KEKERABATAN
MASYARAKAT ADAT ATOEN METO PAH TIMOR KAB. TTU-ENCLAVE OECUSSE (RI-RDTL) YANG
MENGESAMPINGKAN BATAS TERITORIAL NEGARA
OLEH
YOSEP COPERTINO APAUT, SH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Batas
negara adalah hal yang sangat penting
bagi suatu negara, hal ini terkait dengan eksistensi negara dalam
melaksanakan kedaulatannya sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah
kekuasaannya. Pada bagian yang lain batas negara berlaku sebagai pemisah antara
negara yang satu dengan negara yang lain, dilain pihak batas negara identik
dengan pemisahan identitas kenegaraan antar masyarakat yang satu dengan
masyarakat yang lain, yang hidup di kawasan tapal batas antara negara yang satu
dengan negaa yang lain.
Tentu
ketika berbicara tentang batas negara berarti merujuk pada prinsip hukum
internasional yang mana pada intinya masyarakat dari masing-masing negara yang
berbeda di harapkan untuk tidak memasuki kawasan dari negara lain tanpa
menggunakan dokumentasi yang menunjang perjalanan yang melintasi tapal batas
antara negara dimaksud.
Keadaan
yang Rill terjadi di hampir semua tempat yang berbatasan darat dengan negara
lain adalah bahwa terjadi pelanggaran atas hukum internasional terkait dengan
perjalanan yang melintasi tapal batas negara lain, semisal masyarakat yang
hidup di kawasan RI-Malaysia, RI-Papua Newgini, RI-RDTL dan masi banyak
contoh-contoh lain.
Hal
ini tidak berarti menggambarkan ketidak patuhan masyarakat pada negaranya, akan
tetapi lebih kepada ikatan emosional dan budaya yang sama yang hidup dan
melekat pada masyarakat di sekitar tapal batas antar negara. Ikatan itu juga di
rasakan oleh masyarakat di kawasan perbatasan RI-RDTL (Kab. Timor Tengah
Utara-Enclave Oecuse).
Timor Timur yang adalah provinsi
ke-27 Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak 10 tahun lalu resmi pisah dan
menjadi negara sendiri bernama Timor Leste. Pemisahan antara lain ditandai
dengan bentangan garis tapal batas sepanjang 280 km. Namun, keberadaan tapal
batas tidak berarti melenyapkan hubungan keluarga. Kekerabatan tetap terjaga
karena mereka umumnya berinduk dari rumpun keluarga yang sama. Semisal
masyaraka di kawasan TTU-Oecuse merupakan masyarakat dawan yang dengan sebutan
yang sama disebut sebagai ATOEN METO PAH TIMOR.
Kesamaan bahasa, budaya dan untuk
kesekian kalinya msyarakat antara dua negara ini selalu melakukan upacara adat
masal yang memang menurut keharusan adat melibatkan mereka semua tanpa
memperhitungkan persoalan negara, hal ini dikarenakan suku-suku yang hidup dan
menetap di kawasan itu lebih mengedepankan status adat dan pendekatan budaya
ketimbang status negara atau identitas kebangsaan seseorang.
Pada prinsipnya perilaku melewati
tapal batas suatu negara oleh mayarakat dari negara lain adalah pelanggaran
yang sangat mendasar. Kendati demikian negara sebagai pemilik masyarakat sering
mengabaikan persoalan ini yang mana berpotensi untuk menimbulkan persoalan baru
semisal penangkapan yang di lakukan oleh anggota TNI terhadap warga Oecuse yang
masuk ke kawasan RI di kab TTU atau sebaliknya penangkapan oleh Policia Timor
Leste terhadap Warga RI yang masuk ke kawasan RDTL (Oecuse) tanpa menggunakan
perijinan yang sah.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan gambaran singkat
pada latar belakang penulisan ini maka yang menjadi pokok permasalah yang akan
di bahas adalah:
1.
Bagaimana
Negara melihat fenomena Budaya yang mengesampingkan batas negara.
2.
Faktor
yang menimbulkan pelanggaran atas batas negara.
3.
Bagaimana
cara menyelesaikan persoalan ini untuk mempertahankan eksistensi negara sebagai
negara yang berdaulat penuh atas warga negaranya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. BATAS NEGARA MENURUT HUKUM
INTERNASIONAL
Untuk mempertahankan kedaulatan
(souvereignity) dan hak-hak berdaulat (souvereign Rights) antar negara serta menyelesaikan
semua persoalan yang berkaitan dengan hubungan international, negara perlu
menetapkan perbatasan wilayah baik dimensi perbatasan darat maupun perbatasan
laut dan udara. Penetapan perbatasan wilayah (Border Zone) tersebut dapat
dilakukan sesuai ketentuan hukum international agar dapat memberikan kepastian
hukum, kemanfaatan hukum dan keadilan bagi masyarakat yang mendiami wilayah
perbatasan dimaksud.
Menurut para ahli hukum
international seperti Green NA Maryan, Shaw Malcolm, JG Starke dan Burhan
Tsani, perbatasan wilayah adalah batas terluar wilayah suatu negara berupa
suatu garis imajiner yang memisahkan wilayah suatu negara dengan wilayah negara
lain di darat, laut maupun udara yang dapat dikualifikasi dalam terminologi
"Border Zone" (zona perbatasan) maupun Customs Free Zone (zona bebas
kepabeanan). Kawasan perbatasan dalam dua terminologi di atas dapat diatur
secara limitatif dalam berbagai perjanjian international yang bersifat
"Treaty Contract" untuk menyelesaikan permasalahan di perbatasan
secara insidentil maupun yang bersifat "law making treaty" untuk
pengaturan masalah perbatasan secara permanen berkelanjutan.
Perbatasan wilayah harus dikelola
secara baik dan berkelanjutan karena selain berkaitan dengan penyelesaian
berbagai sengketa international (international disputes) juga karena daerah
perbatasan memiliki fungsi yang sangat strategis seperti fungsi militer,
ekonomi perdagangan, kedaulatan negara dan fungsi-fungsi identitas nasional
menuju kepentingan domestik di bidang ipoleksosbudhankam. Oleh karena itu
menurut para ahli hukum international dan pengamat perbatasan (Ganewati Wuryandari) "Keamanan di
Perbatasan RI - RDTL" dalam melaksanakan fungsi-fungsi perbatasan perlu
diperhatikan aspek-aspek kultur masyarakat, pengaruh politik masyarakat dua
negara, kebijakan pemerintah negara dan kekuatan pasar dalam perdagangan.
Pengelolaan perbatasan wilayah oleh
badan-badan khusus yang ditentukan negara secara internal dimaksudkan agar
administrasi pemerintahan dapat dilakukan dengan baik dan penerapan hukum
nasional secara berkeadilan. Secara eksternal penetapan dan pengelolaan
perbatasan antar negara dimaksudkan agar dapat menjamin penerapan hukum
international secara holistik untuk mewujudkan keseimbangan hak dan kewajiban
suatu negara dalam konteks hubungan international yang harmonis, damai dan
seimbang.
Untuk mengelola keamanan perbatasan
secara baik perlu dibedakan regim pengelola perbatasan sehingga pola pendekatan
dan langkah-langkah yang dilakukan masing-masing negara dapat menjamin kedaulatan
dan hak berdaulat masing-masing. Ada dua konsep regim pengelolaan perbatasan
antar negara yang sedang dikembangkan negara-negara yang berdampingan yaitu
"Hard Border Regim" (regim perbatasan keras) sebagaimana diterapkan
AS terhadap Mexico dan Cuba, yang mengutamakan pendekatan militer di perbatasan
dan "Soft Border Regim" (regim perbatasan lunak) sebagaimana
diterapkan AS terhadap Canada, yang merupakan pola pendekatan yang manusiawi
dan "social approuch". Pilihan untuk menggunakan salah satu regim
atau mengembangkan dua-duanya dalam pengelolaan keamanan perbatasan antar
negara sangat ditentukan oleh filosofi yang dianut masing-masing negara dalam
mengelola kedaulatan negaranya.
Kendati demikian dalam prakteknya
sebagaimana diharapkan telah diterapkan Pemerintah RI dengan 10 negara tetangga
adalah hubungan-hubungan "voisinage" (Burhan Tsani, Hukum dan
Hubungan International) yang memiliki konteks aturan dan praktek yang khusus
mengatur tingkah laku negara yang saling berbatasan. Dalam konteks pengelolaan
pebatasan wilayah antar negara dapat diuraikan beberapa perspektif yang
berimplikasi pada penerapan hukum international secara holistik dan
konstruktif.
1. Kehadiran badan pengelola perbatasan
di tingkat pusat dan daerah di Indonesia diharapkan dapat memfokuskan pada
aktifitas pemetaan dan identifikasi titik-titik perbatasan negara (darat, laut
dan udara). Terobosan ini dapat mewujudkan penetapan batas-batas antar negara
secara limitatif dan holistik agar dapat diterapkan ketentuan hukum
international secara baik di wilayah perbatasan. Tidak sempurnanya pelaksanaan
kegiatan di atas dapat menghalangi penerapan hukum international kendati dapat
ditegakkan hukum-hukum transisi (Transitional Justice) berupa "ius
constituendum" yang lahir dari kebiasaan-kebiasaan international yang
disepakati dan dijalankan dua negara.
2. badan pengelola perbatasan di
Indonesia dan daerah dapat berperan dalam membantu menyelesaikan berbagai
sengketa international (International Disputes) demi terciptanya kondisi
keamanan perbatasan yang harmonis dan terkendali. Kendati hukum international
memberi ruang untuk penyelesaian sengketa international melalui jalur kekerasan
(use of force) seperti perang dan blokade damai, diharapkan tetap diupayakan
jalan penyelesaian sengketa melalui perdamaian yang memfokuskan pada
pilihan-pilihan seperti arbitrase, judicial, negosiasi- mediasi dan
rekonsiliasi.
3. Kehadiran Badan Pengelola Perbatasan
juga dapat mensinergikan kegiatan-kegiatan produktif seperti merintis kearah
pembentukan perjanjian-perjanjian international (treaty) untuk membina hubungan
international yang harmonis, berdaulat dan "mutual benefit" dalam
berbagai aspek. Dalam tataran ini, Badan Pengelola Perbatasan dapat melakukan
diplomasi untuk melahirkan kesepakatan-kesepakatan international berdasarkan
asas-asas hukum internasional seperti "pacta sunt servanda".
Pelaksanaan dimensi ini alangkah baiknya didukung oleh pengetahuan dan
pengalaman yang memadai dalam hal meneruskan dan menganalisis berbagai dasar
hukum. Pengaturan dan penegakan hukum di zona perbatasan baik untuk kepentingan
perbatasan international berdasarkan hukum positif negara masing-masing maupun
untuk kepentingan perbatasan ksternal berdasarkan ketentuan hukum international
berupa "ius constitutum" maupun penemuan atau pembentukan hukum
international dari kebiasaan international dua negara (konvensi).
4. Badan perbatasan juga dapat menjadi
"Leading Institution" dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pembangunan
bagi masyarakat baik untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat
maupun untuk pembentukan karakter kehidupan di perbatasan yang tidak saling
mencurigai dan lebih kearah terbentuknya kondisi "mutual
understanding" di bidang sosial budaya maupun pertahanan keamanan wilayah.
Para ahli hukum international seperti "Green NA Maryan" menyatakan di
daerah perbatasan, sebaiknya tidak ada kewajiban menghormati batas-batas suatu
negara dan tidak ada ancaman antar negara. Untuk mengatur semua itu dapatlah
dibentuk Komisi Bipatie antara dua negara yang berbatasan.
Jika keempat perspektif di atas
dapat dijadikan "term of reference" para pengelola perbatasan antar
negara di Indonesia, maka fungsi dan peran institusi dapat diaplikasi secara
maksimal untuk mengeliminir pemikiran bahwa terbentuknya badan atau institusi
baru hanya untuk kepentingan elit semata dan atau untuk kepentingan pelaksanaan
kegiatan yang "project oriented".
B.
TEORI KEWILAYAHAN NEGARA
Bererapa Pengertian Wilayah Negara
menurut para Ahli.
1.
I Wayan Parthiana, wilayah merupakan suatu ruang
dimana orang yang menjadi warga negara atau penduduk negara bersangkutan hidup
serta menjalankan segala aktivitasnya.
2.
Rebecca M.Wallace, wilayah adalah merupakan atribut
yang nyata dari kenegaraan dan dalam wilayah geografis tertentu yang
ditempatnya, suatu negara menikmati dan melaksanakan kedaulatan.
3.
Dalam
Ensiklopedia Umum, yang dimaksud dengan wilayah negara adalah bagian muka bumi
daerah tempat tinggal, tempat hidup dan sumber hidup warga negara dari negara
tersebut. Wilayah negara terdiri tanah, air (sungai dan laut) dan udara. Pada
dasarnya semua sungai dan danau dibagian wilayah tanahnya termasuk wilayah
negara.
4.
Dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional pasal 1 ayat (5) disebutkan bahwa wilayah nasional adalah seluruh
wilayah Negara Kesatuan Repoblik Indonesia yang meliputi daratan, lautan dan
udara.
5.
Pasal
1 angka 1 Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara
mendefinisikan wilayah negara sebagai salah satu unsur negara yang merupakan
satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut
teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di
atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Berdasarkan beberapa definisi di
atas, dapat disimpulkan bahwa wilayah negara adalah tempat tinggal, tempat
hidup dan sumber kehidupan warga negara yang meliputi daratan, lautan dan ruang
udara, dimana suatu negara memiliki kedaulatan penuh atas wilayah negaranya.
Bentuk wilayah negara Indonesia berdasarkan teorinya termasuk divided or
separated, yaitu negara yang terpisah oleh wilayah laut dan atau sepotong oleh
negara lain (negara yang wilayahnya dibagi-bagi atau
dipisah-pisahkan/daratan-daratannya dipisah- pisahkan oleh perairan laut).
Ruang Lingkup Wilayah Negara
Seperti disimpulkan Yasidi Hambali,
jelaslah prinsip yang mengatakan bahwa yang dinamakan wilayah (teritory) dari
suatu negara itu terdiri dari tiga dimensi, yaitu wilayah daratan (land
teritory), wilayah perairan (water teritory) dan wilayah udara (air teritory).
I Wayan Parthiana menyatakan bagian-bagian wilayah negara
itu meliputi:
1.
Wilayah
daratan termasuk tanah didalamnya
Wilayah daratan adalah bagian dari
daratan yang merupakan tempat pemukiman atau kediaman dari warga negara atau
penduduk negara yang bersangkutan. Termasuk pula dalam ruang lingkup wilayah
daratan ini tidak saja permukaan tanah daratan, tetapi juga tanah di bawah
daratan tersebut.
2.
Wilayah
perairan
Wilayah perairan atau disebut juga
perairan teritorial adalah bagian perairan yang merupakan wilayah suatu
negara.7 Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang
Wilayah Negara jo. Pasal 1 ayat 4 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia disebutkan bahwa: “Perairan Indonesia adalah laut teritorial
Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya”
Dalam salah satu makalahnya, Hasjim
Djalal meyebutkan yang termasuk ke dalam laut yang merupakan kewilayahan dan
yang berada di bawah kedaulatan Indonesia adalah :
a.
Perairan
Pedalaman,
b.
Perairan
Kepulauan (Nusantara),
c.
Laut
Teritorial atau Laut Wilayah di luar Perairan Nusantara tersebut.
3.
Wilayah
dasar laut dan tanah dibawahnya yang terletak dibawah wilayah perairan.
Wilayah negara meliputi juga dasar laut dan
tanah di bawahnya yang terletak di bawah wilayah perairan, berarti negara
memiliki kedaulatan terhadap dasar laut dan tanah di bawahnya, segala sumber daya
alam yang terkandung di dalamnya adalah menjadi hak dan kedaulatan sepenuhnya
dari negara yang bersangkutan.
4.
Wilayah
ruang udara.
Ruang udara yang merupakan bagian
wilayah negara adalah ruang udara yang terletak di atas permukaan wilayah
daratan dan di atas permukaan wilayah perairan.
Perbatasan Wilayah Negara
Batas merupakan pemisah unit
regional geografi (fisik, sosial, budaya) yang dikuasai oleh suatu negara.
Secara politis, batas negara adalah garis kedaulatan yang terdiri dari daratan,
lautan dan termasuk potensi yang berada di perut bumi. Dalam bahasa Inggris
perbatasan sering disebut dengan kata border, boundary atau frontier.
Perbatasan merupakan salah satu
manifestasi penting dalam suatu negara dan bukan hanya suatu garis imajiner di
atas permukaan bumi, melainkan suatu garis yang memisahkan satu daerah dengan
daerah lainnya. Sebagaimana dikatakan oleh Jones, “Perbatasan bukan semata-mata
sebuah garis tetapi sebuah garis dalam daerah perbatasan, tetapi daerah
perbatasan dapat atau tidak merupakan suatu penghalang. Penyelidik dapat sangat
tertarik oleh garis itu. Bagi seorang strategi, ada tiadanya penghalang itu
penting. Bagi penata usaha daerah perbatasan itu merupakan masalah, dengan
garis perbatasan sebagai batas kekuasaannya”.
Martin I. Glassner memberikan
pengertian perbatasan baik boundary maupun frontier. Boundary tampak pada peta
sebagai garis-garis tipis yang menandai batas kedaulatan suatu negara.
Sebenarnya boundary bukan sebuah garis, melainkan sebuah bidang tegak lurus
yang memotong melalui udara, tanah dan lapisan bawah tanah dari dua negara
berdekatan. Bidang ini tampak pada permukaan bumi karena memotong permukaan dan
ditandai pada tempat-tempat yang dilewati. Pemotongan lapisan bawah tanah
menandai batas operasi penambangan lapisan biji dari dua negara berdekatan,
sedangkan lapisan udara menandai batas yang menjaga dengan hati-hati ruang
udara mereka. Sedangkan frontier digambarkan sebagai daerah geografi politik
dan kedalamnya perluasan negara dapat dilakukan. Frontier merupakan sebuah
daerah, walau tidak selalu daerah yang memisahkan dua negara atau lebih.
A.E. Moodie menyatakan bahwa
boundary adalah garis-garis yang mendemarkasikan batas terluar dari suatu
negara. Dinamakan boundary karena berfungsi mengikat (bound) suatu unit
politik. Sedangkan frontier mewujudkan jalur-jalur (zona) dengan lebar beraneka
yang memisahkan dua wilayah berbeda negara. Pengaturan perbatasan harus ada
supaya tidak timbul kekalutan, karena perbatasan merupakan tempat berakhirnya
fungsi kedaulatan suatu negara dan berlakunya kedaulatan negara lain. Dinamakan
frontier karena terletak di depan (front) suatu negara.
Dalam terminologi tentang masalah
perbatasan ada suatu perbedaan yang ditetapkan secara tegas antara perbatasan
alamiah dan buatan. Perbatasan alamiah terdiri atas gunung-gunung,
sungai-sungai, pesisir pantai, hutan-hutan, danau-danau dan gurun, dimana
hal-hal tersebut membagi wilayah dua negara atau lebih. Tetapi yang dipakai
dalam pengertian politis, istilah Perbatasan Alamiah memiliki suatu arti yang
jauh lebih penting. Perbatasan alamiah menunjukkan garis yang ditentukan oleh
alam, sampai garis mana suatu negara dianggap diperluas atau dibatasi dari,
atau sebagai perlindungan terhadap negara lain. Perbatasan-perbatasan buatan
terdiri dari baik tanda-tanda yang ditujukan untuk mengindikasi garis
perbatasan imajiner, atau paralel dengan garis bujur atau garis lintang.
Batas negara sebenarnya ada dua
bentuk, yaitu batas garis (linier boundary) dan batas zonal (zonal boundary).
Batas garis dilihat dari kepentingan administrative negara merupakan batas yang
paling baik karena eksak, tegas dan pasti tetapi biasanya sering menimbulkan
kesukaran dalam penetapan tanda batas di lapangan dan pengaturan lalu lintas
serta penjagaannya. Contoh batas garis misalnya antara Korea Utara dan Korea
Selatan, batas antara Israel dan negara-negara tetangganya. Sedangkan batas
zonal merupakan batas yang paling umum dan banyak diterapkan di dunia. Secara
sosial ekonomi menguntungkan bagi penduduk yang ada di perbatasan. Sepanjang
tidak terjadi konflik antara negara-negara yang berbatasan, batas zonal akan
dipertahankan.
Batas zonal pada umumnya merupakan
satu jalur daerah tidak bertuan yang memanjang sepanjang perbatasan. Contohnya
batas antara Tibet dan Bhuton yang berupa hutan bambu dan hutan pinus atau
perbatasan Spanyol dan Perancis yang berupa jalur daerah di Pegunungan Pyrenea.
Sebagai boundary, pagar pembatas
wilayah negara memiliki makna bahwa wilayah suatu negara dapat ditentukan
luasnya dengan cara menghitungnya dari batas terluar negara tersebut. Adapun
sebagai frontier, pagar pembatas tersebut memiliki makna bahwa penduduk
setempat negara tertentu tidak boleh keluar tanpa izin dan sebaliknya penduduk
dari negara tetangganya tidak boleh sembarangan juga memasuki wilayah negara
tersebut.
Dari uraian diatas, walaupun
terdapat perbedaan pendapat mengenai definisi dari boundary dan frontier,
tetapi dapat diambil inti sarinya. Boundary menunjukkan garis yang menandai
batas terluar dari sebuah negara. Garis ini berfungsi sebagai batas negara.
Sedangkan frontier atau border menunjukkan daerah yang membatasi wilayah
kedaulatan suatu negara yang berfungsi sebagai pemisah kedua negara tersebut.
Perbatasan dari suatu negara tersebut berbentuk perbatasan alami dan perbatasan
buatan.
Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor
43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara mendefinisikan batas wilayah negara adalah
garis batas yang merupakan pemisah kedaulatan suatu negara yang didasarkan atas
hukum internasional, sedangkan dalam angka 6-nya, kawasan perbatasan dimaknai
sebagai bagian dari wilayah negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang
batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal batas wilayah negara di
darat, kawasan perbatasan berada di kecamatan.
Dalam kaitan dengan kajian terhadap
batas wilayah negara, tidak dapat lepas dari aspek pengaruh aktivitas
penyelenggaraan pemerintahan negara terhadap kehidupan masyarakat di sepanjang
kawasan perbatasan. Martinez (1994) mengklasifikasikan kawasan perbatasan mejadi
4 (empat) jenis, yaitu:
a. Alienated
Borderland
Di mana lintas batas menjadi tempat
terjadinya pertukaran informasi yang kurang eksis terhadap pengaruh dari
wilayah yang berbatasan, kerentanan ini antara lain disebabkan karena perbedaan
tingkat kesejahteraan antara penduduk yang tinggal di wilayah yang saling
berbatasan, politik, nasionalisme, perbedaan budaya, maupun persaingan etnis.
b. Coexistent
Borderland
Di mana konflik yang terjadi di
kawasan lintas batas, akan tetapi tetap meninggalkan pertanyaan yang belum
terpecahkan terutama dalam kaitannya dengan kepemilikan sumberdaya yang
strategis di kawasan perbatasan.
c. Interdependent
Borderland
Interdependent Borderland merupakan
jenis kawasan perbatasan yang ketiga. Wilayah di kedua sisi yang saling
berbatasan merupakan gambaran stabilitas hubungan internasional antara dua
negara atau lebih yang saling berbatasan. Masyarakat di kedua sepanjang kawasan
perbatasan dan pemerintah, terjalin hubungan yang saling menguntungkan secara
ekonomi, seperti dalam penyediaan fasilitas produksi dan penyediaan tenaga
kerja.
d. Integrated
Borderland
Di mana kehidupan perekonomian di
kawasan perbatasan menyatu satu dengan yang lain, selain itu terjalin hubungan
yang sangat erat dalam berbagai aspek kehidupan di antara masyarakat maupun
pemerintah negara yang berbatasan. Hal ini tampak di kawasan perbatasan antara
Amerika Serikat dan Kanada.
Kedaulatan dan Tanggung Jawab Negara
Atas Wilayah
Kedaulatan yang dimiliki oleh negara
terkandung hal-hal yang berhubungan dengan kedaulatan dan tanggung jawab negara
terhadap wilayahnya. Wilayah negara merupakan tempat di mana negara
menyelenggarakan yurisdiksinya atas masyarakat, segala kebendaan serta segala
kegiatan yang terjadi di dalam wilayah. Kedaulatan negara seperti ini disebut
juga dengan kedaulatan teritorial. Kedaulatan teritorial akan berakhir pada
batas-batas terluar wilayah territorial negara bersangkutan, dan karena
yurisdiksi territorial suatu negara akan meliputi perairan territorial, maka
pada hakekatnya batas terluar wilayah negara adalah batas terluar laut
teritorial.
Jawahir Thontowi dan Pranoto
Iskandar dalam bukunya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kedaulatan atas
wilayah adalah kewenangan yang dimiliki suatu negara untuk melaksanakan
kewenangannya sebatas dalam wilayah- wilayah yang telah menjadi bagian dari
kekuasaannya.
Sugeng Istanto dalam memaknai
kedaulatan teritorial menyebutkan salah satu kualifikasi yang harus dipenuhi
negara sebagai subjek hukum internasional adalah wilayah tertentu. Negara,
sebagai organisasi kekuasaan, menguasai wilayah tersebut. Di wilayah itu negara
memegang kekuasaan kenegaraan yang tertinggi, yakni hak melakukan kedaulatan
wilayah. Dalam wilayah itu negara tersebut melaksanakan fungsi kenegaraan dengan
mengecualikan negara lain.
Sehubungan dengan pemahaman
kedaulatan teritorial dengan batas-batas negaranya, beberapa dekade belakangan
ini terdapat istilah ”borderless world” atau “dunia tanpa batas”. Istilah ini
muncul sebagai akibat dari tumbuh dan berkembangnya faham globalisasi, terutama
globalisasi di bidang ekonomi yang dimotori oleh transnational/multinational
corporations (TNCs/MNCs). Intinya faham globalisasi ini menekankan bahwa dunia
ini yang berisi negara-negara dengan batas wilayahnya menjadi “tanpa batas”.
BAB III
PEMBAHASAN
A. FENOMENA BUDAYA ATOEN METO PAH TIMOR
YANG MENGESAMPINGKAN BATAS NEGARA ANTARA RI-RDTL (KAB. TTU-ENCLAVE OECUSSE)
Paham yang hidup dan melekat pada
hampir keseluruhan orang Suku Dawan/Atoen Meto pah TTU dan Enclave Oecuse
adalah bahwa “Negara boleh saja berbeda tapi bukan berarti dengan adanya batas
negara dimaksud mampu menahan budaya saling berbagi dalam prinsip adat orang
Suku Dawan/Atoen Meto pada dua Negara berbeda ini”. Keseragaman paham ini
memang tidak saja diucapkan akan tetapi selalu dinyatakan dalam kehidupan sehari-hari
sebagai warga masyarakat Suku Dawan/ Atoen Meto Pah TTU dan Enclave Oecuse.
Aturan yang selalu diberlakukan oleh
kedua bersaudara kandung berlainan negara ini adalah bahwa keadaan tidak akan
perna membatasi akses mereka untuk tidak saling berkunjung, saling berbagi rasa
dalam suka maupun duka. Kendati demikian sebagai warga negara yang taat pada
aturan dari masing-masing negara, tentu terkait dengan prosedur yang jelas dan
sah untuk melewati tapal batas dari negara lain adalah suatu keharusan yang secara
otomatis harus dipahami dan dijalankan oleh setiap warga Kab. TTU dan warga
Enclave Oecuse yang hidup di kawasan batas antara kedua negara itu.
Bahwa dalam penerapannya terkadang
untuk melakukan perijinan merupakan kendala yang sangat menyuliitkan bagi
masyarakat yang pada akhirnya akan memilih jalan pintas untuk menyeberang ke
negara tetangga tanpa dokumen yang resmi dari negara asal. Istilah yang sangat
familiar yang selalu digunakam oleh masyarakat untuk menyeberang ke negara lain
tanpa menggunakan izin tertulis berupa dokumen dari badan imigrasi nasional
Indonesia oleh masyarakat Kab. TTU di kenal dengan istila menggunakan JALAN TIKUS atau jalan alternatis diluar
dari jangkauan penjagaan dari petugas penjaga perbatasan Negara (TNI).
Atauran atau regulasi hukum
Internasional yang pada prinsipnya mengharuskan setiap warga yang hendak
melakukan perjalanan yang melintasi tapal batas dari negara lain ataupun
memasuki daera teritorial dari negara lain haruslah suda dilengkapi dengan
kelengkapan berkas berupa dokumentasi yang resmi dari badan atau lembaga negara
yang berkewenangan untuk mengaturnya justru hampir tidak dilakukan oleh
sebagian besar masyarakat di kawasan perbatasan antara RI-RDTL (Kab.TTU-
Onclave Oecuse). Tidak bisa dipungkiri bahwa ada masyarakat yang sangat
menghormati Reegulasi ini, terkait dengan perijinan dimaksud. Namun hampir bisa
dipastikan bahwa kenyataan yang terjadi di kawasan tapal batal apa bisa ada
warga yang hendak melakukan perijinan terkait dengan hal bepergian melintasi
batas negara maka hal itu berupa urusan-urusan yang sifatnya tidak penting atau
dalam bahasa adat atoen Meto disebut sebagai kegiatan Man’ekon, yang semata
dilakukan hanya untuk saling berkunjung biasa.
Sementara untuk melakukan kegiatan
adat atau kegiatan Ekonomi justru Jalan Tikus yang akan ditempuh. Alasan
mengapan jalan tikus yang akan ditempu adalah bahwa masyarakat yang hendak
melaksanakan upacara adat akan berdatangan dengan jumlah yang relatif banyak
dan kedatangannya pun secarah berkala. Oleh karena alasan banyaknya antusias
masyarakat adat tersebut maka sudah bisa dipastikan apabila menggunakan jalur
resmi yang disediakan oleh negara maka akan berimbas pula pada faktor keuangan
yang banyak, sementara masyarakat di kawasan perbatasan tingkat ekonominya
sangat sederhana.
Alasan lain adalah untuk mempercepat
jarak, dalam artian bahwa apabila menggunakan jalan negara maka akan
berputar-putar ketimbang menggunakan jalur Jalan Tikus yang relatif cepat dan
efektif menurut pandangan masyarakat adat dari kedua negara ini.
Adapun hal lain yang menarik yang
dipraktekan oleh warga dua negara adalah bahwa Hubungan
emosional yang dibangun melalui ikatan perkawinan antara negara Timor Leste
dengan Indonesia menyebabkan sebagian warga yang bermukim di daerah perbatasan
kedua negara hidup secara damai dan menyatu satu sama lain. Seperti di
perbatasan Negara Timor di Distrik Oecusse dengan Indonesia wilayah Kabupaten
TTU ini, karena jaraknya hanya 45 kilometer atau dua jam perjalanan dengan
kendaraan. Sebelum berpisah dengan Indonesia melalui referendum tahun 1999,
warga perbatasan itu sudah hidup menyatu. Warga yang hidup rukun itu berada di
desa-desa seperti Napan, Oelbinose, dan Aplal di Kab. TTU-NTT, dan desa Pasabe,
Nitib di Enclave Oecusse Timor Leste.
Dengan
kondisi itu, tak sedikit warga Timor Leste di distrik Oecusse yang berada di
bagian selatan pulau Timor berkebun atau bertani ladang di sekitar wilayah Kab.
TTU-NTT yang merupakan daerah teritorial dari Negara Kesatuan Repoblik
Indonesia dan begitupun Sebaliknya.
B. FAKTOR YANG MENIMBULKAN PELANGGARAN
ATAS BATAS NEGARA.
Adapun faktor yang menimbulkan pelanggaran atas batas negara
teritorial dari kedua negara yaitu antara lain
1.
Faktor Budaya
Perbatasan RI-Timor Leste (TL)
memang cukup pelik. Itu karena keduanya dulu dipisahkan oleh Belanda dan
Portugal. Kemudian Timtim berintegrasi ke Indonesia, dan karena orang Timor itu
kemudian bersaudara dalam satu negara, maka disepakati untuk membuat perbatasan
baru, yaitu perbatasan provinsi. Sekarang orang Timtim kembali terpisahkan dan
sudah menjadi negara sendiri. Maka, perbatasannya harus dikembalikan seperti
semula atau membentuk perbatasan baru.
Dalam masalah penentuan perbatasan
ini kita harus melibatkan pakar adat, karena menurut mereka masalah perbatasan
RI-RDTL ini tidak bisa diselesaikan melalui hukum internasional, tetapi harus
diselesaikan melalui hukum adat Timor. Orang Timor yang berada di Indonesia dan
berada di TL itu satu etnis, menggunakan bahasa yang sama, satu nenek moyang
dan satu asal usul. Oleh karena itu, orang Timor di Indonesia bisa memiliki
lahan di TL dan demikian juga sebaliknya, orang Timor di TL bisa memiliki lahan
di Indonesia. Tetapi karena dibatasi oleh yurisdiksi hukum negara, hal ini
menjadi permasalahan.
2.
Faktor Ekonomi
Hal Ekonomi merupakan salah satu
alasan mengapa ternyadinya pelanggaran terkait Pelintasan batas negara tanpa
dokumen resmi negara. Perlu di akui bahwa masyarakat di kawasan tapal batas
khususnya masyarakat di RDTL Enclave Oecusse masi sangat membutuhkan sembako
dan BBM dari warga Kab. TTU-NTT-RI yang secara diam-diam telah dilakukan transaksi
jual beli antar warga negara dua negara bersaudara kandung ini meskipun hal
tersebut merupakan distribusi yang sifatnya ILEGAL.
Pada situasi sekarang ini penduduk
yang melakukan perjalanan yang melewati lintas batas melalui jalan-jalan tikus
akan langsung ditangkap karena jalan-jalan tersebut bukan merupakan jalur
resmi. Namun kendatipun ditangkap, para pelintas batas tetap saja melakukan
aktivitas perdagangan sembako dan BBM melalui jalan-jalan tikus ini. Hanya
saja, mereka melakukan transaksi perdagangan di garis perbatasan dan tidak lagi
masuk ke wilayah negara lainnya. Masyarakat TL pada umumnya membeli sembako dan
BBM dari masyarakat Indonesia dan menggunakan mata uang rupiah. Jadi, walaupun
secara resmi negara mereka menggunakan dolar tetapi masyarakatnya masih banyak
yang menggunakan rupiah.
C. SOLUSI TEPAT YANG DIGUNAKAN UNTUK
MENYELESAIKAN PERSOALAN PELANGGARAN PELINTAS TAPAL BATAS NEGARA SECARA ILEGAL.
Pada
prinsipnya Dalam hal perbatasan, selama ini kita masih fokus membicarakan
mengenai batas darat lebih dahulu. Tidak dapat dipungkiri bahwa memang ada
permasalahan-permasalahan di wilayah perbatasan baik darat maupun laut.
Misalnya perbatasan di salah satu desa kawasan Kab. TTU-Enclave Oecusse, di
mana di salah satu desa, garis batas antara RI-RDTL itu berupa aliran sungai.
Kalau hujan dan terjadi banjir, aliran sungai akan meluap dan mengikis tanah di
bagian wilayah Indonesia dan TL. Ini menimbulkan permasalahan karena di tengah
sungai ada dataran yang merupakan daerah subur seluas sekitar 42 hektare yang
dimanfaatkan untuk areal pertanian.
Pada sisi
lain di kabupaten TTU juga masi terdapat satu segmen yang menimbulkan
permasalahan. Namun, ini merupakan perbedaan persepsi terhadap tapal batas yang
berada di punggung bukit. Keinginan dan pandangan masyarakat dalam hal ini
berbeda dengan pemerintah, dan di antara kedua negara juga belum ada
kesepakatan menyangkut itu. Di Atambua, Kabupaten Belu, juga sama seperti di
Kabupaten Kupang, di mana perbatasannya berupa sungai dan bila banjir
kejadiannya juga serupa. Kalau mengikis wilayah Indonesia, luas wilayah TL
menjadi semakin besar dan demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu, di tengah-tengah
sungai tersebut kemudian dipasang batu.
Untuk masalah infrastruktur dan sosial dasar di wilayah
perbatasan, kondisinya memang masih jauh dari apa yang kita harapkan. Padahal,
potensi yang dimiliki oleh wilayah NTT di perbatasan itu sangat besar, di antaranya
kayu jati, gaharu, dan cendana. Ketiga sumber daya alam inilah yang terkadang
memicu terjadinya permasalahan lintas batas, karena sering kali terjadi illegal
logging.
Tingkat pembangunan di wilayah perbatasan selama ini juga
sangat kecil mengingat terbatasnya anggaran yang ada. Misalnya dari Kab. Belu
yang mengusulkan pembangunan ruas jalan baru di sepanjang perbatasan dengan
anggaran sekitar Rp 9 miliar, sampai saat ini hal itu belum bisa direalisasikan
mengingat terbatasnya APBD.
Mengenai perdagangan lintas batas, masyarakat kedua negara
bisa melakukan transaksi perdagangan secara resmi di Mota Ain dengan penggunaan
pas lintas batas. Akan tetapi, sering terjadi keributan antar warga sendiri. Hal
ini disebabkan oleh karena kebiasaan minum-minuman keras apabila bertemu untuk
melakukan transaksi dan lain hal, dan dari situlah berawal terjadinya
keributan. Oleh karena alasan itulah, TNI selaku pengaman tapal batas teritori
batas NKRI-RDTL melarang hal itu karena
pertimbangan faktor keamanan.
Pelanggaran yang kerap terjadi di perbatasan adalah illegal
logging serta perdagangan BBM dan sembako, di mana barang-barang dari Indonesia
yang lebih banyak dijual ke RDTL. Misalnya untuk sembako, satu barang kebutuhan
pokok yang berharga Rp 1.000 di Indonesia bisa menjadi Rp 4.000 di RDTL. Warga
RI melakukan perdagangan ilegal ini dengan menyeberang hingga sejauh 1-2 km
melalui jalan tikus. Hal ini agak sulit diberantas karena kesulitan dalam hal
barang bukti. Secara umum, keadaan infrastruktur jalan di wilayah perbatasan kondisinya hampir
sama. Hanya saja, di RDTL sekarang sudah ada listrik dan jaringan komunikasi
yang memungkinkan adanya komunikasi yang efektif dengan pos jaga di kawasan
RDTL-RI dari pos jaga di RI-RDTL.
BAB IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari tulisan ini dapat di tarik
kesimpulan bahwa budaya, adat istiadat, sistem kekrabatan dan faktor ekonomi
masyarakat kedua negara bersaudara kandung di kawasan tapal batas negara antara
RI-RDTL di Kab. TTU-Enclave Oecusse sungguh sangat memerlukan perhatian khusus dari
pemerintah pusat terkait dengan banyaknya persoalan yang timbul di sana.
Dilain pihak sistem adat dan
kekerabatan dalam adat istiadat sebagai Atoen Meto Pah Timor di kawasan perbatasan negara RI-RDTL (Kab.
TTU-Enclave Oecusse) merupakan hal yang tidak bisa di batasi oleh siapapun
termasuk oleh negara yang berdaulat atas warga negaranya, hal ini terkait
kebebasan dan kemerdekaan setiap individu serta perlindungan Hak Asasi Manusia
yang melekat padanya sebagai Individu yang merdeka.
Namun disisi lain pelanggaran
tersebut tidak bisa dianggap sepele. Hal ini terkait dengan nilai dan
eksistensi suatu bangsa/negara untuk menyatakan diri sebagai bangsa yang
berdaulat penuh atas wilayah teritorinya dan setiap warga negara yang ada dan
menyatakan diri sebagai bagian dari Negara Kesatuan Repoblik Indonesia.
B. SARAN
Oleh karena keadaan ini sangat sulit
untuk dibahas dan sekedar dibahasakan daam tulisan yang terkesan Indah, maka
sangat diharapkan agar pemerintah dengan sigap dan dengan segalah kemampuannya
melakukan aktivitas yang pada akhirnya bisa menghasilkan suatu kebijakan yang
mampu mengakomodir kepentingan masyarakat dan juga kepentingan sebagai Negara
yang mana pada intinya tentu dengan tidak mengesampingkan persoalan akar rumput
budaya, sistem adat, sistem kekerabatan suatu suku bangsa dengan alasan negara
berdaulat penuh atas warganya untuk tidak melakukan silahturami keluarga.
Disisi lain pengamanan pada daerah tapal batas dari NKRI
tercinta, dalam hal ini yang menjaga daerah teritori dan kedaulatan NKRI adalah
HARGA
MATI. TNI sebagai aktor penting perlu untuk selalu di tambah dengan
maksud agar dapat meminimalisir konflik-konflik yang akan merusak hubungan baik
antara kedua negara yang telah berdamai pasca penentuan pemisahan diri Timor-Timur
menjadi RDTL dari NKRI.
DAFTAR
PUSTAKA
Ensiklopedia Umum, 1973, Jajaran
Kanisius, Jakarta.
Hasjim Djalal, Makalah: “Mengelola
Potensi Laut Indonesia”, (Bandung, 2003).
Sri Hayati dan Ahmad Yani, 2007, Geografi Politik, Refika
Aditama, Bandung, hlm. hlm.30.
Yasidi Hambali, 1994, Hukum dan Politik Kedirgantaraan,
Pradnya Paramita, Jakarta, hlm.63.
Wayan Parthiana, 1990, Pengantar Hukum Internasional, Mandar
Maju, Bandung, hlm. 102.
Wallace, Rebecca M., 1993, Hukum Internasional, IKIP
Semarang Press, Semarang, hlm. 95.
Wayan Parthiana, op.cit.,hlm.103.
Wilfridus Silab, 2003, tradisi dan
cinta budaya yang melampaui batas terlarang”, Kupang.
Copertino Apaut, 2006,
persehatian perbatasan negara yang
berakar damai, Kupang.
Copertino Apaut, 2011, kajian sistem pemerintahan dalam pertimbangan adat Atoen Meto Pah
Timor, Jakarta, hlm. 75.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar