Minggu, 11 Mei 2014

HUKUM INTERNASIONAL

KEKERABATAN MASYARAKAT ADAT ATOEN METO PAH TIMOR KAB. TTU-ENCLAVE OECUSSE (RI-RDTL) YANG MENGESAMPINGKAN BATAS TERITORIAL NEGARA

OLEH
YOSEP COPERTINO APAUT, SH


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Batas negara adalah hal yang sangat penting  bagi suatu negara, hal ini terkait dengan eksistensi negara dalam melaksanakan kedaulatannya sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah kekuasaannya. Pada bagian yang lain batas negara berlaku sebagai pemisah antara negara yang satu dengan negara yang lain, dilain pihak batas negara identik dengan pemisahan identitas kenegaraan antar masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, yang hidup di kawasan tapal batas antara negara yang satu dengan negaa yang lain.
Tentu ketika berbicara tentang batas negara berarti merujuk pada prinsip hukum internasional yang mana pada intinya masyarakat dari masing-masing negara yang berbeda di harapkan untuk tidak memasuki kawasan dari negara lain tanpa menggunakan dokumentasi yang menunjang perjalanan yang melintasi tapal batas antara negara dimaksud.
Keadaan yang Rill terjadi di hampir semua tempat yang berbatasan darat dengan negara lain adalah bahwa terjadi pelanggaran atas hukum internasional terkait dengan perjalanan yang melintasi tapal batas negara lain, semisal masyarakat yang hidup di kawasan RI-Malaysia, RI-Papua Newgini, RI-RDTL dan masi banyak contoh-contoh lain.
Hal ini tidak berarti menggambarkan ketidak patuhan masyarakat pada negaranya, akan tetapi lebih kepada ikatan emosional dan budaya yang sama yang hidup dan melekat pada masyarakat di sekitar tapal batas antar negara. Ikatan itu juga di rasakan oleh masyarakat di kawasan perbatasan RI-RDTL (Kab. Timor Tengah Utara-Enclave Oecuse).
Timor Timur yang adalah provinsi ke-27 Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak 10 tahun lalu resmi pisah dan menjadi negara sendiri bernama Timor Leste. Pemisahan antara lain ditandai dengan bentangan garis tapal batas sepanjang 280 km. Namun, keberadaan tapal batas tidak berarti melenyapkan hubungan keluarga. Kekerabatan tetap terjaga karena mereka umumnya berinduk dari rumpun keluarga yang sama. Semisal masyaraka di kawasan TTU-Oecuse merupakan masyarakat dawan yang dengan sebutan yang sama disebut sebagai ATOEN METO PAH TIMOR.
Kesamaan bahasa, budaya dan untuk kesekian kalinya msyarakat antara dua negara ini selalu melakukan upacara adat masal yang memang menurut keharusan adat melibatkan mereka semua tanpa memperhitungkan persoalan negara, hal ini dikarenakan suku-suku yang hidup dan menetap di kawasan itu lebih mengedepankan status adat dan pendekatan budaya ketimbang status negara atau identitas kebangsaan seseorang.
Pada prinsipnya perilaku melewati tapal batas suatu negara oleh mayarakat dari negara lain adalah pelanggaran yang sangat mendasar. Kendati demikian negara sebagai pemilik masyarakat sering mengabaikan persoalan ini yang mana berpotensi untuk menimbulkan persoalan baru semisal penangkapan yang di lakukan oleh anggota TNI terhadap warga Oecuse yang masuk ke kawasan RI di kab TTU atau sebaliknya penangkapan oleh Policia Timor Leste terhadap Warga RI yang masuk ke kawasan RDTL (Oecuse) tanpa menggunakan perijinan yang sah.

B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan gambaran singkat pada latar belakang penulisan ini maka yang menjadi pokok permasalah yang akan di bahas adalah:
1.      Bagaimana Negara melihat fenomena Budaya yang mengesampingkan batas negara.
2.      Faktor yang menimbulkan pelanggaran atas batas negara.
3.      Bagaimana cara menyelesaikan persoalan ini untuk mempertahankan eksistensi negara sebagai negara yang berdaulat penuh atas warga negaranya.


                                                                                                


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    BATAS NEGARA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
Untuk mempertahankan kedaulatan (souvereignity) dan hak-hak berdaulat (souvereign Rights) antar negara serta menyelesaikan semua persoalan yang berkaitan dengan hubungan international, negara perlu menetapkan perbatasan wilayah baik dimensi perbatasan darat maupun perbatasan laut dan udara. Penetapan perbatasan wilayah (Border Zone) tersebut dapat dilakukan sesuai ketentuan hukum international agar dapat memberikan kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan keadilan bagi masyarakat yang mendiami wilayah perbatasan dimaksud.
Menurut para ahli hukum international seperti Green NA Maryan, Shaw Malcolm,  JG Starke dan Burhan Tsani, perbatasan wilayah adalah batas terluar wilayah suatu negara berupa suatu garis imajiner yang memisahkan wilayah suatu negara dengan wilayah negara lain di darat, laut maupun udara yang dapat dikualifikasi dalam terminologi "Border Zone" (zona perbatasan) maupun Customs Free Zone (zona bebas kepabeanan). Kawasan perbatasan dalam dua terminologi di atas dapat diatur secara limitatif dalam berbagai perjanjian international yang bersifat "Treaty Contract" untuk menyelesaikan permasalahan di perbatasan secara insidentil maupun yang bersifat "law making treaty" untuk pengaturan masalah perbatasan secara permanen berkelanjutan.
Perbatasan wilayah harus dikelola secara baik dan berkelanjutan karena selain berkaitan dengan penyelesaian berbagai sengketa international (international disputes) juga karena daerah perbatasan memiliki fungsi yang sangat strategis seperti fungsi militer, ekonomi perdagangan, kedaulatan negara dan fungsi-fungsi identitas nasional menuju kepentingan domestik di bidang ipoleksosbudhankam. Oleh karena itu menurut para ahli hukum international dan pengamat perbatasan  (Ganewati Wuryandari)  "Keamanan di Perbatasan RI - RDTL" dalam melaksanakan fungsi-fungsi perbatasan perlu diperhatikan aspek-aspek kultur masyarakat, pengaruh politik masyarakat dua negara, kebijakan pemerintah negara dan kekuatan pasar dalam perdagangan.
Pengelolaan perbatasan wilayah oleh badan-badan khusus yang ditentukan negara secara internal dimaksudkan agar administrasi pemerintahan dapat dilakukan dengan baik dan penerapan hukum nasional secara berkeadilan. Secara eksternal penetapan dan pengelolaan perbatasan antar negara dimaksudkan agar dapat menjamin penerapan hukum international secara holistik untuk mewujudkan keseimbangan hak dan kewajiban suatu negara dalam konteks hubungan international yang harmonis, damai dan seimbang.
Untuk mengelola keamanan perbatasan secara baik perlu dibedakan regim pengelola perbatasan sehingga pola pendekatan dan langkah-langkah yang dilakukan masing-masing negara dapat menjamin kedaulatan dan hak berdaulat masing-masing. Ada dua konsep regim pengelolaan perbatasan antar negara yang sedang dikembangkan negara-negara yang berdampingan yaitu "Hard Border Regim" (regim perbatasan keras) sebagaimana diterapkan AS terhadap Mexico dan Cuba, yang mengutamakan pendekatan militer di perbatasan dan "Soft Border Regim" (regim perbatasan lunak) sebagaimana diterapkan AS terhadap Canada, yang merupakan pola pendekatan yang manusiawi dan "social approuch". Pilihan untuk menggunakan salah satu regim atau mengembangkan dua-duanya dalam pengelolaan keamanan perbatasan antar negara sangat ditentukan oleh filosofi yang dianut masing-masing negara dalam mengelola kedaulatan negaranya.
Kendati demikian dalam prakteknya sebagaimana diharapkan telah diterapkan Pemerintah RI dengan 10 negara tetangga adalah hubungan-hubungan "voisinage" (Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan International) yang memiliki konteks aturan dan praktek yang khusus mengatur tingkah laku negara yang saling berbatasan. Dalam konteks pengelolaan pebatasan wilayah antar negara dapat diuraikan beberapa perspektif yang berimplikasi pada penerapan hukum international secara holistik dan konstruktif.
1.      Kehadiran badan pengelola perbatasan di tingkat pusat dan daerah di Indonesia diharapkan dapat memfokuskan pada aktifitas pemetaan dan identifikasi titik-titik perbatasan negara (darat, laut dan udara). Terobosan ini dapat mewujudkan penetapan batas-batas antar negara secara limitatif dan holistik agar dapat diterapkan ketentuan hukum international secara baik di wilayah perbatasan. Tidak sempurnanya pelaksanaan kegiatan di atas dapat menghalangi penerapan hukum international kendati dapat ditegakkan hukum-hukum transisi (Transitional Justice) berupa "ius constituendum" yang lahir dari kebiasaan-kebiasaan international yang disepakati dan dijalankan dua negara.
2.      badan pengelola perbatasan di Indonesia dan daerah dapat berperan dalam membantu menyelesaikan berbagai sengketa international (International Disputes) demi terciptanya kondisi keamanan perbatasan yang harmonis dan terkendali. Kendati hukum international memberi ruang untuk penyelesaian sengketa international melalui jalur kekerasan (use of force) seperti perang dan blokade damai, diharapkan tetap diupayakan jalan penyelesaian sengketa melalui perdamaian yang memfokuskan pada pilihan-pilihan seperti arbitrase, judicial, negosiasi- mediasi dan rekonsiliasi.
3.      Kehadiran Badan Pengelola Perbatasan juga dapat mensinergikan kegiatan-kegiatan produktif seperti merintis kearah pembentukan perjanjian-perjanjian international (treaty) untuk membina hubungan international yang harmonis, berdaulat dan "mutual benefit" dalam berbagai aspek. Dalam tataran ini, Badan Pengelola Perbatasan dapat melakukan diplomasi untuk melahirkan kesepakatan-kesepakatan international berdasarkan asas-asas hukum internasional seperti "pacta sunt servanda". Pelaksanaan dimensi ini alangkah baiknya didukung oleh pengetahuan dan pengalaman yang memadai dalam hal meneruskan dan menganalisis berbagai dasar hukum. Pengaturan dan penegakan hukum di zona perbatasan baik untuk kepentingan perbatasan international berdasarkan hukum positif negara masing-masing maupun untuk kepentingan perbatasan ksternal berdasarkan ketentuan hukum international berupa "ius constitutum" maupun penemuan atau pembentukan hukum international dari kebiasaan international dua negara (konvensi).
4.      Badan perbatasan juga dapat menjadi "Leading Institution" dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pembangunan bagi masyarakat baik untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat maupun untuk pembentukan karakter kehidupan di perbatasan yang tidak saling mencurigai dan lebih kearah terbentuknya kondisi "mutual understanding" di bidang sosial budaya maupun pertahanan keamanan wilayah. Para ahli hukum international seperti "Green NA Maryan" menyatakan di daerah perbatasan, sebaiknya tidak ada kewajiban menghormati batas-batas suatu negara dan tidak ada ancaman antar negara. Untuk mengatur semua itu dapatlah dibentuk Komisi Bipatie antara dua negara yang berbatasan.
Jika keempat perspektif di atas dapat dijadikan "term of reference" para pengelola perbatasan antar negara di Indonesia, maka fungsi dan peran institusi dapat diaplikasi secara maksimal untuk mengeliminir pemikiran bahwa terbentuknya badan atau institusi baru hanya untuk kepentingan elit semata dan atau untuk kepentingan pelaksanaan kegiatan yang "project oriented".

