TINJAUAN
HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KASUS PERADILAN SADDAM HUSSEIN
OLEH
YOSEP
COPERTINO APAUT, SH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Saddam Hussein (Nama lengkap: Saddam Hussein Abd
al-Majid al-Tikriti) lahir di Al-Awja, Irak pada tanggal 29 April 1937. Dia
menjabat sebagai Presiden Irak sejak 1979 hingga 2003. Masa jabatannya harus
diakhiri dengan cara paksa, ketika Amerika Serikat dan tentara Sekutu
menginvasi Irak tahu 2003 silam. Presiden Irak Saddam Husein yang ditangkap
oleh tentara AS (Sekutu) karena dianggap melanggar hukum internasional.
Kemudian beliau diadili di Baghdad karena dianggap
melanggar Hukum Internasional. Pengadilan Saddam dibuat oleh Pemerintah
Sementara Irak atas presiden terguling Irak Saddam Hussein. Dia dituduhan
melakukan kejahatan terhadap
kemanusiaan semasa pemerintahannya. Saddam Hussein dan beserta 11 eks petinggi Irak lainnya untuk dakwaan
kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, dan genosida.
Pengadilan pertama dimulai sebelum Pengadilan Khusus
Irak pada tanggal 19 Oktober 2005. Pada tanggal 5 November 2006, Saddam
dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung. Kemudian
ia banding, banding yang diajukan Saddam ditolak dan hukuman mati tetap
dilaksanakan. Kemudian Saddam Hussein dieksekusi dengan digantung pada
tanggal 30 Desember 2006.
Ada yang pro dan ada yang kontra terhadap vonis itu.
Sebagian besar pendapat umum di Uni Eropa, pemerintah negara-negara anggota Uni
Eropa sudah menghapuskan hukuman mati. Karena dianggap tidak manusiawi dan
karena alasan-alasan lain. Juga media mancanegara, LSM internasional Amnesty
International, tidak ketinggalan Paus di Vatikan, meski sependapat bahwa benar Sadam
Hussein bertanggungjawab atas kejahatan kemanusiaan terhadap rakyatnya sendiri,
namun menentang vonis hukuman mati. Hanya Perdana Menteri Belanda, Jan Peter
Balkenende yang keseleo lidahnya, pernah menyatakan di muka pers, bahwa
keputusan pengadilan Irak itu adil. Tetapi kemudian 'memodifikasi' pendapatnya
itu, setelah parpol-parpol penting di Parlemen Belanda dan persnya mengeritik
ucapan Balkenende yang dianggap “bizare” (ganjil sekali) keluar dari
seorang Perdana Menteri anggota Uni Eropa.
Kejahatan Saddam masuk dalam kategori kejahatan
atas kemanusiaan (crime against humanity). Dalam pandangan hukum
internasional, kejahatan atas kemanusiaan sama statusnya dengan penjahat perang
dan genosida. Tiga kategori perbuatan tersebut telah melampaui batas-batas
wilayah teritori kedaulatan negara. Artinya, ketika seseorang melakukan
jenis-jenis kejahatan tersebut, maka ia tidak lagi terlindungi oleh kedaulatan
mana pun (hak imunitas), sebab kejahatannya telah berubah menjadi kejahatan
internasional.
Kasus tersebut menggambarkan fenomena praktek Hukum
Internasional. Disini terjadi kontradiksi antara hukum internasional dan hukum
nasional. Ada pendapat bahwa, Saddam Hussein hendaknya diadili oleh Mahkamah
Kejahatan Internasioanal. Namun pada prakteknya, Saddam Hussein diadili
oleh peradilan nasional Irak. Hal itu, menyebabkan timbul anggapan bahwa
peradilan untuk ia tidak wajar. Hal itu dibuktikan dengan hakim yang dipilih
tidaklah berasal dari sistem peradilan yang bersih dan independen. Hakim ditunjuk
oleh Pemerintah Irak sendiri, bukan melalui mekanisme yang seharusnya. Selain
itu, kedudukan Saddam Hussein sebagai subjek hukum masih menjadi pedebatan.
Mengapa ia yang harus bertanggungjawab atas kejahatan tersebut, bukan negara
Irak. Sebab dalam hukum internasional, negaralah yang disebut subjek hukum.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis membuat makalah yang berjudul, “Tinjauan
Hukum Internasional Terhadap Kasus Peradilan Saddam Hussein”.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka
penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana kedudukan hukum nasional Irak terhadap hukum
internasional pada kasus Pengadilan Saddam Hussein ?
2.
Mengapa yang harus bertanggung jawab pribadi Saddam
Hussein dan Kenapa bukan negara Irak sebagaimana yang disebut sebagai subyek
hukum internasional ?
C.
Tujuan Penulisan Makalah
Berdasarkan perumusan masalah
tersebut, maka penulisan makalah ini bertujuan untuk :
1.
Menganalisis kedudukan hukum nasional Irak terhadap
hukum internasional pada kasus Pengadilan Saddam Hussein.
2.
Menjelaskan tanggungjawab pribadi Saddam Hussein
sebagai subjek hukum internasional.
D.
Manfaat Penulisan Makalah
1.
Manfaat Teoritis
Penulisan
makalah yang berjudul “Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Kasus Peradilan
Saddam Hussein” diharapkan mampu mengembangkan dan menambah
pengetahuan dan keilmuan hukum pidana internasional, khususnya teori hubungan
antara hukum internasional dengan hukum nasional, serta mengetahui
sebjek-subjek hukum internasional dewasa ini.
2.
Manfaat Praktis
Penulisan
makalah yang berjudul “Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Kasus Peradilan
Saddam Hussein” diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi untuk mengkaji
permasalahan pada penerapan atau praktek hukum pidana internasional, terutama
berkaitan kedudukan nasional terhadap hukum internasional, serta tanggungjawab
individu sebagai subjek hukum internasional pada kasus Saddam Hussein.
BAB II
TINJAUAN
TEORITIS
A. Kajian Teori
1.
Konsep Hukum
Internasional
Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas-asas
yang mengatur hubungan atau persoalan melintasi batas-batas negara-negara[1] antara:
Ø negara
dengan negara,
Ø negara
dengan subjek hukum internasional lainnya.
Hukum internasional dapat didefinisikan pula sebagai
keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan
kaidah-kaidah perilaku terhadap negara-negara yang merasa dirinya terikat,
menaati, dan karenanya, benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan mereka
satu sama lain[2],
meliputi:
1. kaidah-
kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya organisasi internasional,
hubungan-hubungan mereka, hubungan mereka dengan negara-negara dan
individu-individu, dan
2. kaidah-kaidah
hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badan non-negara
sejauh hak dan kewajiban mereka penting bagi masyarakat internasional.
2. Hukum Nasional
Hukum nasional ialah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur kehidupan
manusia di dalan masing-masing lingkungan kebangsaan[3] (negara
yang nasional yang berdaulat dan merdeka).
Hukum nasional dapat juga diartikan sebagai himpunan atau
sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan
peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat dalam suatu negara,
dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan antara meraka
satu dengan lainnya. Ruang lingkup hukum nasional terbatas pada suatu wilayah
negara tertentu.
3. Subjek Hukum Internasional
Subjek hukum umumnya diartikan sebagai pemegang hak
dan kewajiban menurut hukum[4].
Secara umum yang dipandang sebagai subjek hukum adalah:
1. Individu
atau orang perorangan (persoon) yaitu, tiap-tiap
seorang manusia sudah menjadi subyek hukum secara kodrati atau secara alami.
2. Badan atau
lembaga hukum merupakan suatu badan yang terdiri dari kumpulan orang yang
diberi status (persoon) oleh hukum sehingga mempunyai hak dan
kewajiban.
Subjek hukum adalah kemampuan mewujudkan pemilihan
hal-hal dan kewajiban internasional yang mempunyai kapsaitas untuk
mempertahankan hak-haknya dengan membawa tuntutannya[5].
Sedangkan, subjek hukum internasional adalah pendukung atau pemegang hak dan
kewajiban menurut ketentuan hukum internasional[6].
Arti subjek hukum menurut hukum internasioanal ialah
subjek yang memiliki kecakapan internasional utama, yaitu:
1. Mampu untuk
menuntut haknya di pengadilan internasional dan nasional,
2. Menjadi subjek
dari beberapa atau semua kewajiban yang diberikan oleh hukum internasional,
3. Mampu membuat
perjanjian internasional yang sah dan mengikat dalam hukum internasional,
4. Menikmati imunitas
dan yuridiksi pengadilan nasional dan internasional.
Secara teoritis subjek hukum internasional hanya
negara, dan pendekatan praktis yang berpangkal pada kenyataan yang ada, timbul
fakta hukum bahawa subjek hukum internasional bukan hanya negara[7].
Dewasa ini yang sudah diakui sebagai subjek hukum internasional[8] adalah:
Ø Negara,
Ø Organisasi
Internsional,
Ø Palang Merah
Internasional,
Ø Takhta Suci
Vatikan,
Ø Organisasi
Pembebasan Bangsa,
Ø Wilayah
Perwalian,
Ø Kaum Belligerensi
,
Ø Individu.
B.
Teori Hubungan Antara Hukum Internasional Dengan Hukum
Nasional
Dalam menentukan hubungan antara hukum internasional
dengan hukum nasional terdapat dua teori, yaitu dualisme dan monoisme. Teori
Dualisme memandang, kedua sistem hukum tersebut merupakan hal yang berbeda.
Sedangkan Teori Monoiseme memandang bahwa, kedua sistem saling mempengaruhi dan
terdapat Primat (lebih mengutamakan) Hukum Internasional atau Primat Hukum
Nasional.
1. Teori Dualisme
Aliran dualistik (dualistic school) melihat
hukum internasional dan hukum nasional tidak saling bergantung satu sama lain.
Kedua sistem tersebut, mengatur permasalahan yang berbeda. Hukum
internasional mengatur hubungan antara negara yang berdaulat, sedangkan hukum
nasional mengatur urusan dalam negeri negara yang bersangkutan[9].
Aliran dualisme berpendapat berpendapat bahwa kedua
sistem saling menolak satu sama lain dan tidak mempunyai kontak dan efek satu
sama lain. Para penganut aliran ini tidak mengakui bahwa konflik dapat timbut
akibat pertentangan kedua sistem hukum tersebut[10]. Dengan demikian, kedua sistem hukum
tersebut adalah dua hal yang berbeda, sehingga tidak ada superioritas. Kedua
sistem hukum berdiri sendiri dan tidak saling mempengaruhi.
Penganut pandangan teori ini memandang bahwa, hukum
nasional dan hukum internasional merupakan dua bidang yang berbeda dan berdiri
sendiri satu dengan lainnya[11]. Perbedaan hukum nasional hukum nasional
dan hukum internasional pertama dapat dilihat dari subjeknya, subjek hukum nasional
adalah individu sedangkan subjek hukum internasional adalah negara. Kedua
adalah ruang lingkup, hukum nasional berlaku dalam batas wilayah negara
tertentu sedangkan hukum internasional berlaku lebih luas yaitu antar negara.
Ketiga ialah sumber hukum, hukum internasional berdasar kehendak negara dan
hukum internasional bersumber pada kesepakatan antar negara. Karena kedua
sistem hukum tersebut berdiri sendiri dengan corak, sifat dan ruang lingkup
yang berbeda, maka menurut teori ini tidak ada pengutamaan. Perbedaan yang
dikemukaan teori ini saat ini kurang diterima, sebab dewasa ini terjadi
perubhan dan perkembangan yang sangat mendasar mengenai struktur hukum nasional
ataupun hukum internasional.
Teori ini pada prinsipnya berpendapat bahwa, hukum
nasional lebih utam daripaada hukum internasional[12]. Adapun keberlakuan hukum internasional
tergantung pada kemauan negara. Pengikut pandangan ini antara lain: Triepel,
Anzilotti.
Alasan yang diajukan penganut paham dualisme baik
secara formal maupun kenyataan[13], alasan yang terpenting yaitu: 1) sumber
hukum berlainan, 2) subjek hukum berbeda, 3) perbedaan struktur atau tata
hukum. Keberatan terletak pada pemisahan mutlak antara hukum nasional dengan
hukum internasional. Pada kenyataannya, ada hukum nasional bertentangan dengan
hukum internasional bukan karena perbedaan tersebut, melainkan kurang
efektifnya hukum internasional.
2. Teori Monoisme
Aliran monistik (monistik school) mempunyai
suatu konsep tunggal mengenai hukum dan melihat semua hukum[14]. Dengan demikian hukum internasional dan
hukum nasional sebagai bagian intergal dari sistem yang sama. Apabila terjadi
konflik anatara hukum internasional dengan hukum nasional, penganut aliran ini
berpendapat bahwa hukum internasional hendaknya tak dapat diragukan lagi
pemberlakuannya. Kedua sistem hukum tersebut merupakan dua hal yang saling
berkaitan, yang terbagi menjadi dua yaitu, Primat (lebih mengutamakan) Hukum
Internasional dan Primat Hukum Nasional.
Paham monoisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari
seluruh hukum yang mengatur hidup manusia[15]. Hukum merupakan suatu sistem yang utuh,
dimana hukum tidak berdiri sendiri. Hukum yang satu dapat mempengaruhi hukum
yang lain. Berikut penjelasan mengenai hubungan hukum internasional dengan
hukum nasional menurut primat (pengutamaan) Teori Monoisme:
a. Primat Hukum
Internasional
Monoisme
pengutamaan hukum internasional memandang bahwa, hukum internasional merupakan
sumber dari hukum nasional[16]. Maka dari itu, hukum nasional harus
tunduk pada hukum internasional. Hukum internasional mempunyai kedudukan lebih
tinggi dibanding hukum nasional. Pandangan ini bertolak belakang dengan sejarah
perkembangan ilmu hukum, dimana sebenarnya usia hukum internasional jauh lebih
muda dibanding hukum nasional.
Dipelopori
Mazhab Vienna dan Mazhab Perancis, berpendapat sebagai berikut[17]: 1) hukum internasional lebih tinggi dan
utama, 2) hukum nasional tunduk dan bersumber pada hukum internasional, 3)
kekuatan mengikat hukum nasional merupakan pendelegasian wewenang hukum
internasional, 4) hukum internasional lebih dahulu daripada hukum nasional.
Pengikut pandangan ini antara lain: Mazhab Vienna (Kunz dan Lelzen) dan Mazhab
Perancis (Duquit, Scelle, Bourguin).
Hukum
nasional bersumber pada hukum internasinal dan menurut pandangan ini hukum
internasinal memiliki kedudukan hierarkis lebih tinggi[18]. Pada kenyataanya hal tersebut tidak
benar selamanya, di negara tertentu seperti Indonesia masih diperlukan
ratifikasi hukum internasional seperti penjanjian internasional dan bentuk
lainnya.
b. Primat Hukum
Nasional
Berbeda
dengan pandangan monoisme primat hukum internasional, pandangan teori ini
menyatakan bahwa hukum internasional bersebut bersumber pada hukum nasional[19]. Hukum internasional merupakan lanjutan
dari hukum nasional saja. Oleh karena itu, apabila terjadi pertentangan antara
keduanya, maka hukum nasional yang harus lebih diutamakan. Hal ini sama saja
merupakan penyangkalan terhadap eksistensi hukum internasional.
Dipelopori
Mazhab Bonn, berpendapat sebagai berikut[20]: 1) hukum nasional lebih utama, 2) hukum
internasional hanya kelanjutan hukum nasional, 3) hukum internasional tidak
lain daripada hukum negara untuk urusan luar negari suatu negara, 4) hukum
internasional bersumber dari hukum nasional. Pengikut pandangan primat hukum
nasional antara lain: Mazhab Bon yaitu Max Wenzel.
Pada hakikatnya pandangan merupakan penyangkalan
terhadap adanya hukum internasional[21], walaupun secara teoritis dan konstruksi
logika berpikir yang dikemukakan mungkin saja terjada pada kenyataannya.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Kedudukan Hukum Nasional Irak Terhadap Hukum
Internasional
Masalah penyelesaian sengketa antar negara telah
menyebabkan terciptanya prosedur-prosedur yang berjangka luas meliputi
perundingan, jasa-jasa baik, penyelidikan, penengahan, konsiliasi, arbitrase,
dan penyelesaian hukum[22]. Salah satu penyelesaian permasalahaan
hukum internasional yang melalui jalur hukum adalah pengadilan Saddam Husein.
Pengadilan Saddam Hussein ialah pengadilan yang
dibuat oleh Pemerintah Sementara Irak atas presiden terguling Irak Saddam
Hussein atas tuduhan kejahatan terhadap
kemanusiaan semasa pemerintahannya. Pada tanggal 9
Desember 2003, Otoritas Sementara Koalisi mengusulkan pembentukan Pengadilan Khusus Irak[23],yang terdiri atas 5 hakim Irak, untuk
mengadili Saddam Hussein dan beserta 11 eks petinggi Irak lainnya untuk
dakwaan kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, dan genosida. Mereka
menghadapi tuduhan kejahatan perang, yang kemungkinan termasuk pembantaian suku
Kurdi (1988) dan invasi Kuwait (1990).
Dewan Keamanan (DK) PBB pernah menjatuhkan akibat
invasi Irak ke Kuwait. DK menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Irak dan mulai
berlaku pada tanggal 6 Agustus 1990 yaitu setelah 4 hari invasi Irak ke Kuwait[24]. Sanksi dijatuhkan karena Irak telah
mengabaikan keputusan DK untuk menarik diri dari Kuwait. Pada tanggal 29
Nopember 1990 dijatuhkan sanksi militer, kemudian disusul serangan laut, udara,
dan darat.
Perang merupakan situasi daraurat yang terpaksa
dilakukan orang, sifatnya keras atau kasar[25]. Namun dibalik kekerasan tersebut
dituntut adanya kewajaran, tindakan diluar kewajran mengakibatkan dikenal
penjahat perang. Yang berhak mengadili para penjahat perang adalah negara
terhadap warga negaranya sendiri maupun pihak yang berperang.
Amnesti Internasional menyatakan
pengadilan itu "tidak wajar" danHuman Rights Watch mencatat
bahwa eksekusi Saddam “mengikuti pengadilan cacat dan menandai langkah
berarti menjauhi aturan hukum di Irak”[26]. Saddam ditangkap pada 13 Desember 2003[27] dan bersama para pejabat senior
Ba’ath tetap dan ditahanan di Camp Cropper, Baghdad.
Perhatian khusus untuk aktivitas-aktivitas kampanye berdarah
terhadap Orang Kurdi di utara selama Perang Iran-Irak, terhadap
Syiah di selatan (1991 dan 1999) untuk meredam pemberontakan, dan di Dujail setelah percobaan pembunuhan yang
gagal pada tanggal 8 Juli 1982, selama Perang Iran-Irak. Saddam menegaskan
dalam pembelaannya bahwa ia telah dijatuhkan secara tidak sah, dan tetap
menjadi Presiden Irak[28].
Pengadilan pertama dimulai sebelum Pengadilan Khusus
Irak pada tanggal 19 Oktober 2005[29]. Dalam kasus ini, Saddam dan 7 terdakwa
lainnya diadili atas kejahatan terhadap kemanusiaan dengan memandang pada
peristiwa yang berlangsung setelah pembunuhan yang gagal di Dujail pada tahun
1982[30]. Pengadilan kedua yang terpisah dimulai
pada 21 Agustus 2006 mendakwa Saddam dan 6 ko-terdakwa atas genosida selama
Kampanye Al-Anfal terhadap suku Kurdi di Irak Utara. Saddam juga
diadili in absentia[31] untuk peristiwa pada masa Perang
Iran-Irak dan invasi Kuwait.
Pada tanggal 5 November 2006, Saddam dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung[32]. Pada tanggal 25 Desember 20006, banding
Saddam ditolak dan hukuman mati ditegakkan[33]. Tidak ada banding lanjutan yang
diterima dan Saddam diperintahkan dieksekusi dalam 30 hari sejak tanggal itu.
Tempat dan waktu hukuman mati dirahasiakan hingga hukuman dilaksanakan. Saddam Hussein dieksekusi dengan digantung pada
tanggal 30 Desember 2006[34]. Dengan kematiannya, dakwaan
lain digugurkan.
Presiden Irak Saddam Husein yang ditangkap oleh
tentara AS (Sekutu) dan kemudian di adili di Baghdad karena dianggap melanggar
Hukum Internasional yaitu melakukan kejahatan perang, kejahatan
kemanusiaan, dan genosida. Kemudian ia dijatuhi divonis mati dan dihukum gantung.
Kasus tersebut menggambarkan fenomena praktek Hukum Internasional.
Pada umumnya kejahatan dipandang sebagai musuh umat
manusia dan oleh karena ini umat manusia berkewajiban untuk memberantasnya.
Kejahatan genocide atau kejahatan pemusnahan ras telah diatur
dalam Konvensi Genocide tahun 1948[35]. Lahirnya Konvensi ini tidak lepas dari
akibat pembantaian ratusan ribu orang Yahudi oleh Nazi dibawah pimpinan Hitler.
Jerman, Jepang, Italia didakwa sebagai penyebab Perang Dunia II digolongkan
kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan. Sampai tahun 2003 atas dasar
konvensi internasional sejak tahun 1812 ada 28 kategori kejahatan internasional[36]. Namun pada umumnya kita mengenal tiga
kejahatan internasional yaitu, kejahatan perang, kejahatan terhadap
kemanusiaan, dan kejahatan genocide.
Kejahatan Saddam masuk dalam kategori kejahatan
atas kemanusiaan (crime against humanity). Dalam pandangan hukum
internasional, kejahatan atas kemanusiaan sama statusnya dengan penjahat perang
dan genosida. Tiga kategori perbuatan tersebut telah melampaui batas-batas
wilayah teritori kedaulatan negara. Artinya, ketika seseorang melakukan
jenis-jenis kejahatan tersebut, maka ia tidak lagi terlindungi oleh kedaulatan
mana pun (hak imunitas), sebab kejahatannya telah berubah menjadi kejahatan internasional.
Pada 17 Juni 1998 Statuta Roma melahirkan Mahkamah
Kejahatan Internasional/ Mahkamah Pidana Internasional (Internasional
Court of Crime/ ICC) permanen yang dihadiri 148 negara[37]. Hasil pemungutan suara terdiri dari 120
negara mendukung, 7 negara menentang, 21 negara abstain. Amerika, China dan
Irak adalah tiga dari tujuh negara yang menentang. Kendati 120 negara mendukung
sampai 18 Juni 2008 tercatat baru 108 negara yang meratifikasi Statuta Roma.
Mahkamah di bawah PBB dan tempat berkedudukan
Den Haag, Belanda. Bahasa yang digunakan sama dengan bahasa resmi PBB, yaitu
bahasa Arab, China, Inggris, Perancis, Rusia dan Spanyol. Badan kelengkapan
meliputi: kepresidenan, divisi banding, divisi, pengadilan, divisi
prapeladilan, kantor jaksa penuntut umum, dan kepaniteraan. Saat ini ada 15
hakim yang bertugas di Mahkamah yang berasal dari berbagai negara. Sejak
terbentuk 1998, Mahkamah mulai efektif berlaku sejak 1 Juli 2002[38]. Pertama kali mengadili kasus kejahatan
perang di Republik Demokratik Congo terdakwa Thomas Lubanga Dyilo
(Pimpinan Union of Congolese Patriots).
Yuridiksi Mahkamah meliputi kejahatan agresi,
kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang[39]. Sampai saat ini belum ada kesepakatan
mengenai definisi kejahatan agresi. Definisi kejahatan genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang tertuang dalam Pasal 6, Pasal 7,
Pasal 8 Statuta Roma.
Kendala yang dihadapi Mahkamah Kejahatan
Internasional adalah kesediaan negara-negara untuk menyerahkan pelaku
kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, dan genosida untuk diadili di hadapan
Mahkamah, mengingat negara-negara memiliki kedaulatan yang cenderung untuk
mengadili sendiri berdasarkan hukum nasionalnya, jika negara itu adalah negara
yang belum bahkan menolak untuk meratifikasi Statuta Roma. Irak salah satu dari
7 negara yang menolak statuta tersebut dan dipastikan tidak meratifiksai
Statuta Roma.
Bagi setiap negara yang meratifikasi Statuta Roma,
maka berkewajiban menaati statuta tersebut. Berkaitan dengan hubungan hukum
internasional dan hukum nasional, kasus Saddam Hussein membuktikan kedudukan
hukum nasional Irak lebih tinggi (Primat Hukum Nasional). Dalam proses
pengadilan tersebut penuh rekayasa (tidak wajar), karena hakimnya dipilih oleh
Pemerintah Sementara Irak bukan oleh sistem peradilan independen (terlepas dari
kekuasaan eksekutif maupun legislatif). Penulis berpendapat, bahwa kasus ini
hendaknya diadili Mahkamah Kejahatan Internasional bukan di pengadilan buatan
pemerintah. Selain itu, kejahatan yang dilakukan Saddam Hussein termasuk dalam
yuridiksi Mahkamah, hendaknya diadili menurut hukum internasional.
Berdasarkan praktek hukum Internasional pada kasus
Saddam Husein, yang berlaku adalah Teori Monoisme Primat Hukum Nasional.
Penulis memberikan dapat memberikan argumentasi atas pernyataan tersebut. Pertama,
aturan yang berlaku sesuai Statuta Roma, bahwa pelaku kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, dan genosida diadili oleh Mahkamah Kejahatan
Internasional menurut hukum internasional bukan pengadilan nasional. Kejahatan
yang dilakukan Saddam Hussein tersebut merupakan yuridiksi atau kewenang
Mahkamah Kejahatan Internasional. Kedua, Irak belum meratifikasi
Statuta Roma sebagai hukum nasionalnya. Jadi berlakunya hukum internasional
menjadi hukum nasional harus melalui ratifikasi. Ratifikasi menjadi bukti
bahwa, hukum internasional dapat berlaku jika ada kemauan dari negara. Dua hal
tersebut yang dijadikan alasan bahwa, pada kasus kasus Saddam Husein kedudukan
hukum nasional Irak lebih utama atau lebih tinggi daripada hukum internasional
(Teori Monoisme Primat Hukum Nasional).
B.
Saddam Hussein Sebagai Subjek Hukum Internasional
Untuk dapat
disebut sebagai subjek Hukum Internasional, suatu entitas harus memiliki personalitas Hukum Internasional. Sebelumnya, agar suatu entitas dapat dikatakan telah memiliki
personalitas Hukum Internasional harus memiliki beberapa kecakapan tertentu, yaitu:
1.
Mampu
mendukung hak dan kewajiban internasional.
2.
Mampu
melakukan tindakan tertentu yang bersifat internasional.
3.
Mampu
menjadi pihak dalam pembentukan perjanjian internasional.
4.
Memiliki
kemampuan untuk melakukan penuntutan terhadap pihak yang melanggar kewajiban
internasional.
5.
Memiliki
kekebalan dari pengaruh/penerapan yurisdiksi nasional suatu Negara.
6.
Dapat
menjadi anggota dan berpartisipasi dalam keanggotaan suatu organisasi
internasional
Subyek Hukum Internasional
dewasa ini bukan hanya negara saja. Selain itu, adalah tahta suci vatikan, palang merah internasional,organisasi
internasional, individu, pemberontak, pihak dalam sengketa dan
subjek hukum lain yang diatur menurut ketentuan hukum internasional. Pada kasus
Saddam Hussen, ia dianggap subjek hukum internasional, yaitu sebagai individu.
Kedudukan individu sebagai subjek hukum internasional
tidak perlu diragukan lagi. Pada awal masa pertumbuhan hukum internasional,
individu hanyalah sebagai subjek hukum nasional. Sedangkan subjek hukum
internasioanal bahkan satu-satunya adalah negara. Sekarang ini, individu dalam
batas tertentu dapat bertindak secara mandiri dengan melakukan perbuatan hukum
intenasional atas nama atau untuk dirinya sendiri. Demikian pula individu dapat
dibebani kewajiban internasional dan dimintai pertanggung jawaban secara
langsung di tingkat internasioanal atas perbuatannya yang bertentangan dengan
ketentuan hukum internasional[40].
Pengakuan individu sebagai subjek hukum internasional
berkaitan erat dengan prinsip dan kaidah hukum internasioanl yang memberkan hak
dan memebebani kewajiban secara langsung kepada individu[41]. Pada hakikatnya pengakuan individu
sebagai subjek hukum internasioanl berhubungan dengan permasalahan hak dan
kewajiban asasi manusia merupakan hal yang universal tanpa mengenal batas
wilyah negara.
Pada Perjanjian Perdamaian Varsailles tahun 1919 sudah
ada pasal yang memungkinkan orang perorangan (person) mengajukan
perkara ke Mahkamah Arbitrase Internasional[42]. Hal serupa ditemukan dalam Perjanjian
antara Jerman dan Polandia tahun 1922 mengenai Silesia Atas. Pada
perkembangannya lebih penting individu menjadi subjek hukum internasional ialah
keputusan Mahkamah Internasional menyangkut pegawai kereta api Danzig. Karena
sifatnya diktum Mahkamah, keputusan tersebut memperkuat arah perkembangan
individu sebagai subjek hukum internasioanal. Tahap penting berikutnya adalah
penuntutan penjahat pernag dihadapan Mahkamah Kejahatan Perang Internasional.
Pada prakteknya, terjadi dimana Mahkamah Militer
Internasional yang bersidang di Nurenbreg (Jerman) dan Tokyo (Jepang) pada
tahun 1946 meminta secara langsung pertanggungjawaban atas tindakan para
pemimpin Jerman dan Jepang yang dituduh berbagai pihak mengobarkan Perang Dunia
II[43]. Mereka dituduh melakukan kejahatan
perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan
individu sebagai penjahat perang harus mempertanggungjawabkan sendiri
tindakannya yang melanggar ketentuan hukum internasioanal. Dengan kata lain,
individu dalam contoh tersebut berkedudukan sebagai subjek hukum internasional.
Melihat perkembangan tersebut berkaitan dengan
individu sebagai subjek hukum internasional Pengadilan Nurenberg dan Tokyo
memiliki arti sejarah (historis) yang sangat penting. Sangat
jelas bahwa, seseorang dianggap bertanggungjawab langsung sebagai individu atas
perbuatannya, dan ia tidak mendapat perlindungan dari negaranya.
Biossioni memberikan definisi kejahatan internasional
sebagai tindakan yang ditetapkan di dalam konvensi multilateral, diikuti
sejumlah negara dan didalamnnya terdapat sepuluh karakteristik pidana[44]. Bryan
A. Ganner memberikan definisi kejahatan internasioanal sebagai kejahatan
terhadap hukum internasional, antara lain::
1. tindakan
yang berdasarkan perjanjian internasional mengikat individu secara langsung
tanpa diatur hukum nasional.
2. Ketentuan
hukum internasional yang mengharuskan penuntutan tindakan yang dipidana
berdasarkan prrinsip yuridiksi universal[45].
Dalam fenomena praktek hukum internasional di Irak
(Kasus Saddam Hussein) yang bertanggungjawab adalah Saddam Hussein dan para
pejabat Irak sebagai Individu, bukan tanggungjawab negara. Tahap terpenting pengakuan individu sebagai subyek hukum
internasionaladalah ketika adanya penuntutan
penjahat-penjahat perang di hadapan Mahkamah Kejahatan
Internasional yang diadakan khusus untuk itu
oleh negara-negara sekutu yang menang perang.
Saddam Hussein Abd al-Majid al-Tikriti (Arab:صدام حسين عبد المجيد التكريتي Saddām Husayn Aabdu-Al-majīd al-tikrītī; lahir di
Al-Awja, Irak, 29 April 1937 – meninggal di Kadmiya, Irak, 30 Desember 2006
pada umur 69 tahun)[46] adalah Presiden Irak pada periode
16 Juli 1979 hingga 9 April 2003, ketika tertangkap oleh pasukan koalisi saat
menginvasi Irak pada tahun 2003.
Saddam Hussein harus mempertanggungjawabkan atas
tuduhan kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan genosida semasa memerintah
Irak. Sehingga Saddam Hussein-lah yang berdiri sebagai subyek hukum bukan
negara Irak. Penulis meluruskan bahwa yang diadili bukan Saddam seorang,
melainkan juga para eks petinggi Irak lainnya yang dianggap
bertanggungjawab atas kejahatan tersebut. Dalam hukum internasional, individu
pun merupakan subjek. Namun sebagaimana asas hukum yang berlaku universal,
seharusnya Saddam Hussein tetap diperlakukan sebagai orang yang belum bersalah
sebelum divonis pengadilan (asas praduga tak bersalah). Hak-haknya tetap harus
dilindungi sebagai terdakwa, terutama mendapat bantuan hukum.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Beradasarkan pembahasan yang disajikan penulis pada BAB II, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
Kedudukan Hukum Nasional Irak Terhadap Hukum
Internasional
Berdasarkan
praktek Hukum Internasional pada kasus Pangadilan Saddam Husein mantan Presiden
Irak, teori hubungan internasional dengan hukum nasional yang berlaku adalah
Teori Monoisme Primat Hukum Nasional. Berdasarkan fakta yang ada, kedudukan
hukum nasional Irak lebih tinggi daripada hukum internasional. Penulis
memberikan dua alasan mengapa pada kasus ini lebih mengutamkan hukum nasional
Irak.
Ø aturan yang
berlaku sesuai Statuta Roma, bahwa pelaku kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, dan genosida diadili oleh Mahkamah Kejahatan
Internasional menurut hukum internasional bukan oleh pengadilan nasional.
Kejahatan yang dilakukan Saddam Hussein merupakan yuridiksi Mahkamah Kejahatan
Internasional, karena ia dianggap melakukan kejahatan tersebut. Tetapi pada
kenyataanya Saddam diadili menurut hukum nasional Irak.
Ø Irak belum
meratifikasi (mengadopsi) Statuta Roma. Jadi berlakunya hukum internasional
menjadi hukum nasional harus melalui ratifikasi. Ratifikasi menjadi bukti
bahwa, hukum internasional dapat berlaku jika ada kemauan dari negara. Sehingga
kedudukan hukum nasional lebih tinggi dari hukum internasional dengan adanya
ratifikasi.
2.
Saddam Hussein Sebagai Subjek Hukum Internasional.
Subyek Hukum Internasional
dewasa ini bukan hanya negara saja. Selain itu ada subjek lain, yaitu tahta suci vatikan, palang merah internasional, organisasi
internasional, individu, pemberontak, pihak dalam sengketa dan
subjek lain yang diatur menurut hukum internasional. Pada kasus Saddam Hussen,
ia dianggap subjek hukum internasional, yaitu sebagai individu.
Melihat perkembangan tersebut
berkaitan dengan individu sebagai subjek hukum internasional Pengadilan Nurenberg dan Tokyo memiliki arti
sejarah yang sangat penting. Sangat jelas bahwa dalam
hukum internasional, seseorang atau pribadi dianggap mampubertanggungjawab langsung sebagai individu atas perbuatannya, dan ia tidak
mendapat perlindungan dari negaranya.
Tahap
terpenting pengakuan individu sebagai subyek hukum
internasional adalah ketika adanya
penuntutan penjahat-penjahat perang di hadapan Mahkamah Kejahatan Internasional. Saddam Hussein harus mempertanggungjawabkan secara
pribadi atas tuduhan kejahatan
kemanusiaan, kejahatan perang dan genosida semasa memerintah Irak. Kejahatan
yang ditudukkan tersebut, diatur dalam hukum internasional.Sehingga Saddam Hussein-lah yang berdiri sebagai subyek hukum internasional bukan negara Irak. Dengan kata lain, kedudukan Saddam
Husseinsebagai subjek hukum internasional adalah sebagai individu.
B.
Saran
Penulis dapat memberikan rekomendasi
sebagai berikut:
1.
Hendaknya apabila Saddam Hussein diadili menurut hukum
nasional Irak, hakimnya dipilih oleh menurut aturan yang berlaku. Sistem
peradilan yang mengadilinya pun independen, terlepas dari kekuasaan eksekutif
maupun legislatif. Peradilan yang bersih dapat memberi rasa keadilan baik bagi
terdakwa maupun korban. Selain itu, seperti kasus Saddam Hussein hendaknya
diadili Mahkamah Kejahatan Internasional bukan di pengadilan “buatan”
pemerintah Irak, karena kejahatan yang dituduhkan merupakan kewenangan
Mahkamah.
2.
Sebagaimana asas hukum yang berlaku universal,
seharusnya Saddam Hussein tetap diperlakukan sebagai orang yang belum bersalah
sebelum divonis pengadilan (asas praduga tak bersalah). Hak-haknya tetap harus
dilindungi sebagai terdakwa, terutama mendapat bantuan hukum. Ia harus tetap
diperlakukan secara adil dan manusiawi, walaupun kebanyakan orang menganggap ia
adalah penjahat.
DAFTAR PUSTAKA
Bowett, D.W.
1992. Hukum Organisasi Internasional. Diterjemahkan oleh: Bambang
Iriana Djajaatmadja, SH. Jakarta: Sinar Grafika.
Bownlie,
Ian. 1998. Prinsip-Prinsip Hukum Internasional Publik.
Diterjemahkan oleh: Edy Suryono, SH, MH. Surakarta: UNS Press.
Effendi,
H.A. Mansyur. 1994. Hukum Humaniter Internasional dan Pokok-Pokok
Doktrin Hankamrata. Surabaya: Usaha Nasional.
Hiariej,
Eddy O.S. 2009. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Jakarta:
Erlangga.
I Wayan,
Parthiana. 1990. Ekstadisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum
Nasioanal Indonesia. Bandung: Mandar Maju.
_______.
1990. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju.
Kanal Berita
Liputan6.com. Kronologi Penangkapan Saddam Hussein. Diperoleh 7 April 2013, dari:
http://news.liputan6.com/.
Kusumaatmadja,
Mochtar. 1999. Pengantar Hukum Internasional Buku I – Bagian Umum.
Bandung: Putra Abardin.
Likadja,
F.E. & Bessie, D.F. 1988. Desain Intruksional Dasar Hukum
Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Starke, J.G.
1992. Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh. Diterjemahkan
oleh: Bambang Iriana Djajaatmadja, SH. Jakarta Sinal Grafika.
Suryokusumo,
Sumaryo. 1997. Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional. Alumni:
Bandung. Halaman
Wallace,
Rebecca M.M. 1993. Pengantar Hukum Internasional. Diterjemahkan
oleh: Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH. Semarang: IKIP Semarang Press.
Wikipedia
Ensiklopedia. Diperoleh 7 April 2013, dari:http://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_Saddam_Hussein/.
Wikipedia
Ensiklopedia. Diperoleh 7 April 2013, dari:
http://id.wikipedia.org/wiki/Saddam_Hussein/.
[1]
Frans E. Likadja dan Daniel Fras
Bessie, Desain Intruksional Dasar Hukum Internasional, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1988, Halaman 51.
[2]
J.G. Starke, Pengantar Hukum
Internasional Edisi Kesepuluh, Diterjemahkan oleh: Bambang Iriana
Djajaatmadja, SH., Jakarta Sinal Grafika, 1992, Halaman 3.
[3]
Frans E. Likadja dan Daniel Fras
Bessie, Loc.Cit., Halaman 51,
[4]
I Wayan Parthiana, Pengantar
Hukum Internasional, Bandung: Mandar Maju, 1990, Halaman 58.
[5]
Ian Bownlie, Prinsip-Prinsip
Hukum Internasional Publik, Diterjemahkan oleh: Edy Suryono, SH, MH.,
Surakarta: UNS Press, 1998, Halaman 67.
[6]
I Wayan Parthiana. Loc.Cit., Halaman
58
[7]
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar
Hukum Internasional Buku I – Bagian Umum, Bandung: Putra Abardin, 1999,
Halaman 68-70.
[8]
I Wayan Parthiana. Op.Cit., Halaman
59.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar