Rabu, 21 Mei 2014

KAJIAN KEBIJAKAN HUKUM

“KAJIAN EKOSOB ATAS LARANGAN BEROPERASINYA BECAK DI DKI JAKARTA DI LIHAT DARI SUDUT PANDANG HAM”

(study kasus atas Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 1998 yang melarang becak beroperasi di wilayah DKI Jakarta)
OLEH
YOSEP COPERTINO APAUT, SH

A.    DASAR PEMIKIRAN
Pada hakekatnya memperoleh suatu pekerjaan adalah hal yang sangat di harapkan oleh setiap manusia di dunia ini, tidak terkecuali masyarakat yang menetap di Ibu kota Jakarta. Pekerjaan apa saja tentu akan menjadi hal yang sangat mulia dan membanggakan apabilah pekerjaan itu didapat atau mungkin dikerjakan dengan keringat dan pengorbanan yang sangat luar biasa. Akan dangat bermakna ketika pekerjaan itu dikategorikan sebagai pekerjaan yang legal dan tidak mengandung persoalan yang mendatangkan kontrofersi dikalangan umum.
Tidak terkecuali pekerjaan sebagai tukang becak yang oleh pemerintah DKI Jakarta telah dibuatkan aturan formal tentang larangan beroperasi baginya. Sejarah bangsa mencatat keterlibatan becak sebagai alat transportasi masal yang sejak zaman dahulu di negeri ini digunakan sebagai salah satu dari berbagai macam alat transportasi yang ramah lingkungan yang ada di jakarta.
Sayang memang, Becak dijaman teknologi yang super canggih ini hanya dianggap sebagai kendaraan yang usang yang mengganggu ketertiban umum. Adalah suatu hal yang beralasan ketika kendaraan modern dengan pendekatan ramah lingkungan menggusur becak yang adalah alat transportasi yang dianggap tradisional yang sudah ketingalan jaman dengan seribu alasan pembenaran bagi elit politik untuk menghiasi Ibu Kota Jakarta dengan segalah sesuatu yang bernuansa modern dengan berpegang pada dasar penggunaan kendraan yang ramah lingkungan dan lebih modis dan layak.

B.     SEJARAH BECAK DAN PERSOALAN YANG ADA PADANYA
Becak Jakarta tinggal nama. Sejak 1980-an becak dilarang beroperasi di Jakarta karena dianggap menghambat jalan dan membuat kemacetan lalu lintas. Bahkan dipandang tidak manusiawi karena ’mengeksploitasi manusia’. Kata becak berasal dari dialek Hokkian, salah satu rumpun bahasa di Cina, Be Chia yang berarti kereta kuda.
Diperkirakan becak yang mula-mula diciptakan orang Jepang sekitar tahun 1865. Waktu itu becak belum dikayuh, tetapi ditarik atau didorong tenaga manusia. Lambat laun popularitas becak menyeberang ke daratan Cina. Selanjutnya para imigran Cina membawa alat transportasi ini ke negara-negara seperti India dan Singapura.
Belum begitu jelas bilamana becak dikenal di Indonesia. Diduga, sebagaimana ditulis dalam http://www.majalah-historia.com[1], becak didatangkan ke Batavia dari Singapura dan Hongkong pada 1930-an. Pendapat lain mengatakan becak diperkenalkan dari Makassar ke Batavia akhir 1930-an. Dasarnya adalah catatan perjalanan seorang wartawan Jepang ke berbagai daerah di Indonesia, termasuk Makassar. Dalam terbitan 1937 itu disebutkan, becak ditemukan orang Jepang yang tinggal di Makassar, bernama Seiko-san. Dia adalah pemilik toko sepeda. Karena penjualan seret, dia memodifikasi sepeda yang tak terjual itu menjadi kendaraan roda tiga. Menurut majalah Star Weekly (1960)[2], becak masuk ke Indonesia awal abad ke-20 untuk keperluan pedagang Tionghoa mengangkut barang. Pada 1937 becak dikenal dengan nama “roda tiga”. Sebutan becak baru digunakan pada 1940 ketika becak berfungsi masal sebagai kendaraan umum.
Tim Hannigan dalam http://www.kabarmag.com[3] mengatakan, becak yang membawa penumpang memenuhi jalan-jalan di Batavia baru terlihat pada 1936. Sebelumnya, selama bertahun-tahun, dikenal kendaraan roda tiga yang dipakai untuk mengangkut barang. Awalnya pemerintah kolonial Belanda merasa senang dengan transportasi baru ini. Jumlah becak meningkat pesat ketika Jepang datang ke Indonesia pada 1942. Kontrol Jepang yang sangat ketat terhadap penggunaan bensin dan larangan kepemilikan kendaraan bermotor pribadi menjadikan becak sebagai satu-satunya alternatif terbaik Mode transportasi di kota Jakarta. Bahkan penguasa membentuk dan memobilisasi kelompok-kelompok, termasuk tukang becak, demi kepentingan perang melalui pusat pelatihan pemuda, yang mengajarkan konsep politik dan teknik organisasi.
Pasca perang, ketika jalur dan moda transportasi kian berkembang, becak tetap bertahan. Bahkan menjadi transportasi yang menyebar hampir di seluruh Indonesia. Pada pertengahan hingga akhir 1950-an terdapat 25.000 hingga 30.000 becak di Jakarta. Jumlah becak membengkak hingga lima kali lipat pada 1970-an. Sejak 1980 keberadaan becak mulai dibatasi, antara lain dengan memberlakukan Daerah Bebas Becak. Penggantinya adalah helicak, minicar, dan bajaj yang menggunakan mesin. Razia becak sering diadakan pada daerah tertentu. Becak yang dianggap melanggar aturan disita. Setelah terkumpul banyak dibuang ke perairan kepulauan Seribu untuk dijadikan rumpon[4].

C.    KAJIAN EKOSOB DAN ASPEK HAM TERHADAP PERSOALAN LARANGAN BEROPERASINYA BECA DI DKI JAKARTA.
1.      ASPEK EKONOMI.
Pemberlakuan aturan Becak dilarang oleh pemerintah untuk beroperasi tentu sangat beralasan. Dalam pandangan tertentu sangat jelas terlihat bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam aksinya hendak memberantas persoalan kemacetan yang belakangan ini terlihat sangat membosankan. Kendatipun demikian Pemerintah Propinsi DKI Jakarta seolah CUCI TANGAN atas apa yang semestinya menjadi tanggung jawab yang seharusnya. Dengan kata lain Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan aturan tanpa solusi yang memadai. Dapat dibayangkan, ketika pemberlakuan itu dijalankan maka akan ada lebih dari ratusan jiwa bahkan ribuan jiwa yang akan tersendat persoalan Ekonomi. Bahkan tidak dapat dipungkri lagi bahwa akan ada lebih dari ribuan orang di DKI yang tadinya adalah Tukung becak akan beralih profesi menjadi Pemulung, GEPENG (Gelandangan dan pengemis), pengamen, bahkan preman dan pengangguran.

2.      ASPEK SOSIAL
Berkaca dari sejarah beroperasinya Becak di Jakarta bahwa transportasi yang murah dan tidak berpotensi menghasilkan polusi hanyalah Becak dan beberapa jenis kendaraan yang tidak menggunakan mesin yang tentunya ramah lingkungan. Namun kendatipun demikian Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 1998 yang melarang becak beroperasi di wilayah DKI Jakarta menjadi sesuatu yang patut di lihat sebagai suatu hal yang perlu di koreksi. Mengapa demikian..? karena masi banyak hal lain yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ketimbang melarang Becak beroperasi di jakarta, misalnya : menyediakan fasilitas publik yang layak, Rumah susun bagi masyarakat miskin di DKI Jakarta, dan berbagai hal lain yang dapat merubah wajah jakarta menjadi Sentral Indonesia yang layak huni. Sementara itu, terkait dengan pelarangan becak untuk beroperasi tentu akan menjadi momok yang menakutkan secara Sosial kemasyarakatan. Hal ini sangat beralasan karena tidak sedikit warga DKI Jakarta yang mampu menggunakan Taksi atau sejenisnya untuk bepergian dan mungkin ke tempat bekerja. Sementara untuk makan sehari-hari saja masi merupakan pertanyaan besar bagi masyarakat miskin di DKI.


3.      KAJIAN BUDAYA
Berkaca dari apa yang telah tersebut diatas tentu sudah dapat terbayangkan bagaimana keterlibatan becak  dalam sejarah panjang bangsa Indonesia terkusus bagi warga Jakarta. Becak merupakan sarana pendukung yang sejak zaman dahulu digunakan sebagai alat transportasi yang sangat memasyarakat dan dapat dijangkau oleh semua masyarakat terlebih bagio masyarakat tingkat menengah ke bawa yang ada di jakarta di DKI. Berkenaan dengan pelarangan beroperasinya becak di jakarta tentu merupakan pemandangan penghilangan sejarah transportasi tradisional yang oleh penulis, kami beranggapan bahwa hal tersebut tentu sangat memilukan.
4.      KAJIAN HAM
Di dalam UUD 1945 secara tegas telah di atur tentang mengenai hak- hak warga negara yang di jamin oleh negara.Hak-hak itu antara lain:
a.      Hak warga negara untuk mendapat penghidupan yang layak.
b.      Hak warga negara untuk memperoleh pendidikan   
c.       Hak warga negara utuk memeluk agama sesuai keyakinannya
d.      Hak wagara negara untuk dipilih dan memilih dalam PEMILU.
e.       Hak warga negara untuk mendapatkan kepastian dan keadilan dalam hukum.
f.       Hak warga negara untuk memperoleh jaminan kesehatan.
g.      DLL.[5]
Setelah kita mengetahui tentang hak - hak dari setiap warga negara yang dijamin oleh UUD 1945, maka kita akan mengetahui bahwa negara memiliki tanggung jawab yang sangat besar bagi berlakunya, serta terjaminnya hak-hak warga negaranya. Dapat dibayangkan bagaimana tidak Etisnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberlakukan peraturan terkait pelarangan beroperasinya becak di DKI Jakarta tanpa memikirkan bagai mana Hak mereka untuk mendapatkan penghasilan sebagai manusia yang perlu makan dan melanjutkan hidupnya sebagai manusia yang bermartabat. Adalah suatu kekonyolan yang besar ketika terjadi kesenjangan yang besar antara HARAPAN DAN KENYATAAN yang harus diterima oleh sekian banyak tukang becak. Secarah tidak langsung Negara telah mempraktekan Pelanggaran atas HAM terutama hak hidup seseorang.
D.    KESIMPULAN DAN SOLUSI
Terhadap persoalan ini tentunya Sebagai pemegang amanat UUD 1945, negara seharusnya menjalankan amanat – amanat yang dibebankan kepadanya dengan sebaik mungkin, dalam hal ini, bisa diwujudkan dengan membuat kebijakan – kebijakan yang sesuai dengan aspirasi, kebutuhan serta kehendak warga negaranya, dengan kata lain, pemerintah pusat ataupun daerah diharapkan dapat membuat sistem pemerintahan serta kebijakan yang sesuai dengan kondisi serta kehidupaan dalam kenyataan yang berlangsung dimasyarakat dan bukan menimpahkan beban berat pada pundak masyarakat tanpa solusi dan penyelesaian.
Adalah hal yang menggembirakan ketika suatu kebijakan yang ditujukan untuk masyarakat banyak, telah didahului dengan persiapan alokasi tempat kerja baru bagi setiap masyarakat yang terkena dampak kebijakan. Pertimbangannya Elegannya adalah bahwa Negara tidak mengesampingkan Nilai HAM. Dalam artian bahwa negara menjamin sepenuhnya hak masyarakat untuk memperoleh pekerjaan yang lebih layak.
Adapun hal tersebut akan dengan sendirinya menjadi suatu keberhasilan bangsa dalam hal memakmurkan masyarakatnya secara Ekonomi finansial. Sementara dalam hal Sosial kemasyarakatan pemerintah telah berhasil menjalankan amanat UUD serta menciptakan situasi yang lebih berbartabat ketimbang harus menyingkirkan masyarakat kecil.
Terkait dengan Aspek Budaya tentu becak tidak perlu sepenuhnya dimusnahkan. Alasannya tentu jelas, bahwa sejarah panjang bangsa juga melibatkan becak dalam perjalanan bangsa ini, tentu perlu dijelaskan bahwa pada jaman Jepang menguasai Indonesia, pengunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) hanya diperuntukan bagi kaum jepang dan sebagian kecil petinggi bangsa. Sala satu alternatif dalam proses agresi kaum muda dan segalah upaya kemerdekaan bangsa ini juga melibatkan Becak sebagai sarana dengan peran penting terkait hal dimaksud.
Sebagai contoh dalam kasus yang hampir serupa terkait rencana pelarangan beroperasinya becak di Jakarta ini, Adalah seorang Jokowi yang saat itu menjabat sebagai Walikota Solo, yang dalam proses kerjanya berencana untuk menjadikan Solo sebagai kota yang indah, bersi, dan Berbudaya tentu sangatlah sulit. Hal ini terlihat dari banyaknya Pedagang Kaki Lima yang banyak sekali menempati ruas jalan di kota Solo awalnya. Namun kebijakan brilian dibuatnya sebagai salah satu terobosan, yang mana Jokowi melakukan upaya mediasi berkali-kali dengan PKL, dengan tujuan untuk memindahkan para PKL yang awalnya berjualan di pinggiran jalan dan mengganggu ketertiban Umum ke tempat yang oleh Pemerintah Solo telah dipersiapkan. Dengan tidak ada upaya paksa dan penggusuran proses pemindahanpun akhirnya berjalan lancar dengan diadakannya prosesi pemindahan dengan adat warga Solo. Dari sinilah terlihat betapa Elegannya pemerintah menjalankan membuat dan menjalankan kebijakan dengan tidak membabi buta yang tentunya menguntungkan banyak pihak, terutama masyarakat kecil menengah kebawa[6].



[1] http://www.majalah-historia.com, di unduh tanggal 21 Mei 2014
[2] http://www. majalah Star Weekly (1960), di unduh tanggal 21 Mei 2014

[3] http://www.kabarmag.com (1972), di unduh tanggal 21 Mei 2014
[4] Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya, Jakarta Sinal Grafika, 2006, Halaman 30
[5] UUD negara repoblik Indonesia
[6] Prayogo Hanung, sejarah dan sepak terjang JOKOWI AHOK, Jakarta Sinal Grafika, 2013, Halaman 41

Tidak ada komentar:

Posting Komentar