B.     TEORI KEWILAYAHAN NEGARA
Bererapa Pengertian Wilayah Negara menurut para Ahli.
1.      I Wayan Parthiana, wilayah merupakan suatu ruang dimana orang yang menjadi warga negara atau penduduk negara bersangkutan hidup serta menjalankan segala aktivitasnya.
2.      Rebecca M.Wallace, wilayah adalah merupakan atribut yang nyata dari kenegaraan dan dalam wilayah geografis tertentu yang ditempatnya, suatu negara menikmati dan melaksanakan kedaulatan.
3.      Dalam Ensiklopedia Umum, yang dimaksud dengan wilayah negara adalah bagian muka bumi daerah tempat tinggal, tempat hidup dan sumber hidup warga negara dari negara tersebut. Wilayah negara terdiri tanah, air (sungai dan laut) dan udara. Pada dasarnya semua sungai dan danau dibagian wilayah tanahnya termasuk wilayah negara.
4.      Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional pasal 1 ayat (5) disebutkan bahwa wilayah nasional adalah seluruh wilayah Negara Kesatuan Repoblik Indonesia yang meliputi daratan, lautan dan udara.
5.      Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara mendefinisikan wilayah negara sebagai salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa wilayah negara adalah tempat tinggal, tempat hidup dan sumber kehidupan warga negara yang meliputi daratan, lautan dan ruang udara, dimana suatu negara memiliki kedaulatan penuh atas wilayah negaranya. Bentuk wilayah negara Indonesia berdasarkan teorinya termasuk divided or separated, yaitu negara yang terpisah oleh wilayah laut dan atau sepotong oleh negara lain (negara yang wilayahnya dibagi-bagi atau dipisah-pisahkan/daratan-daratannya dipisah- pisahkan oleh perairan laut).
Ruang Lingkup Wilayah Negara
Seperti disimpulkan Yasidi Hambali, jelaslah prinsip yang mengatakan bahwa yang dinamakan wilayah (teritory) dari suatu negara itu terdiri dari tiga dimensi, yaitu wilayah daratan (land teritory), wilayah perairan (water teritory) dan wilayah udara (air teritory).
I Wayan Parthiana menyatakan bagian-bagian wilayah negara itu meliputi:
1.      Wilayah daratan termasuk tanah didalamnya
Wilayah daratan adalah bagian dari daratan yang merupakan tempat pemukiman atau kediaman dari warga negara atau penduduk negara yang bersangkutan. Termasuk pula dalam ruang lingkup wilayah daratan ini tidak saja permukaan tanah daratan, tetapi juga tanah di bawah daratan tersebut.
2.      Wilayah perairan
Wilayah perairan atau disebut juga perairan teritorial adalah bagian perairan yang merupakan wilayah suatu negara.7 Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara jo. Pasal 1 ayat 4 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia disebutkan bahwa: “Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya”
Dalam salah satu makalahnya, Hasjim Djalal meyebutkan yang termasuk ke dalam laut yang merupakan kewilayahan dan yang berada di bawah kedaulatan Indonesia adalah :
a.      Perairan Pedalaman,
b.      Perairan Kepulauan (Nusantara),
c.       Laut Teritorial atau Laut Wilayah di luar Perairan Nusantara tersebut.
3.      Wilayah dasar laut dan tanah dibawahnya yang terletak dibawah wilayah perairan.
 Wilayah negara meliputi juga dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di bawah wilayah perairan, berarti negara memiliki kedaulatan terhadap dasar laut dan tanah di bawahnya, segala sumber daya alam yang terkandung di dalamnya adalah menjadi hak dan kedaulatan sepenuhnya dari negara yang bersangkutan.

4.      Wilayah ruang udara.
Ruang udara yang merupakan bagian wilayah negara adalah ruang udara yang terletak di atas permukaan wilayah daratan dan di atas permukaan wilayah perairan.
Perbatasan Wilayah Negara
Batas merupakan pemisah unit regional geografi (fisik, sosial, budaya) yang dikuasai oleh suatu negara. Secara politis, batas negara adalah garis kedaulatan yang terdiri dari daratan, lautan dan termasuk potensi yang berada di perut bumi. Dalam bahasa Inggris perbatasan sering disebut dengan kata border, boundary atau frontier.
Perbatasan merupakan salah satu manifestasi penting dalam suatu negara dan bukan hanya suatu garis imajiner di atas permukaan bumi, melainkan suatu garis yang memisahkan satu daerah dengan daerah lainnya. Sebagaimana dikatakan oleh Jones, “Perbatasan bukan semata-mata sebuah garis tetapi sebuah garis dalam daerah perbatasan, tetapi daerah perbatasan dapat atau tidak merupakan suatu penghalang. Penyelidik dapat sangat tertarik oleh garis itu. Bagi seorang strategi, ada tiadanya penghalang itu penting. Bagi penata usaha daerah perbatasan itu merupakan masalah, dengan garis perbatasan sebagai batas kekuasaannya”.
Martin I. Glassner memberikan pengertian perbatasan baik boundary maupun frontier. Boundary tampak pada peta sebagai garis-garis tipis yang menandai batas kedaulatan suatu negara. Sebenarnya boundary bukan sebuah garis, melainkan sebuah bidang tegak lurus yang memotong melalui udara, tanah dan lapisan bawah tanah dari dua negara berdekatan. Bidang ini tampak pada permukaan bumi karena memotong permukaan dan ditandai pada tempat-tempat yang dilewati. Pemotongan lapisan bawah tanah menandai batas operasi penambangan lapisan biji dari dua negara berdekatan, sedangkan lapisan udara menandai batas yang menjaga dengan hati-hati ruang udara mereka. Sedangkan frontier digambarkan sebagai daerah geografi politik dan kedalamnya perluasan negara dapat dilakukan. Frontier merupakan sebuah daerah, walau tidak selalu daerah yang memisahkan dua negara atau lebih.
A.E. Moodie menyatakan bahwa boundary adalah garis-garis yang mendemarkasikan batas terluar dari suatu negara. Dinamakan boundary karena berfungsi mengikat (bound) suatu unit politik. Sedangkan frontier mewujudkan jalur-jalur (zona) dengan lebar beraneka yang memisahkan dua wilayah berbeda negara. Pengaturan perbatasan harus ada supaya tidak timbul kekalutan, karena perbatasan merupakan tempat berakhirnya fungsi kedaulatan suatu negara dan berlakunya kedaulatan negara lain. Dinamakan frontier karena terletak di depan (front) suatu negara.
Dalam terminologi tentang masalah perbatasan ada suatu perbedaan yang ditetapkan secara tegas antara perbatasan alamiah dan buatan. Perbatasan alamiah terdiri atas gunung-gunung, sungai-sungai, pesisir pantai, hutan-hutan, danau-danau dan gurun, dimana hal-hal tersebut membagi wilayah dua negara atau lebih. Tetapi yang dipakai dalam pengertian politis, istilah Perbatasan Alamiah memiliki suatu arti yang jauh lebih penting. Perbatasan alamiah menunjukkan garis yang ditentukan oleh alam, sampai garis mana suatu negara dianggap diperluas atau dibatasi dari, atau sebagai perlindungan terhadap negara lain. Perbatasan-perbatasan buatan terdiri dari baik tanda-tanda yang ditujukan untuk mengindikasi garis perbatasan imajiner, atau paralel dengan garis bujur atau garis lintang.
Batas negara sebenarnya ada dua bentuk, yaitu batas garis (linier boundary) dan batas zonal (zonal boundary). Batas garis dilihat dari kepentingan administrative negara merupakan batas yang paling baik karena eksak, tegas dan pasti tetapi biasanya sering menimbulkan kesukaran dalam penetapan tanda batas di lapangan dan pengaturan lalu lintas serta penjagaannya. Contoh batas garis misalnya antara Korea Utara dan Korea Selatan, batas antara Israel dan negara-negara tetangganya. Sedangkan batas zonal merupakan batas yang paling umum dan banyak diterapkan di dunia. Secara sosial ekonomi menguntungkan bagi penduduk yang ada di perbatasan. Sepanjang tidak terjadi konflik antara negara-negara yang berbatasan, batas zonal akan dipertahankan.
Batas zonal pada umumnya merupakan satu jalur daerah tidak bertuan yang memanjang sepanjang perbatasan. Contohnya batas antara Tibet dan Bhuton yang berupa hutan bambu dan hutan pinus atau perbatasan Spanyol dan Perancis yang berupa jalur daerah di Pegunungan Pyrenea.
Sebagai boundary, pagar pembatas wilayah negara memiliki makna bahwa wilayah suatu negara dapat ditentukan luasnya dengan cara menghitungnya dari batas terluar negara tersebut. Adapun sebagai frontier, pagar pembatas tersebut memiliki makna bahwa penduduk setempat negara tertentu tidak boleh keluar tanpa izin dan sebaliknya penduduk dari negara tetangganya tidak boleh sembarangan juga memasuki wilayah negara tersebut.
Dari uraian diatas, walaupun terdapat perbedaan pendapat mengenai definisi dari boundary dan frontier, tetapi dapat diambil inti sarinya. Boundary menunjukkan garis yang menandai batas terluar dari sebuah negara. Garis ini berfungsi sebagai batas negara. Sedangkan frontier atau border menunjukkan daerah yang membatasi wilayah kedaulatan suatu negara yang berfungsi sebagai pemisah kedua negara tersebut. Perbatasan dari suatu negara tersebut berbentuk perbatasan alami dan perbatasan buatan.
Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara mendefinisikan batas wilayah negara adalah garis batas yang merupakan pemisah kedaulatan suatu negara yang didasarkan atas hukum internasional, sedangkan dalam angka 6-nya, kawasan perbatasan dimaknai sebagai bagian dari wilayah negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal batas wilayah negara di darat, kawasan perbatasan berada di kecamatan.
Dalam kaitan dengan kajian terhadap batas wilayah negara, tidak dapat lepas dari aspek pengaruh aktivitas penyelenggaraan pemerintahan negara terhadap kehidupan masyarakat di sepanjang kawasan perbatasan. Martinez (1994) mengklasifikasikan kawasan perbatasan mejadi 4 (empat) jenis, yaitu:
a.      Alienated Borderland
Di mana lintas batas menjadi tempat terjadinya pertukaran informasi yang kurang eksis terhadap pengaruh dari wilayah yang berbatasan, kerentanan ini antara lain disebabkan karena perbedaan tingkat kesejahteraan antara penduduk yang tinggal di wilayah yang saling berbatasan, politik, nasionalisme, perbedaan budaya, maupun persaingan etnis.
b.      Coexistent Borderland
Di mana konflik yang terjadi di kawasan lintas batas, akan tetapi tetap meninggalkan pertanyaan yang belum terpecahkan terutama dalam kaitannya dengan kepemilikan sumberdaya yang strategis di kawasan perbatasan.
c.       Interdependent Borderland
Interdependent Borderland merupakan jenis kawasan perbatasan yang ketiga. Wilayah di kedua sisi yang saling berbatasan merupakan gambaran stabilitas hubungan internasional antara dua negara atau lebih yang saling berbatasan. Masyarakat di kedua sepanjang kawasan perbatasan dan pemerintah, terjalin hubungan yang saling menguntungkan secara ekonomi, seperti dalam penyediaan fasilitas produksi dan penyediaan tenaga kerja.
d.      Integrated Borderland
Di mana kehidupan perekonomian di kawasan perbatasan menyatu satu dengan yang lain, selain itu terjalin hubungan yang sangat erat dalam berbagai aspek kehidupan di antara masyarakat maupun pemerintah negara yang berbatasan. Hal ini tampak di kawasan perbatasan antara Amerika Serikat dan Kanada.
Kedaulatan dan Tanggung Jawab Negara Atas Wilayah
Kedaulatan yang dimiliki oleh negara terkandung hal-hal yang berhubungan dengan kedaulatan dan tanggung jawab negara terhadap wilayahnya. Wilayah negara merupakan tempat di mana negara menyelenggarakan yurisdiksinya atas masyarakat, segala kebendaan serta segala kegiatan yang terjadi di dalam wilayah. Kedaulatan negara seperti ini disebut juga dengan kedaulatan teritorial. Kedaulatan teritorial akan berakhir pada batas-batas terluar wilayah territorial negara bersangkutan, dan karena yurisdiksi territorial suatu negara akan meliputi perairan territorial, maka pada hakekatnya batas terluar wilayah negara adalah batas terluar laut teritorial.
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar dalam bukunya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kedaulatan atas wilayah adalah kewenangan yang dimiliki suatu negara untuk melaksanakan kewenangannya sebatas dalam wilayah- wilayah yang telah menjadi bagian dari kekuasaannya.
Sugeng Istanto dalam memaknai kedaulatan teritorial menyebutkan salah satu kualifikasi yang harus dipenuhi negara sebagai subjek hukum internasional adalah wilayah tertentu. Negara, sebagai organisasi kekuasaan, menguasai wilayah tersebut. Di wilayah itu negara memegang kekuasaan kenegaraan yang tertinggi, yakni hak melakukan kedaulatan wilayah. Dalam wilayah itu negara tersebut melaksanakan fungsi kenegaraan dengan mengecualikan negara lain.
Sehubungan dengan pemahaman kedaulatan teritorial dengan batas-batas negaranya, beberapa dekade belakangan ini terdapat istilah ”borderless world” atau “dunia tanpa batas”. Istilah ini muncul sebagai akibat dari tumbuh dan berkembangnya faham globalisasi, terutama globalisasi di bidang ekonomi yang dimotori oleh transnational/multinational corporations (TNCs/MNCs). Intinya faham globalisasi ini menekankan bahwa dunia ini yang berisi negara-negara dengan batas wilayahnya menjadi “tanpa batas”.


BAB III
PEMBAHASAN

A.    FENOMENA BUDAYA ATOEN METO PAH TIMOR YANG MENGESAMPINGKAN BATAS NEGARA ANTARA RI-RDTL (KAB. TTU-ENCLAVE OECUSSE)

Paham yang hidup dan melekat pada hampir keseluruhan orang Suku Dawan/Atoen Meto pah TTU dan Enclave Oecuse adalah bahwa “Negara boleh saja berbeda tapi bukan berarti dengan adanya batas negara dimaksud mampu menahan budaya saling berbagi dalam prinsip adat orang Suku Dawan/Atoen Meto pada dua Negara berbeda ini”. Keseragaman paham ini memang tidak saja diucapkan akan tetapi selalu dinyatakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai warga masyarakat Suku Dawan/ Atoen Meto Pah TTU dan Enclave Oecuse.
Aturan yang selalu diberlakukan oleh kedua bersaudara kandung berlainan negara ini adalah bahwa keadaan tidak akan perna membatasi akses mereka untuk tidak saling berkunjung, saling berbagi rasa dalam suka maupun duka. Kendati demikian sebagai warga negara yang taat pada aturan dari masing-masing negara, tentu terkait dengan prosedur yang jelas dan sah untuk melewati tapal batas dari negara lain adalah suatu keharusan yang secara otomatis harus dipahami dan dijalankan oleh setiap warga Kab. TTU dan warga Enclave Oecuse yang hidup di kawasan batas antara kedua negara itu.
Bahwa dalam penerapannya terkadang untuk melakukan perijinan merupakan kendala yang sangat menyuliitkan bagi masyarakat yang pada akhirnya akan memilih jalan pintas untuk menyeberang ke negara tetangga tanpa dokumen yang resmi dari negara asal. Istilah yang sangat familiar yang selalu digunakam oleh masyarakat untuk menyeberang ke negara lain tanpa menggunakan izin tertulis berupa dokumen dari badan imigrasi nasional Indonesia oleh masyarakat Kab. TTU di kenal dengan istila menggunakan JALAN TIKUS atau jalan alternatis diluar dari jangkauan penjagaan dari petugas penjaga perbatasan Negara (TNI).
Atauran atau regulasi hukum Internasional yang pada prinsipnya mengharuskan setiap warga yang hendak melakukan perjalanan yang melintasi tapal batas dari negara lain ataupun memasuki daera teritorial dari negara lain haruslah suda dilengkapi dengan kelengkapan berkas berupa dokumentasi yang resmi dari badan atau lembaga negara yang berkewenangan untuk mengaturnya justru hampir tidak dilakukan oleh sebagian besar masyarakat di kawasan perbatasan antara RI-RDTL (Kab.TTU- Onclave Oecuse). Tidak bisa dipungkiri bahwa ada masyarakat yang sangat menghormati Reegulasi ini, terkait dengan perijinan dimaksud. Namun hampir bisa dipastikan bahwa kenyataan yang terjadi di kawasan tapal batal apa bisa ada warga yang hendak melakukan perijinan terkait dengan hal bepergian melintasi batas negara maka hal itu berupa urusan-urusan yang sifatnya tidak penting atau dalam bahasa adat atoen Meto disebut sebagai kegiatan Man’ekon, yang semata dilakukan hanya untuk saling berkunjung biasa.
Sementara untuk melakukan kegiatan adat atau kegiatan Ekonomi justru Jalan Tikus yang akan ditempuh. Alasan mengapan jalan tikus yang akan ditempu adalah bahwa masyarakat yang hendak melaksanakan upacara adat akan berdatangan dengan jumlah yang relatif banyak dan kedatangannya pun secarah berkala. Oleh karena alasan banyaknya antusias masyarakat adat tersebut maka sudah bisa dipastikan apabila menggunakan jalur resmi yang disediakan oleh negara maka akan berimbas pula pada faktor keuangan yang banyak, sementara masyarakat di kawasan perbatasan tingkat ekonominya sangat sederhana.
Alasan lain adalah untuk mempercepat jarak, dalam artian bahwa apabila menggunakan jalan negara maka akan berputar-putar ketimbang menggunakan jalur Jalan Tikus yang relatif cepat dan efektif menurut pandangan masyarakat adat dari kedua negara ini.
Adapun hal lain yang menarik yang dipraktekan oleh warga dua negara adalah bahwa  Hubungan emosional yang dibangun melalui ikatan perkawinan antara negara Timor Leste dengan Indonesia menyebabkan sebagian warga yang bermukim di daerah perbatasan kedua negara hidup secara damai dan menyatu satu sama lain. Seperti di perbatasan Negara Timor di Distrik Oecusse dengan Indonesia wilayah Kabupaten TTU ini, karena jaraknya hanya 45 kilometer atau dua jam perjalanan dengan kendaraan. Sebelum berpisah dengan Indonesia melalui referendum tahun 1999, warga perbatasan itu sudah hidup menyatu. Warga yang hidup rukun itu berada di desa-desa seperti Napan, Oelbinose, dan Aplal di Kab. TTU-NTT, dan desa Pasabe, Nitib di Enclave Oecusse Timor Leste.
Dengan kondisi itu, tak sedikit warga Timor Leste di distrik Oecusse yang berada di bagian selatan pulau Timor berkebun atau bertani ladang di sekitar wilayah Kab. TTU-NTT yang merupakan daerah teritorial dari Negara Kesatuan Repoblik Indonesia dan begitupun Sebaliknya.

B.     FAKTOR YANG MENIMBULKAN PELANGGARAN ATAS BATAS NEGARA.
Adapun faktor yang menimbulkan pelanggaran atas batas negara teritorial dari kedua negara yaitu antara lain
1.      Faktor Budaya
Perbatasan RI-Timor Leste (TL) memang cukup pelik. Itu karena keduanya dulu dipisahkan oleh Belanda dan Portugal. Kemudian Timtim berintegrasi ke Indonesia, dan karena orang Timor itu kemudian bersaudara dalam satu negara, maka disepakati untuk membuat perbatasan baru, yaitu perbatasan provinsi. Sekarang orang Timtim kembali terpisahkan dan sudah menjadi negara sendiri. Maka, perbatasannya harus dikembalikan seperti semula atau membentuk perbatasan baru.
Dalam masalah penentuan perbatasan ini kita harus melibatkan pakar adat, karena menurut mereka masalah perbatasan RI-RDTL ini tidak bisa diselesaikan melalui hukum internasional, tetapi harus diselesaikan melalui hukum adat Timor. Orang Timor yang berada di Indonesia dan berada di TL itu satu etnis, menggunakan bahasa yang sama, satu nenek moyang dan satu asal usul. Oleh karena itu, orang Timor di Indonesia bisa memiliki lahan di TL dan demikian juga sebaliknya, orang Timor di TL bisa memiliki lahan di Indonesia. Tetapi karena dibatasi oleh yurisdiksi hukum negara, hal ini menjadi permasalahan.
2.      Faktor Ekonomi
Hal Ekonomi merupakan salah satu alasan mengapa ternyadinya pelanggaran terkait Pelintasan batas negara tanpa dokumen resmi negara. Perlu di akui bahwa masyarakat di kawasan tapal batas khususnya masyarakat di RDTL Enclave Oecusse masi sangat membutuhkan sembako dan BBM dari warga Kab. TTU-NTT-RI yang secara diam-diam telah dilakukan transaksi jual beli antar warga negara dua negara bersaudara kandung ini meskipun hal tersebut merupakan distribusi yang sifatnya ILEGAL.
Pada situasi sekarang ini penduduk yang melakukan perjalanan yang melewati lintas batas melalui jalan-jalan tikus akan langsung ditangkap karena jalan-jalan tersebut bukan merupakan jalur resmi. Namun kendatipun ditangkap, para pelintas batas tetap saja melakukan aktivitas perdagangan sembako dan BBM melalui jalan-jalan tikus ini. Hanya saja, mereka melakukan transaksi perdagangan di garis perbatasan dan tidak lagi masuk ke wilayah negara lainnya. Masyarakat TL pada umumnya membeli sembako dan BBM dari masyarakat Indonesia dan menggunakan mata uang rupiah. Jadi, walaupun secara resmi negara mereka menggunakan dolar tetapi masyarakatnya masih banyak yang menggunakan rupiah.

C.     SOLUSI TEPAT YANG DIGUNAKAN UNTUK MENYELESAIKAN PERSOALAN PELANGGARAN PELINTAS TAPAL BATAS NEGARA SECARA ILEGAL.
Pada prinsipnya Dalam hal perbatasan, selama ini kita masih fokus membicarakan mengenai batas darat lebih dahulu. Tidak dapat dipungkiri bahwa memang ada permasalahan-permasalahan di wilayah perbatasan baik darat maupun laut. Misalnya perbatasan di salah satu desa kawasan Kab. TTU-Enclave Oecusse, di mana di salah satu desa, garis batas antara RI-RDTL itu berupa aliran sungai. Kalau hujan dan terjadi banjir, aliran sungai akan meluap dan mengikis tanah di bagian wilayah Indonesia dan TL. Ini menimbulkan permasalahan karena di tengah sungai ada dataran yang merupakan daerah subur seluas sekitar 42 hektare yang dimanfaatkan untuk areal pertanian.
Pada sisi lain di kabupaten TTU juga masi terdapat satu segmen yang menimbulkan permasalahan. Namun, ini merupakan perbedaan persepsi terhadap tapal batas yang berada di punggung bukit. Keinginan dan pandangan masyarakat dalam hal ini berbeda dengan pemerintah, dan di antara kedua negara juga belum ada kesepakatan menyangkut itu. Di Atambua, Kabupaten Belu, juga sama seperti di Kabupaten Kupang, di mana perbatasannya berupa sungai dan bila banjir kejadiannya juga serupa. Kalau mengikis wilayah Indonesia, luas wilayah TL menjadi semakin besar dan demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu, di tengah-tengah sungai tersebut kemudian dipasang batu.
Untuk masalah infrastruktur dan sosial dasar di wilayah perbatasan, kondisinya memang masih jauh dari apa yang kita harapkan. Padahal, potensi yang dimiliki oleh wilayah NTT di perbatasan itu sangat besar, di antaranya kayu jati, gaharu, dan cendana. Ketiga sumber daya alam inilah yang terkadang memicu terjadinya permasalahan lintas batas, karena sering kali terjadi illegal logging.
Tingkat pembangunan di wilayah perbatasan selama ini juga sangat kecil mengingat terbatasnya anggaran yang ada. Misalnya dari Kab. Belu yang mengusulkan pembangunan ruas jalan baru di sepanjang perbatasan dengan anggaran sekitar Rp 9 miliar, sampai saat ini hal itu belum bisa direalisasikan mengingat terbatasnya APBD.
Mengenai perdagangan lintas batas, masyarakat kedua negara bisa melakukan transaksi perdagangan secara resmi di Mota Ain dengan penggunaan pas lintas batas. Akan tetapi, sering terjadi keributan antar warga sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena kebiasaan minum-minuman keras apabila bertemu untuk melakukan transaksi dan lain hal, dan dari situlah berawal terjadinya keributan. Oleh karena alasan itulah, TNI selaku pengaman tapal batas teritori batas NKRI-RDTL  melarang hal itu karena pertimbangan faktor keamanan.
Pelanggaran yang kerap terjadi di perbatasan adalah illegal logging serta perdagangan BBM dan sembako, di mana barang-barang dari Indonesia yang lebih banyak dijual ke RDTL. Misalnya untuk sembako, satu barang kebutuhan pokok yang berharga Rp 1.000 di Indonesia bisa menjadi Rp 4.000 di RDTL. Warga RI melakukan perdagangan ilegal ini dengan menyeberang hingga sejauh 1-2 km melalui jalan tikus. Hal ini agak sulit diberantas karena kesulitan dalam hal barang bukti. Secara umum, keadaan infrastruktur  jalan di wilayah perbatasan kondisinya hampir sama. Hanya saja, di RDTL sekarang sudah ada listrik dan jaringan komunikasi yang memungkinkan adanya komunikasi yang efektif dengan pos jaga di kawasan RDTL-RI dari pos jaga di RI-RDTL.



BAB IV
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dari tulisan ini dapat di tarik kesimpulan bahwa budaya, adat istiadat, sistem kekrabatan dan faktor ekonomi masyarakat kedua negara bersaudara kandung di kawasan tapal batas negara antara RI-RDTL di Kab. TTU-Enclave Oecusse sungguh sangat memerlukan perhatian khusus dari pemerintah pusat terkait dengan banyaknya persoalan yang timbul di sana.
Dilain pihak sistem adat dan kekerabatan dalam adat istiadat sebagai Atoen Meto Pah Timor  di kawasan perbatasan negara RI-RDTL (Kab. TTU-Enclave Oecusse) merupakan hal yang tidak bisa di batasi oleh siapapun termasuk oleh negara yang berdaulat atas warga negaranya, hal ini terkait kebebasan dan kemerdekaan setiap individu serta perlindungan Hak Asasi Manusia yang melekat padanya sebagai Individu yang merdeka.
Namun disisi lain pelanggaran tersebut tidak bisa dianggap sepele. Hal ini terkait dengan nilai dan eksistensi suatu bangsa/negara untuk menyatakan diri sebagai bangsa yang berdaulat penuh atas wilayah teritorinya dan setiap warga negara yang ada dan menyatakan diri sebagai bagian dari Negara Kesatuan Repoblik Indonesia.




B.     SARAN
Oleh karena keadaan ini sangat sulit untuk dibahas dan sekedar dibahasakan daam tulisan yang terkesan Indah, maka sangat diharapkan agar pemerintah dengan sigap dan dengan segalah kemampuannya melakukan aktivitas yang pada akhirnya bisa menghasilkan suatu kebijakan yang mampu mengakomodir kepentingan masyarakat dan juga kepentingan sebagai Negara yang mana pada intinya tentu dengan tidak mengesampingkan persoalan akar rumput budaya, sistem adat, sistem kekerabatan suatu suku bangsa dengan alasan negara berdaulat penuh atas warganya untuk tidak melakukan silahturami keluarga.
Disisi lain pengamanan pada daerah tapal batas dari NKRI tercinta, dalam hal ini yang menjaga daerah teritori dan kedaulatan NKRI adalah HARGA MATI. TNI sebagai aktor penting perlu untuk selalu di tambah dengan maksud agar dapat meminimalisir konflik-konflik yang akan merusak hubungan baik antara kedua negara yang telah berdamai pasca penentuan pemisahan diri Timor-Timur menjadi RDTL dari NKRI.


DAFTAR PUSTAKA

Ensiklopedia Umum, 1973, Jajaran Kanisius, Jakarta.
Hasjim Djalal, Makalah: “Mengelola Potensi Laut Indonesia”, (Bandung, 2003).
Sri Hayati dan Ahmad Yani, 2007, Geografi Politik, Refika Aditama, Bandung, hlm. hlm.30.
Yasidi Hambali, 1994, Hukum dan Politik Kedirgantaraan, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm.63.
Wayan Parthiana, 1990, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, hlm. 102.
Wallace, Rebecca M., 1993, Hukum Internasional, IKIP Semarang Press, Semarang, hlm. 95.
Wayan Parthiana, op.cit.,hlm.103.
Wilfridus Silab, 2003, tradisi dan cinta budaya yang melampaui batas terlarang”, Kupang.
Copertino Apaut, 2006, persehatian perbatasan  negara yang berakar damai, Kupang.

Copertino Apaut, 2011, kajian sistem pemerintahan dalam pertimbangan adat Atoen Meto Pah Timor, Jakarta, hlm. 75. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar