwa, keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (fiat jutitia bereat mundus). Selanjutnya keadilan dibagi menjadi dua bentuk yaitu: Pertama, keadilan distributif, yaitu keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsional (keadilan berdasarkan besarnya jasa yang diberikan). Kedua, keadilan korektif, yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi (keadilan berdasarkan persamaan hak tanpa melihat besarnya jasa yang diberikan). Sementara itu, dalam konteks filsafat hukum terdapat banyak perbedaan terkait keadilan semisal, penganut paradigma Hukum Alam yang meyakini bahwa alam semesta diciptakan dengan prinsip keadilan, sehingga dikenal antara lain Stoisisme norma hukum alam primer yg bersifat umum menyatakan “Berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (unicuique suum tribuere), dan jangan merugikan seseorang (neminem laedere)”.
Pendapat lain diuraikan Hans Kelsen, dari segi kecocokan dengan hukum positif-terutama kecocokan dengan undang-undang. Kelsen menggangap sesuatu yang adil hanya mengungkapkan nilai kecocokan relative dengan suatu norma. “adil” hanya kata lain dari “benar”. Dengan kata lain Kelsen menaruh rasa adil pada undang-undang (Legal Formal) semata. Secara praktis, dalam hubungan antara individu dengan negara, keadilan dapat dipahami sebagai terpenuhinya kebutuhan masyarakat secara nyata dari negara/pemerintah (keseluruhan sistem yang kompleks) dengan tidak mengabaikan kewajiban dari masyarakat. Hak dan kewajiban Yang dimaksudkan adalah “negara menjalankan hak dan kewajibannya, begitupun masyarakat menjalankan hak dan kewajibannya”. Meskipun demikian, Indikator pemenuhan kebutuhan dari negara kepada masyarakat sebagai individu harus lebih jelas terlihat (lebih responsif) manakala setiap orang dalam negara telah menerima apa yang menjadi haknya secara utuh.

Pencapaian Sakramen Hukum
Martabat hukum terletatak pada dasar, proses dan finalisasi pelaksanaan yang secara pasti dan meyakinkan memberi muatan nilai, moral dan keadilan yang tak terbantahkan dengan sekedar teori, apalagi dengan memandang keadilan secara sepihak yang hanya didapat dalam bentuk “teks hukum”. Adil pada titik lain ibarat “sakramen” yang bermakna suci. Kata “sakramen” berasal dari bahasa Latin yaitu “sacramentum” yang secara harfiah berarti "menjadikan suci". Konsekuensi logis darinya adalah bahwa jiwa dari hukum ada pada manusia, keadilan tidak sekedar kebutuhan yang layak untuk diperjuangkan, melaikan sesuatu yang dalam keabstrakannya memiliki nilai keilahian yang “telah dimiliki” sejak mulanya. untuk mencapai keadilan hakiki, hukum harus terlepas dari kekangan, baik kekangan penguasa politik, maupun kekangan hukum yang kaku. Karena kekangan yang tak berujung, maka hukum harus Progresif dalam segalah aspek, tidak terkecuali dalam proses pencarian keadilan. Alasan sederhana untuk menerobos kekakuan hukum di ungkapkan maestro Hukum progresif Indonesia, Prof. Satjipto Rahardjo, yang secara meyakinkan memberikan gambaran bahwa Hukum progresif adalah gerakan pembebasan karena ia bersifat cair dan senantiasa gelisah melakukan pencarian dari satu kebenaran ke kebenaran selanjutnya. Kajian ini juga diungkapkan pengikut setianya asal Nusa Tenggara Timur, Bernard L. Tanya. Bernard selalu menyeruhkan dan mengingatkan bahwa Hukum progresif  adalah hukum dengan semangat berbuat yang terbaik bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Hukum progresif menghendaki manusia jujur. Berani keluar dari tatanan merupakan salah satu cara mencari dan membebaskan.
Lawrence Friedman mengemukan 3 sistem sistem hukum antara lain: Substansi Hukum yang adalah norma (aturan, keputusan) hasil dari produk hukum, Struktur Hukum yang adalah sistem kelembagaan negara/pranata hukum yang konsepnya untuk memberikan pelayanan dan penegakan hukum, serta Budaya Hukum yang adalah ide , perilaku , keinginan , pendapat dan nilai-nilai yang berkaitan dengan hukum (aspek positif/negatif), yang secara langsung memberikan gambaran tentang bagaimana hukum semestinya dijalankan. Bertalian dengannya, apabila diejawantakan dengan pemikiran ala Prof. Tjip dengan pendekatan hukum progresif, maka tidaklah berlebihan ketika proses penegakan hukum Indonesia dituntut untuk memenuhi aspek kejujuran, etika, martabat, dan yang paling penting adalah nurani dalam satu bingkai utama yakni “Moralitas Hukum”. Pada titik ini, aspek struktur hukum menjadi hal yang paling disorot dalam perilaku berhukum Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh kuat “Legal Positivism” mengarahkan para penegak hukum untuk bermain dirana yang sakral, untuk menentukan sikap bersalah tidaknya suatu perbuatan hukum berdasarkan kehendak aturan tanpa pertimbangan lain yang sesungguhnya memiliki nilai moral dan kesempatan berbenah diri bagi setiap orang yang terlibat dalam kasus hukum.

Hukum Indonesia saat ini
Sangat dibernakan bahwa dalam penegakan hukum bangsa ini merujuk pada tiga unsur, yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Cita hukum awalnya menjadi sesuatu yang sangat indah untuk dibahas, tidak saja para akademisi, namun menjadi perbincangan bersama seluruh rakyat. Akan tetapi yang terjadi justru aspek kepastian hukum menjadi dewa, yang seakan disucikan dengan tidak lagi menggandeng aspek kemanfaatan hukum untuk mencapai nilai sakral dari hukum yaitu keadilan. Praktek hukum semacam ini tentu bertolak belakang dengan pandangan Kaum Utilitarian yang dipelopori oleh Jeremy Bentham, sebagai pendukung teori kegunaan, bahwa tujuan hukum harus berguna bagi masyarakat untuk mencapai kebahagiaan sebesar-besarnya. Pandangan ini bukan tanpa alasan, jelas terlihat bahwa masyarakat dalam keberagamannya telah mempercayakan seluruh kehidupannya kepada negara untuk mengatur dan menjamin seluruh kebutuhannya. Konsekuensi logis darinya adalah bahwa negara mengemban tanggungjawab moral untuk membahagiakan setiap individu lewat kebijakan, putusan (Preseden) yang secara keseluruhan memberi efek kepercayaan publik pada pemerintah (penegak hukum dan pemangku kebijakan). Karena alasan kepercayaan dari masyarakat, maka penegak hukum dalam menyelesaikan suatu permasalahan harus mulai dari tujuan luhur dari hukum yaitu Keadilan. Pada hakekatnya, masyarakat akan selalu berusaha mencapai titik adil dalam setiap proses sepanjang hidupannya sebagai warga negara, maka penegak hukum wajib memberikan keadilan sebesar-besarnya kepada masyarakat bukan sebagai bentuk penghormatan semu terhadap permintaan masyarakat yang datang dalam bentuk desakan dan protes, akan tetapi dengan dasar bahwa kekadilan adalah sesuatu yang suci yang patut diberikan pada setiap warga negara. Maka satu hal penting yang harus dilakukan oleh para penegak hukum adalah “jangan takut menerobos sistem hukum yang kaku. Jadilah obor penerang kala mentari hukum tidak lagi bersinar, karena didepan sana ada Keadilan yang patut di perjuangkan, sebab keadilan adalah suci”.

2 komentar:

  1. Sekali lagi kk proficiat.... yang membuatku tertarik dari tulisan di atas adalah" Berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.... sy pikir ini juga konsep buat sy kk. Kemudian, terkait dengan tiga unsur penegakan hukum, kira-kira antara ketiga unsur di atas alangkah baiknya mana yang seharusny didahulukan?

    BalasHapus
  2. dalam kajian hukum,,, ketiganya menjadi satu kesatuan yang utuh yang mestinya tidak boleh terpisahkan... ibarat suatu sistem maka mereka harus berjalan beriringan... tapi yang paling penting dari kesemuanya adalah soal apa yang hendak dicapai.... kk lebih mengutamakan pendekatan moral dan nilai sebagai instrumen penting untuk mencapai Kata "Adil"...

    BalasHapus