“KAJIAN EKOSOB ATAS LARANGAN
BEROPERASINYA BECAK DI DKI JAKARTA DI LIHAT DARI SUDUT PANDANG HAM”
(study kasus atas Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 1998 yang melarang
becak beroperasi di wilayah DKI Jakarta)
OLEH
YOSEP COPERTINO APAUT, SH
A.
DASAR
PEMIKIRAN
Pada
hakekatnya memperoleh suatu pekerjaan adalah hal yang sangat di harapkan oleh
setiap manusia di dunia ini, tidak terkecuali masyarakat yang menetap di Ibu
kota Jakarta. Pekerjaan apa saja tentu akan menjadi hal yang sangat mulia dan
membanggakan apabilah pekerjaan itu didapat atau mungkin dikerjakan dengan
keringat dan pengorbanan yang sangat luar biasa. Akan dangat bermakna ketika
pekerjaan itu dikategorikan sebagai pekerjaan yang legal dan tidak mengandung
persoalan yang mendatangkan kontrofersi dikalangan umum.
Tidak
terkecuali pekerjaan sebagai tukang becak yang oleh pemerintah DKI Jakarta
telah dibuatkan aturan formal tentang larangan beroperasi baginya. Sejarah
bangsa mencatat keterlibatan becak sebagai alat transportasi masal yang sejak
zaman dahulu di negeri ini digunakan sebagai salah satu dari berbagai macam
alat transportasi yang ramah lingkungan yang ada di jakarta.
Sayang
memang, Becak dijaman teknologi yang super canggih ini hanya dianggap sebagai
kendaraan yang usang yang mengganggu ketertiban umum. Adalah suatu hal yang
beralasan ketika kendaraan modern dengan pendekatan ramah lingkungan menggusur
becak yang adalah alat transportasi yang dianggap tradisional yang sudah
ketingalan jaman dengan seribu alasan pembenaran bagi elit politik untuk
menghiasi Ibu Kota Jakarta dengan segalah sesuatu yang bernuansa modern dengan
berpegang pada dasar penggunaan kendraan yang ramah lingkungan dan lebih modis
dan layak.
B.
SEJARAH
BECAK DAN PERSOALAN YANG ADA PADANYA
Becak
Jakarta tinggal nama. Sejak 1980-an becak dilarang beroperasi di Jakarta karena
dianggap menghambat jalan dan membuat kemacetan lalu lintas. Bahkan dipandang
tidak manusiawi karena ’mengeksploitasi manusia’. Kata becak berasal dari
dialek Hokkian, salah satu rumpun bahasa di Cina, Be Chia yang berarti
kereta kuda.
Diperkirakan
becak yang mula-mula diciptakan orang Jepang sekitar tahun 1865. Waktu itu
becak belum dikayuh, tetapi ditarik atau didorong tenaga manusia. Lambat laun
popularitas becak menyeberang ke daratan Cina. Selanjutnya para imigran Cina
membawa alat transportasi ini ke negara-negara seperti India dan Singapura.
Belum
begitu jelas bilamana becak dikenal di Indonesia. Diduga, sebagaimana ditulis
dalam http://www.majalah-historia.com[1],
becak didatangkan ke Batavia dari Singapura dan Hongkong pada 1930-an. Pendapat
lain mengatakan becak diperkenalkan dari Makassar ke Batavia akhir 1930-an.
Dasarnya adalah catatan perjalanan seorang wartawan Jepang ke berbagai daerah
di Indonesia, termasuk Makassar. Dalam terbitan 1937 itu disebutkan, becak
ditemukan orang Jepang yang tinggal di Makassar, bernama Seiko-san. Dia adalah
pemilik toko sepeda. Karena penjualan seret, dia memodifikasi sepeda yang tak
terjual itu menjadi kendaraan roda tiga. Menurut majalah Star Weekly (1960)[2],
becak masuk ke Indonesia awal abad ke-20 untuk keperluan pedagang Tionghoa
mengangkut barang. Pada 1937 becak dikenal dengan nama “roda tiga”. Sebutan
becak baru digunakan pada 1940 ketika becak berfungsi masal sebagai kendaraan
umum.
Tim
Hannigan dalam http://www.kabarmag.com[3] mengatakan,
becak yang membawa penumpang memenuhi jalan-jalan di Batavia baru terlihat pada
1936. Sebelumnya, selama bertahun-tahun, dikenal kendaraan roda tiga yang
dipakai untuk mengangkut barang. Awalnya pemerintah kolonial Belanda merasa
senang dengan transportasi baru ini. Jumlah becak meningkat pesat ketika Jepang
datang ke Indonesia pada 1942. Kontrol Jepang yang sangat ketat terhadap
penggunaan bensin dan larangan kepemilikan kendaraan bermotor pribadi
menjadikan becak sebagai satu-satunya alternatif terbaik Mode transportasi di
kota Jakarta. Bahkan penguasa membentuk dan memobilisasi kelompok-kelompok,
termasuk tukang becak, demi kepentingan perang melalui pusat pelatihan pemuda,
yang mengajarkan konsep politik dan teknik organisasi.
Pasca
perang, ketika jalur dan moda transportasi kian berkembang, becak tetap
bertahan. Bahkan menjadi transportasi yang menyebar hampir di seluruh
Indonesia. Pada pertengahan hingga akhir 1950-an terdapat 25.000 hingga 30.000
becak di Jakarta. Jumlah becak membengkak hingga lima kali lipat pada 1970-an. Sejak
1980 keberadaan becak mulai dibatasi, antara lain dengan memberlakukan Daerah
Bebas Becak. Penggantinya adalah helicak, minicar, dan bajaj yang menggunakan
mesin. Razia becak sering diadakan pada daerah tertentu. Becak yang dianggap
melanggar aturan disita. Setelah terkumpul banyak dibuang ke perairan kepulauan
Seribu untuk dijadikan rumpon[4].
C.
KAJIAN EKOSOB DAN ASPEK HAM TERHADAP PERSOALAN
LARANGAN BEROPERASINYA BECA DI DKI JAKARTA.
1.
ASPEK EKONOMI.
Pemberlakuan aturan Becak dilarang oleh pemerintah untuk beroperasi
tentu sangat beralasan. Dalam pandangan tertentu sangat jelas terlihat bahwa
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam aksinya hendak memberantas persoalan
kemacetan yang belakangan ini terlihat sangat membosankan. Kendatipun demikian
Pemerintah Propinsi DKI Jakarta seolah CUCI TANGAN atas apa yang semestinya
menjadi tanggung jawab yang seharusnya. Dengan kata lain Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta menerapkan aturan tanpa solusi yang memadai. Dapat dibayangkan,
ketika pemberlakuan itu dijalankan maka akan ada lebih dari ratusan jiwa bahkan
ribuan jiwa yang akan tersendat persoalan Ekonomi. Bahkan tidak dapat dipungkri
lagi bahwa akan ada lebih dari ribuan orang di DKI yang tadinya adalah Tukung
becak akan beralih profesi menjadi Pemulung, GEPENG
(Gelandangan dan pengemis), pengamen, bahkan
preman dan pengangguran.
2. ASPEK
SOSIAL
Berkaca dari sejarah beroperasinya Becak di Jakarta
bahwa transportasi yang murah dan tidak berpotensi menghasilkan polusi hanyalah
Becak dan beberapa jenis kendaraan yang tidak menggunakan mesin yang tentunya
ramah lingkungan. Namun kendatipun demikian Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 1998
yang melarang becak beroperasi di wilayah DKI Jakarta menjadi sesuatu yang
patut di lihat sebagai suatu hal yang perlu di koreksi. Mengapa demikian..?
karena masi banyak hal lain yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta ketimbang melarang Becak beroperasi di jakarta, misalnya : menyediakan
fasilitas publik yang layak, Rumah susun bagi masyarakat miskin di DKI Jakarta,
dan berbagai hal lain yang dapat merubah wajah jakarta menjadi Sentral
Indonesia yang layak huni. Sementara itu, terkait dengan pelarangan becak untuk
beroperasi tentu akan menjadi momok yang menakutkan secara Sosial
kemasyarakatan. Hal ini sangat beralasan karena tidak sedikit warga DKI Jakarta
yang mampu menggunakan Taksi atau sejenisnya untuk bepergian dan mungkin ke
tempat bekerja. Sementara untuk makan sehari-hari saja masi merupakan
pertanyaan besar bagi masyarakat miskin di DKI.
3. KAJIAN BUDAYA
Berkaca dari
apa yang telah tersebut diatas tentu sudah dapat terbayangkan bagaimana
keterlibatan becak dalam sejarah panjang bangsa Indonesia
terkusus bagi warga Jakarta. Becak merupakan sarana pendukung yang sejak zaman
dahulu digunakan sebagai alat transportasi yang sangat memasyarakat dan dapat
dijangkau oleh semua masyarakat terlebih bagio masyarakat tingkat menengah ke
bawa yang ada di jakarta di DKI. Berkenaan dengan pelarangan beroperasinya
becak di jakarta tentu merupakan pemandangan penghilangan sejarah transportasi
tradisional yang oleh penulis, kami beranggapan bahwa hal tersebut tentu sangat
memilukan.
4. KAJIAN HAM
Di dalam UUD
1945 secara tegas telah di atur tentang mengenai hak- hak warga negara yang di
jamin oleh negara.Hak-hak itu antara lain:
a. Hak warga
negara untuk mendapat penghidupan yang layak.
b. Hak warga
negara untuk memperoleh pendidikan
c. Hak warga
negara utuk memeluk agama sesuai keyakinannya
d. Hak wagara
negara untuk dipilih dan memilih dalam PEMILU.
e. Hak warga
negara untuk mendapatkan kepastian dan keadilan dalam hukum.
f. Hak warga
negara untuk memperoleh jaminan kesehatan.
Setelah kita
mengetahui tentang hak - hak dari setiap warga negara yang dijamin oleh UUD
1945, maka kita akan mengetahui bahwa negara memiliki tanggung jawab yang
sangat besar bagi berlakunya, serta terjaminnya hak-hak warga negaranya. Dapat
dibayangkan bagaimana tidak Etisnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
memberlakukan peraturan terkait pelarangan beroperasinya becak di DKI Jakarta
tanpa memikirkan bagai mana Hak mereka untuk mendapatkan penghasilan sebagai
manusia yang perlu makan dan melanjutkan hidupnya sebagai manusia yang
bermartabat. Adalah suatu kekonyolan yang besar ketika terjadi kesenjangan yang
besar antara HARAPAN DAN KENYATAAN yang harus diterima oleh sekian banyak
tukang becak. Secarah tidak langsung Negara telah mempraktekan Pelanggaran atas
HAM terutama hak hidup seseorang.
D. KESIMPULAN
DAN SOLUSI
Terhadap persoalan ini tentunya Sebagai
pemegang amanat UUD 1945, negara seharusnya menjalankan amanat – amanat yang
dibebankan kepadanya dengan sebaik mungkin, dalam hal ini, bisa diwujudkan
dengan membuat kebijakan – kebijakan yang sesuai dengan aspirasi, kebutuhan
serta kehendak warga negaranya, dengan kata lain, pemerintah pusat ataupun
daerah diharapkan dapat membuat sistem pemerintahan serta kebijakan yang sesuai
dengan kondisi serta kehidupaan dalam kenyataan yang berlangsung dimasyarakat
dan bukan menimpahkan beban berat pada pundak masyarakat tanpa solusi dan
penyelesaian.
Adalah hal
yang menggembirakan ketika suatu kebijakan yang ditujukan untuk masyarakat
banyak, telah didahului dengan persiapan alokasi tempat kerja baru bagi setiap
masyarakat yang terkena dampak kebijakan. Pertimbangannya Elegannya adalah
bahwa Negara tidak mengesampingkan Nilai HAM. Dalam artian bahwa negara
menjamin sepenuhnya hak masyarakat untuk memperoleh pekerjaan yang lebih layak.
Adapun hal
tersebut akan dengan sendirinya menjadi suatu keberhasilan bangsa dalam hal
memakmurkan masyarakatnya secara Ekonomi finansial. Sementara dalam hal Sosial
kemasyarakatan pemerintah telah berhasil menjalankan amanat UUD serta
menciptakan situasi yang lebih berbartabat ketimbang harus menyingkirkan
masyarakat kecil.
Terkait
dengan Aspek Budaya tentu becak tidak perlu sepenuhnya dimusnahkan. Alasannya
tentu jelas, bahwa sejarah panjang bangsa juga melibatkan becak dalam
perjalanan bangsa ini, tentu perlu dijelaskan bahwa pada jaman Jepang menguasai
Indonesia, pengunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) hanya diperuntukan bagi kaum
jepang dan sebagian kecil petinggi bangsa. Sala satu alternatif dalam proses
agresi kaum muda dan segalah upaya kemerdekaan bangsa ini juga melibatkan Becak sebagai sarana dengan peran
penting terkait hal dimaksud.
Sebagai contoh dalam kasus yang
hampir serupa terkait rencana pelarangan beroperasinya becak di Jakarta ini,
Adalah seorang Jokowi yang saat itu menjabat sebagai Walikota Solo, yang dalam
proses kerjanya berencana untuk menjadikan Solo sebagai kota yang indah, bersi,
dan Berbudaya tentu sangatlah sulit. Hal ini terlihat dari banyaknya Pedagang
Kaki Lima yang banyak sekali menempati ruas jalan di kota Solo awalnya. Namun
kebijakan brilian dibuatnya sebagai salah satu terobosan, yang mana Jokowi
melakukan upaya mediasi berkali-kali dengan PKL, dengan tujuan untuk
memindahkan para PKL yang awalnya berjualan di pinggiran jalan dan mengganggu
ketertiban Umum ke tempat yang oleh Pemerintah Solo telah dipersiapkan. Dengan
tidak ada upaya paksa dan penggusuran proses pemindahanpun akhirnya berjalan
lancar dengan diadakannya prosesi pemindahan dengan adat warga Solo. Dari
sinilah terlihat betapa Elegannya pemerintah menjalankan membuat dan
menjalankan kebijakan dengan tidak membabi buta yang tentunya menguntungkan
banyak pihak, terutama masyarakat kecil menengah kebawa[6].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar