Rabu, 21 Mei 2014

KAJIAN KUHP DAN KONSEP KUHP

“POLA PEMIDANAAN MENURUT KUHP DAN KONSEP KUHP”
OLEH
YOSEP COPERTINO APAUT, SH

DASAR PEMIKIRAN
Rangkaian sanksi atau pidana merupakan bagian dari hukum panitensier yang meliputi jenis pidana, cara dan dimana menjalankannya, termasuk pula mengenai pengurangan, penambahan dan pengecualian penjatuhan pidana Stelsel Pidana Indonesia pada dasarnya diatur dalam Buku I KUHP dalam Bab ke-2 dari Pasal 10 sampai Pasal 43, yang kemudian juga diatur lebih jauh mengenai hal-hal tertentu dalam beberapa peraturan.
Peraturan tersebut sebagaimana yang dikatakan Adami Chazawi adalah:
1.      Reglement Penjara (Stb. 1917 No. 708) yang diubah dengan LN1948 No. 77).
2.      Ordonansi Pelepasan Bersyarat (Stb. 1917 No. 749).
3.      Reglement Pendidikan Paksaan (Stb. 1917 No. 741).
4.      UU No. 20 Tahun 1949 Tentang Pidana Tutupan.
Reglement penjara ini kemudian diganti dengan UU Nomor 5 Tahun1995 Tentang Permasyarakatan. Stelsel pidana Indonesia berdasarkan KUHP mengelompokkan jenis-jenis pidana kedalam pidana pokok dan pidana tambahan. Dari luasnya cakupan stelsel pidana tersebut, maka dapat diuraikan beberapa hal tentang stelsel pidana Indonesia tersebut sebagai berikut:

PIDANA DAN TINDAKAN
Pidana (straf) merupakan salah satu sarana yang dapat digunakan dalam kebijakan hukum pidana. Roeslan Saleh pernah mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan hukum pidana itu tidaklah semata-mata menjatuhkan pidana, akan tetapi juga ada-kalanya menggunakan tindakan-tindakan.
Tindakan merupakan suatu sanksi juga, tetapi tidak ada sifat pembalasan padanya dan ditujukan sebagai prevensi khusus dengan maksud menjaga keamanan masyarakat terhadap orang-orang yang dipandang berbahya, dan dikhawatirkan akan melakukan perbuatan-perbuatan pidana. Batas antara pidana dan tindakan walaupun secara teoritis agak sukar dibedakan tetapi secara praktis batasannya cukup jelas seperti yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP merupakan lingkup pidana, selain itu adalah termasuk tindakan.
Roeslan Saleh dalam hal ini mengutarakan, walaupun tindakan itu juga merampas dan menyinggung kemerdekaan seseorang, tetapi jika bukan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 10 KUHP bukanlah pidana. Seperti pendidikan paksa pada anak-anak, penempatan seseorang dalam rumah sakit jiwa.
Berbicara tentang stelsel pidana adalah juga berbicara masalah sistem pemidanaan yang memiliki pengertian yang sangat luas. L. H. C.Hulsman sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief, mengemukakan bahwa sistem pemidanaan (the sentencing sistem) adalah “peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan” (the statutory rules relating to penal sactions andpunishment).
Barda Nawawi Arief juga mengemukakan bahwa apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhanpidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaanmencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengaturbagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalisasikan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai hukum pidana subtantif, hukum pidana formal dan hukum pidana pelaksanaan dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.
Selanjutnya berkenaan dengan perbedaan antara pemidanaan (punishment) dan tindakan (treatment), menurut Alf Ross tidak didasarkanpada ada tidaknya unsur penderitaan, tetapi harus didasarkan ada tidaknya unsur pencelaan, sedangkan menurut H. L. Packer perbedaan keduanyaBarda Nawawi Arief,.harus dilihat dari tujuan dan seberapa jauh peranan dari perbuatan si pelakuterhadap adanya pidana atau tindakan diperlakukan.
H. L. Packer mengemukakan bahwa tujuan dari treatment adalah untuk memperbaiki orang yang bersangkutan, sedangkan punishment sebenarnya didasarkan pada tujuan sebagi berikut:
1.      Untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yangtidak dikehendaki atau perbuatan yang salah (the prevention ofcrime or undersired conduct of offending conduct)b).
2.      Untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada pelanggar (the deserved infliction of suffering onevildoers/retribution for perceived wrong doing).
Secara tradisional perbedaan antara pidana dan tindakan menurut Sudarto yakni pidana merupakan pembalasan (pengimbalan) terhadapkesalahan si pembuat, sedangkan tindakan adalah untuk perlindungan masyarakat dan untuk pembinaan atau perawatan si pembuat.
Berkenaan dengan masalah perbedaan antara pidana dan tindakan ini, perlu kiranya diperhatikan pendapat dari Roeslan Saleh, bahwa batasan antara pidana dan tindakan secara teoritis sukar ditentukan, karena pidana sendiripun dalam banyak hal juga mengandung pikiran-pikiran melindungi dan memperbaiki, sebaliknya pada tindakan juga dapat dirasakan berat oleh orang yang dikenal tindakan dan kerap kali pula dirasakan sebagai pidana, karena berhubungan erat sekali dengan pencabutan atau pembatasan kemerdekaan.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas bisa dilihat bahwasanya baik pidana maupun tindakan pada hakikatnya merupakan bentuk sanksi yang diberikan kepada orang yang melanggar hukum oleh penguasa yang berwenang. Perbedaan diatara keduanya hanya terletak pada aspek pendekatannya saja, namun yang jelas dengan semakin bervariasasinya bentuk sanksi, maka dapat dipilih bentuk sanksi yang tepat untuk kejahatan tertentu sebagai upaya penanggulangannya.

JENIS-JENIS SANKSI PIDANA DALAM KUHP

Menurut KUHP, pidana dibedakan dalam pidana pokok dan pidanatambahan, terutama sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP.Dlam hal ini Roeslan Saleh menjelaskan bahwa urutan pidana ini dibuatmenurut beratnya pidana, dan yang terberat disebut lebih depan. Jenis-jenis pidana yang disebutkan dalam Pasal 10 KUHP adalah:

1.        Pidana Pokok
a.       Pidana Mati;
b.      Pidana Penjara;
c.       Pidana Kurungan; dan,
d.      Pidana Denda.
e.       Pidana tutupan

2.        Pidana Tambahan:
a.       Pencabutan beberapa hak tertentu;
b.      Perampasan barang tertentu; dan,
c.       Pengumuman keputusan hakim.
Secara rinci dari jenis-jenis pidana yang terdapat dalam Pasal 10 KitabUndang-undang Pidana tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

1.        Pidana Pokok.
a.         Pidana Mati
Pidana mati di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia diatur dalam Pasal 11, yang menyatakan bahwa pidana mati dijalankan algojo di atas tempat gantungan (schavot) dengan cara mengikat leher si terhukum dengan jerat pada tiang gantungan, lalu dijatuhkan papan dari bawah kakinya. Berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964, Lembaran Negara 1964 Nomor 38 yang ditetapkan menjadi Undang-undangdengan UU Nomor 5 Tahun 1969, pidana mati dijalankan dengan menembak mati terpidana.
b.        Pidana Penjara.
Pidana penjara merupakan pidana utama diantara pidana penghilangan kemerdekaan dan pidana ini dapat dijatuhkan untuk seumur hidup atau sementara waktu. Berbeda dengan jenis lainnya, maka pidana penjara ini adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga permasyarakatan.
Andi Hamzah pernah mengemukakan bahwa pidana penjara disebut juga dengan pidana hilang kemerdekaan, tetapi narapidana kehilangan hak-hak tertentu, seperti hak memilih dandipilih, hakim memangku jabatan publik, dan beberpa hak sipil lain.
Pidana penjara bervariasi dari penjara sementara minimal 1 (satu) hari sampai pidana penjara seumur hidup. Namun pada umumnya pidana penjara maksimum 15 (lima belas) tahun dan dapat dilampaui dengan 20 (dua puluh) tahun.
Roeslan Saleh menjelaskan bahwa banyak pakar memiliki keberatan terhadap penjara seumur hidup ini, keberatan ini disebabakan oleh putusan kemudian terhukum tidak akanmempunyai harapan lagi kembali dalam masyarakat.
Padahal harapan tersebut dipulihkan oleh lembaga grasi dan lembaga remisi. Maka dari itu walaupun pidana penjara sudah menjadi pidana yang sudah umum diterapkan di seluruh dunia namun dalam perkembangan terakhir ini banyak yang mempersoalkan kembali manfaat penggunaan pidana penjara.
c.         Pidana Kurungan.
Pidana kurungan ini sama halnya dengan pidana penjara, namun lebih ringan dibandingkan dengan pidana penjara walaupun kedua pidana ini sama-sama membatasi kemerdekaan bergerak seorang terpidana. Sebagai pembedaan itu dalam ketentuan Pasal 69 KUHP disebutkan, bahwa perbandingan beratnya pidana pokok yang tidak sejenis ditentukan menurut urutan di dalam pasal 10 KUHP.
Dalam hal ini Roeslan Saleh menjelaskan bahwa:” Dari urutan dalam Pasal 10 KUHP ternyata pidana kurungan disebutkan sesudah pidana penjara, sedangkan Pasal 69 (1) KUHP menyebutkan bahwa perbandingan beratnya pidana pokok yangt idak sejenis ditentukan menurut urut-urutan dalam Pasal 10.
Demikian pula jika diperhatikan bahwa pekerjaan yang diwajibkan kepada orang yang dipidana kurungan juga lebih ringan daripada mereka yang menjalani pidana penjara”.
Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya adalah 1 (satu) hari dan selama-lamanya adalah satu tahun. Akan tetapi lamanya pidana tersebut dapat diperberat hingga satu tahun empat bulan, yaitu bila terjadi samenloop, recidive dan berdasarkan Pasal 52 KUHP.
Dengan demikian jangka waktu pidana kurungan lebih pendek dari pidana penjara, sehingga pembuat undang-undang memandang pidana kurungan lebih ringan dari pidana penjara.
Olehkarena itu, pidana kurungan diancamkan pada delik-delik yangd ipandang ringan seperti delik culpa dan pelanggaran.
Menurut penjelasan di dalam Memori Van Toelichting, dimasukkannya pidana kurungan di dalam KUHP terdorong oleh dua macam kebutuhan masing-masing yaitu:
·           Oleh kebutuhan akan perlunya suatu bentuk pidana yang sangat sederhana berupa pembatasan kebebasanbergerak atau suatu vrijheidsstraf yang sifatnya sangatsederhana bagi delik-delik yang sifatnya ringan;
·           Oleh kebutuhan akan perlunya suatu bentuk pidana berupa suatu pembatasan kebebasan bergerak yang sifatnya tidak begitu mengekang bagi delik-delik yang menurut sifatnya ”tidak menunjukkan adanya sesuatu kebobrokan mental atau suatu maksud yang sifatnya jahat pada pelaku, ataupun yang juga sering disebut sebagai suatu custodia honesta belaka.
Berkenaan dengan perbedaan pidana kurungan dan pidana penjara dapat dirinci sebagai berikut:
·           Pidana kurungan hanya diancamkan pada tindak pidana yang lebih ringan daripada tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara.
·           Ancaman maksimum umum pidana penjara 15 tahun, sedang ancaman maksimum umum pidana kurungan 1 tahun.
·           Pelaksanaan pidana denda tidak dapat diganti dengan pelaksanaan pidana penjara, tetapi pelaksanaan pidana denda dapat diganti dengan pelaksanaan pidana kurungan.
·           Dalam melaksanakan pidana penjara dapat dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan diseluruh Indonesia (dapat dipindah-pindahkan),sedang pelaksanaan pidana kurungan LembagaPemasyarakatannya di mana ia berdiam ketika putusan hakimdijalankan.
·           Pekerjaan-pekerjaan narapidana penjara lebih berat dari pada pekerjaan-pekerjaan pada narapidana kurungan.

d.        Pidana Denda
Pidana denda ini banyak diancamkan pada banyak jenis pelanggaran, baik sebagai alternatif dari pidana kurungan atau berdiri sendiri. Adapun keistimewaan yang terdapat pada pidana denda adalah sebagai berikut:
·           Pelaksanaan pidana denda bisa dilakukan atau dibayar olehorang lain.
·           Pelaksanaan pidana denda boleh diganti dengan menjalani pidana kurungan dalam hal terpidana tidak membayarkan denda.
Hal ini tentu saja diberikan kebebasan kepada terpidana untuk memilih. Dalam pidana denda ini tidak terdapat maksimum umum, yang ada hanyalah minimum umum. Sedang maksimum khususnya ditentukan pada masing-masing rumusan tindak pidana yangbersangkutan.

e.         Tindak Pidana Tutupan
Pidana tutupan ini ditambahkan ke dalam Pasal 10 KUHP, melalui UndangUndang Nomor 20 Tahun 1946, yang dalam Pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa:” Dalam mengadili orang yang melakukan tindak pidana,yang diancamkan dengan pidana penjara, karenaterdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakimboleh menjatuhkan pidana tutupan”.

2.        Pidana Tambahan, meliputi :
a.         Pencabutan Hak-Hak Tertentu.
Menurut Pasal 35 ayat 1 KUHP, hak-hak yang dapat dicabut adalah:
·           Hak jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu.
·           Hak menjalankan jabatan dalam Angkatan Bersenjata/Tentara Nasional Indonesia.
·           Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum.
·           Hak menjadi Penasihat Hukum, hak menjadi wali, wali pengawas, wali pengampu.
·           Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian ataupengampuan atas anak sendiri.
·           Hak menjalankan mata pencaharian.

b.        Perampasan Barang Tertentu
Barang yang dapat dirampas melalui putusan hakim ada 2 jeniberdasarkan Pasal 39 KUHP, yaitu:
·           Barang-barang yang berasal atau diperoleh dari suatu kejahatan,misalnya: uang palsu dari kejahatan pemalsuan uang.
·           Barang-barang yang digunakan dalam melakukan kejahatan, misalnya : pisau yang digunakan dalam kejahatan pembunuhan atau penganiayaan.

c.          Pengumuman Putusan Hakim
Pengumuman hakim ini, hakim dibebaskan menentukan perihal cara melaksanakan pengumuman itu, dapat melalui surat-kabar, ditempelkan di papan pengumuman, atau diumumkan melalui media radio atau televisi. Tujuannya adalah untuk mencegah bagi orang-orang tertentu agar tidak melakukan tindak-pidana yang dilakukan orang tersebut.
Menurut Bambang Poernomo, selain putusan-putusan pemidanaan, bebas, dan dilepaskan masih terdapat jenis-jenis lain yaitu:
·           Putusan yang bersifat penetapan untuk tidak menjatuhkan pidana akan tetapi berupa tindakan hakim, misalnya memasukkan ke rumah sakit jiwa, menyerahkan kepada lembaga pendidikan khusus anak nakal dan lain-lainnya.
·           Putusan yang bersifat penetapan berupa tidak berwenang untuk mengadili perkara terdakwa, misalnya terdakwa menjadi kewenangan untuk diadili olehmahkamah militer.
·           Putusan yang bersifat penetapan berupa pernyataan surat-surat tuduhan batal karena tidak mengandung isi yang diharuskan oleh syarat formal undang-undang.
·           Putusan yang bersifat penetapan menolak atau tidak menerima tuntutan yang diajukan oleh penuntut umum.
Misalnya, perkara jelas namun delik aduan tidak disertai surat pengaduan oleh si korban atau keluarganya. Setelah hakim membacakan putusan yang mengandung pemidanaan maka hakim wajib memberitahukan kepada terdakwa akan hak-haknya, hak menolak, atau menerima putusan, atau hak mengajukan banding dan lain-lain.
Di samping jenis sanksi yang berupa pidana, dalam hukum pidana positif dikenal juga jenis sanksi yang berupa tindakan,   misalnya :
·           Penempatan di rumah sakit jiwa bagi orang yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu penyakit (Pasal 44 ayat (2) KUHP);
·           Bagi anak yang belum berumur 16 tahun melakukan tindakpidana, hakim dapat mengenakan tindakan berupa (lihat Pasal45 KUHP):a. Mengembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, atau;
·           Memerintahkan agar anak tersebut diserahkan kepada pemerintah; Dalam hal ini yang ke-2, anak tersebut dimasukkan kedalam rumah pendidikan negara yang penyelenggaraannya diatur dalam Peraturan Pendidikan Paksa(Dwangopvoedingregeling, Stb. 1916 nomor 741).
·           Penempatan di tempat bekerja negara (landswerkinrichting)bagi penganggur yang malas bekerja dan tidak mempunyai mata pencaharian, serta mengganggu ketertiban umum dengan pengemisan, bergelandangan atau perbuatan asosial(Stb. 1936 nomor 160);
Tindakan tata tertib dalam hal tindak pidana ekonomi (pasal 8 Undang-Undang No. 7 Drt. 1955) dapat berupa:
·           penempatan perusahaan si terhukum di bawah pengampuanuntuk selama waktu tertentu (tiga tahun untuk kejahatanTPE dan 2 tahun untuk pelanggaran TPE);
·           pembayaran uang jaminan untuk waktu tertentu;
·           pembayaran sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan yang menurut taksiran yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan;
·           kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas biaya si terhukum sekedar hakim tidak menentukan lain.

POLA LAMANYA PEMIDANAAN
1.        Pola Penetapan Jumlah Ancaman Pidana.
Dalam menetapakan jumlah atau lamanya ancaman pidana, dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief terdapat dua alternatif sistem yaitu:
a.       Sistem pendekatan absolut, yakni untuk setiap orang tindak pidana ditetapkan bobot/kualitasnya sendiri-sendiri, yaitu dengan menetapkan ancaman pidana maksimum (dapat juga ancaman pidana minimum) untuk setiap tindak pidana.  Penetapan maksimum pidana untuk tiap pidana ini dikenal dengan sistem indifiniteatau sistem maksimum. Sistem ini biasa digunakan dalam perumusan KUHP/WvS diberbagai negara termasuk alam praktek legislatif di Indonesia, sehingga dikenal sebagai sistem tradisional;
b.      Sistem atau pendekatan relatif, yaiut untuk tiap-tiap tindak pidanatidak ditetapkan bobot/kualitasnya (maksimum pidananya) sendirisendiritetapi bobotnya direlatifkan; yaitu dengan melakukanpenggolongan tindak pidana dalam beberapa tingkatan dansekaligus menetapkan maksimum pidana untuk tiap kelompoktindak pidana.
2.        Pola Maksimum dan Minimum Pidana
Menurut pola KUHP/WvS maksimum khusus pidana penjara yang paling rendah adalah berkisar 3 (tiga) minggu dan 15 (lima belas) tahun yang dapat mencapai 20 (dua puluh) tahun apabila ada pemberatan, Sedangkan maksimum yang di bawah 1 (satu) tahun sangat bervariasi dengan menggunakan bulan dan minggu.
Konsep KUHP ancaman pidana maksimum khusus yang paling rendah untuk pidana penjara adalah 1 (satu) tahun dan 15 (lima belas) tahun yang dapat juga mencapai 20 (dua puluh) tahun apabila ada pemberatan. Menurut konsep, untuk delik yang dipandang tidak perlu diancam dengan pidana penjara atau bobotnya kurang dari 1 (satu) tahun penjara, digolongkan sebagai tindak pidana yang sangat ringan dan hanya diancam pidana denda.
Pola maksimum khusus paling rendah 1 (satu) tahun menurut konsep dikecualikan untuk delik-delik yang selama ini dikenal sebagai kejahatan ringan.
Menurut pola KUHP, maksimum penjara untuk delik-delik kejahatan ringan ini adalah 3 (tiga) bulan, sedang menurut Konsep KUHP adalah 6 (enam) bulan yang dialternatifkan dengan pidana denda. Pola pidana denda dalam KUHP/WvS tidak mengenal”minimum khusus”, pola pidana dalam KUHP menggunakan”minimum umum” dan ”maksimum khusus”.
Maksimum khusus pidana denda paling tinggi untuk kejahatan adalah Rp 150.000,- danuntuk pelanggaran paling banyak Rp. 75.000,- jadi maksimum khusus pidana denda yang paling tinggi untuk kejahatan adalah dua kali lipat yang diancamkan untuk pelanggaran.
Pola pidana denda dalam Konsep KUHP tahun 2005 mengenal minimum umum, minimum khusus dan maksimum khusus. Pasal 77 ayat (2) menentukan jika tidak ditentukan minimum khusus maka pidana denda paling sedikit Rp. 15.000,00,- (lima belas ribu rupiah). Pasal 77 ayat (3) menentukan bahwa pidana denda paling banyak ditetapkan berdasakan kategori, yaitu :
a.         kategori I Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah);
b.         kategori II Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah);
c.         kategori III Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah);
d.        kategori IV Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah);
e.         kategori V Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah); dan
f.          kategori VI Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Dari pola di atas, baik menurut KUHP maupun Konsep KUHP tidak ada maksimum umum untuk pidana denda. Akibat tidak adanya ketentuan maksimum umum pidana denda KUHP tersebut, akibatnya timbul variasi maksimum pidana denda dalam perundang-undangan diluar KUHP.

3.        Pola Pemberatan dan Peringanan Ancaman Pidana
Menurut Konsep KUHP pemberatan dan peringanan pidana tidak berbeda dengan KUHP yaitu ditambah atau dikurangi sepertiga. Namun menurut Konsep KUHP, pemberatan dan/atau peringanan sepertiga itu tidak hanya terhadap ancaman maksimum tetapi juga terhadap ancaman minimumnya. Dalam hal tertentu, pola peringanan pidana menurut Konsep KUHP dapat juga dikurangi setengahnya dari pembatasan pidana bagi anak yang berusia 12 (dua belas) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun.

4.        Pola Ancaman Pidana Untuk Delik Dolus dan Delik Culpa.
Pola umum ancaman untuk delik dolus dan culpa menurut KUHP sebagai-berikut :
a.         Untuk perbuatan dengan culpa, diancam dengan pidana kurunganmaksimum 1-3 bulan atau denda;
b.         untuk yang menimbulkan akibat ancaman maksimum pidanauntuk delik dolus bervariasi, yaitu delik dolus yang diancampenjara 7-20 tahun. Sedang untuk delik culpaada yangdiancam penjara 4 bulan sampai dengan 1 tahun 4 bulan danada juga yang diancam kurungan 3 bulan s.d 1 tahun ataudiancam dengan denda akibat yang ditimbulkan.
Pola ancaman pidana untuk delik dolus dan delik culpa menurut Konsep KUHP pada mulanya memakai pola relatif untuk keseragaman. Untuk pola relatif yang dipakai yaitu perbuatan dengan culpa, maksimum 1/6 (seper enam) dari maksimum delik dolusnya,untuk yang menimbulkan akibat maksimumnya 1/4 (seper empat) darimaksimum delik dolusnya. Tapi kemudian disepakti patokan atau pola absolut sebagai berikut :
a.         Untuk perbuatannya delik culpa 1 tahun dan untuk dolus y tahun;
b.         Untuk yang menimbulkan akibat bahaya umum culpanya 2 tahun,sedang untuk dolusnya (+ 2) tahun;
c.         Untuk yang mengakibatkan bahaya kesehatan berat/nyawaculpanya 3 tahun sedangkan dolusnya (y + 3) tahun.
d.        Untuk yang berakibat mati culpanya 5 tahun sedang dolusnya(y+5) tahun.

5.        Pola Perumusan Pidana
Jenis pidana yang pada umumnya diancamkan dalam perumusan delik yang disangkakan. Menurut pola KUHP ialah pidana pokok, dengan menggunakan 9 (sembilan) bentuk perumusan, yaitu:
a.         diancam pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara selama waktu tertentu;
b.         diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara tertentu;
c.         diancam dengan pidana penjara (tertentu);
d.        diancam dengan pidana penjara atau kurungan;
e.         diancam dengan pidana penjara atau kurungan atau denda;diancam dengan pidana penjara atau denda;
f.          diancam pidana kurungan;
g.         diancam dengan pidana kurungan atau denda;
h.         diancam dengan pidana denda.
Dalam perumusan pidana pokok ini tersebut terlihat jelas bahwa KUHP hanya menganut 2 sistem perumusan delik yakni perumusan tunggal (hanya diancam satu pidana pokok) dan perumusan alternatif.
Pidana pokok yang dirumuskan secara tunggal, hanya pidana penjara, kurungan, atau denda. Tidak ada pidana mati atau pidana penjara seumur hidup yang diancam secara tunggal.
Sistem perumusan alternatif dimulai dari delik yang paling berat sampai yang ringan, sedang untuk pidana tambahan bersifat fakultatif,  namun pada dasarnya untuk dapat dijatuhkan harus tercantum dalam perumusan delik.
Dalam konsep ditentukan jenis pidana yang dicantumkan dalam perumusan delik hanya pidana mati, penjara dan denda. Pidana pokok berupa pidana tutupan, pidana pengawasan dan pidana kerja sosial tidak dicantumkan.
Bentuk perumusan KUHP tidak berbeda dengan KUHP/WvS, hanya dengan catatan bahwa di dalam Konsep KUHP, terdapat beberapa hal penting, antara lain:
a.         Pidana penjara dan denda, ada yang dirumuskan ancaman minimalnya;
b.         Pidana denda dirumuskan dengan sistem kategori.

Dengan kata lain Pedoman untuk menerapakan pidana yang dirumuskan secara tunggal dan secara alternatif yang memberi kemungkinan perumusan tunggal diterapkan secara alternatif dan perumusan secara alternatif diterapkan secara kumulatif.