Minggu, 11 Mei 2014

TEORI HUKUM

TEORI HUKUM

OLEH
YOSEP COPERTINO APAUT, SH


Zoon politicon, sebuah istilah yang di ajarkan oleh Aristoteles yang menyatakan bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dengan manusia yang lain. Ajaran ini adalah salah satu gambaran bahwa manusia membutuhkan keberadaan manusia yang lain untuk mengatasi permasalahannya. Walaupun telah hidup bermasyarakat bukan berarti manusia tersebut dapat sepenuhnya terhindar dari permasalahan. Homo homini lupus, adalah istilah dari Plautus Asinaria (495 M) yang menggambarkan bahwa manusia diibaratkan sebagai serigala bagi manusia yang lainnya.Manusia dapat menyelesaikan atau mendatangkan permasalahan bagi mannusia lainnya. 

Kehidupan masyarakat selalu berkembang dengan dinamis, begitu juga dengan masalah yang ditimbulkannya. Permasalahan yang yang ada di masyarakat selalu berkembang semakin rumit. Dalam keadaan yang demikian itu dibutuhkan sesuatu untuk menyelesaikan permasalahn tersebut, kemudian lahirlah hukum. Hukum mengatur interaksi antara manusia satu dengan lainnya. 

Sejak dulu hingga saat ini, masyarakat dihadapkan pada berbagai teori tentang hukum yang lahir pada setiap babak perjalanan sejarah hukum, Pada umumnya suatu teori hukum tidaklah dapat dilepaskan dari lingkungan zamannya. Setiap teori hukum ada masa gemilang dan ada masa merosot. Masa gemilang dicapai ketika sesuai dengan zaman dan jika kadar unsur-unsur kekuatan (strength points) dari teori tersebut jauh melebihi kadar unsur kelemahannya (weak points). Di lain sisi, pada saat kadar weak points meningkat, saat itulah teori tersebut mulai ditinggalkan. 

Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya. Teori hukum berisi keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. 

Tujuan teori hukum adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan, membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofinya yang tertinggi. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak adahubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus.[1]

Teori hukum dipelajari sudah sejak zaman dahulu, para ahli hukum Yunani maupun Romawi telah membuat pelbagai pemikiran tentang hukum sampai kepada akar-akar filsafatnya. Sebelum abad kesembilan belas, teori hukum merupakan produk sampingan yang terpenting dari filsafat agama, etika atau politik. Para ahli fikir hukum terbesar pada awalnya adalah ahli-ahli filsafat, ahli-ahli agama, ahli-ahli politik. Perubahan terpenting filsafat hukum dari para pakar filsafat atau ahli politik ke filsafat hukum dari para ahli hukum, barulah terjadi pada akhir-akhir ini. Yaitu setelah adanya perkembangan yang hebat dalam penelitian, studi teknik dan penelitian hukum. Teori-teori hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori filsafat dan politik umum. 

Sedangkan teori-teori hukum modern dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri. Perbedaannya terletak dalam metode dan penekanannya. Teori hukum para ahli hukum modern seperti teori hukum para filosof ajaran skolastik, didasarkan atas keyakinan tertinggi yang ilhamnya datang dari luar bidang hukum itu sendiri. 

Sampai saat ini ada empat teori hukum yang terkenal, empat teori hukum tersebut yaitu:

1. TEORI-TEORI YUNANI DAN ROMAWI (KLASIK)

a. Sebelum abad ke-6 SM 
Pada masa itu, manusia harus bertahan hidup dari ganasnya alam. Teori ini adalah mengenai hukum sebagai kekuatan, benar-benar merupakan strategi ‘bertahan hidup’ dari manusia zaman itu yang memilih adaptasi terhadap alam. Sesuai tingkat peradaban masa itu, maka alam dijadikan sebagai titik-tolak analisis. Pada masa ini terjadi suatu yang dinamakan seleksi alam. Siapa yang kuat dan cerdik, ia selamat. Dan siapa yang mampu selamat, dia berkesempatan menjadi sumber hukum.[2]

b. Setelah abad ke-6 SM 
Masuk abad ke-6 SM yang berlanjut hingga abad ke-1 SM, teori kekuasaan alam telah “berpindah” ke manusia lewat logos (akal). Logos merupakan akal dewa-dewi yang mencerahkan dan menuntun manusia pada pengenalan akan yang ’benar’, ‘baik’, dan ‘patut’. Berkat logos yang mencerahkan itu, dimungkinkan terciptanya suasana keteraturan (nomos). Nomos inilah yang menjadi petunjuk hidup di dunia riil. Esensi nomos sebenarnya soal kepatutan. Kepatutan untuk menjunjung keadilan, menjamin keamanan, serta mendatangkan kesejahteraan. Karena nomos mengandung moral logos, maka pelanggar terhadap nomos perlu dihukum karena dianggap melakukan kesombongan.[3]

c. Teori Socrates 
Bagi Socrates, sesuai dengan hakikat manusia, maka hukum merupakan tatanan kebajikan. Tatanan yang mengutamakan kebajikan dan keadilan bagi umum. Hukum bukanlah aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu orang kuat (kontra filsuf Ionia), bukan pula aturan untuk memenuhi naluri hedonisme diri (kontra kaum Sofis). Hukum sejatinya adalah tatanan objektif untuk mencapai kebajikan dan keadilan umum.

d. Teori Plato 
Dengan mengambil inti ajaran kebijaksanaan Socrates, Plato sang murid, juga mengaitkan hukum dengan kebijaksanaan dalam teorinya tentang hukum. Akan tetapi ia tidak menempatkan kebijaksanaan dalam konteks mutu pribadi individu warga polis. Sebaliknya, ia mengaitkan kebijaksanaan dengan tipe ideal negara polis di bawah pimpinan kaum aristokrat. Dasar perbedaan tersebut terletak pada perbedaan asumsi tentang peluang kesempurnaan pada manusia. Bagi Socrates, secara individual manusia dimungkinkan mencapai kesempurnaan jiwa secara swasembada. Sedangkan Plato tidak percaya pada tesis gurunya tersebut. Bagi Plato kesempurnaan individu hanya mungkin tercipta dalam konteks negara di bawah kendali para guru moral, para pimpinan yang bijak, para mitra bestari, yakni kaum aristokrat. 

e. Teori Aristoteles 
Aristoteles mengaitkan teorinya tentang hukum dengan perasaan sosial-etis yang bukanlah bawaan alamiah ‘manusia sempurna’ versi Socrates, bukan pula mutu ‘kaum terpilih’ (aristocrat) model Plato. Perasaan sosial-etis ada dalam konteks individu sebagai warga negara (polis). Berdiri sendiri lepas dari polis, seorang individu tidak saja bakal menuai ‘bencana’, tetapi juga akan cenderung liar dan tak terkendai. Oleh sebab itu, hukum seperti halnya polis, merupakan wacana yang diperlukan untuk mengarahkan manusia pada nilai-nilai moral yang rasional. Inti manusia moral yang rasional menurut Aristoteles adalah memandang kebenaran (theoria, kontemplasi) sebagai keutamaan hidup (summum bonum). Dalam rangka ini, manusia dipandu dua pemandu, yakni akal dan moral. Akal (rasio, nalar) memandu pada pengenalan hal yang benar dan yang salah secara nalar murni, serta serentak memastikan mana barang-barang materi yang dianggap baik bagi hidupnya. 

f. Teori Epicurus 
Epicurus membangun teorinya tentang hukum melalui konteks etika epicurunisme di mana tujuan kehidupan adalah kebahagiaan yang hanya mungkin tercipta jika tiada penderitaan jiwa-raga. Segala sesuatu yang dapat menyusahkan jiwa raga harus dihindari begitu juga kesenangan sensual dan indrawi yang mengakibatkan sakit raga dan penderitaan jiwa pun harus dijauhi. Gagasan utamanya adalah gagasan atomistik (individu-individu yang terpisah), yang muncul di tengah peperangan dan pergolakan politik yang melanda polis polis. Hukum diperlukan untuk mengatur kepentingan-kepentingan individu secara damai demi terjaganya keamanan raga dan kedamaian jiwa. Oleh karena itu, tugas hukum adalah sebagai instrument ketertiban dan keamanan bagi individu-individu yang sama-sama merindukan hidup tenang dan tentram. 



2. TEORI HUKUM ALAM 
Teori hukum alam telah ada sejak zaman dahulu yang antara lain diajarkan oleh Aristoteles, yang mengajarkan bahwa ada dua macam hukum, yaitu:[5]

a. Hukum yang berlaku kerena penetapan kekuasaan Negara. 
b. Hukum yang tidak tergantung dari pandangan manusia mana yang baik buruknya hukum yang “Asli”. Menurut Aristoteles, pendapat orang tentang “Keaslian” adalah tidak sama, sehingga seakan-akan tidak ada hukum alam yang “Asli”. Teori ini kemudian dinamakan Teori Hukum Alam. Hukum Alam itu adalah “hukum yang oleh orang-orang berfikir sehat dirasakan sebagai selaras dengan kodrat alam”. 

Thomas Van Aquino (1225-1274) berpendapat, bahwa segala kejadian di alam dunia ini diperintah dan dikemudikan oleh suatu “ Undang-Undang Abadi” (lex eterna) yang menjadi dasar kekuasaan dari semua peraturan-peraturan lainnya. 

Lex Eterna ini adalah kehendak dan pikiran tuhan yang menciptakan dunia ini. Manusia dikaruniai tuhan dengan kemampuan berpikir dan kecakapan untuk dapat membedakan baik dan buruk serta mengenal berbagai peraturan-perundangan yang langsung berasal dari “Undang-undang Abadi” itu dan yang oleh Thomas Van Aquino dinamakan “Hukum Alam” (Lex Naturalis).[6]

Hukum Alam tersebut hanyalah memuat asas-asas umum seperti misalnya: 
·                     Berbuat baik dan jauhi perbuatan jahat. 
·                     Bertindaklah menurut pikiran yang sehat. 
·                     Cintailah sesamamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri. 
Menurut Thomas Van Aquino, asas-asas pokok tersebut mempunyai kekuatan yang mutlak, tidak mengenal pengecualian, berlaku di mana-mana dan tetap tidak berubah sepanjang zaman. 



3. POSITIVISME DAN UTILITARIANISME 
Selama abad XIX manusia semakin sadar akan kemampuannya untuk mengubah keadaan dalam segala bidang. Dalam abad ini pula muncul gerakan positivisme dalam ilmu hukum. 

Oleh H.L.A Hart (lahir tahun 1907), seorang pengikut positivisme diajukan berbagai arti dari positivisme sebagai berikut:[7]
Ø  Hukum adalah perintah. 
Ø  Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan. Analisis yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan historis serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis. 
Ø  Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada terlebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas. 
Ø  Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian. 
Ø  Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Inilah yang sekarang sering kita terima sebagai pemberian arti terhadap positivisme ini. 
John Austin (1790-1859), menyatakan bahwa hukum adalah sejumlah perintah yang keluar dari seorang yang berkuasa didalam negara secara memaksakan, dan biasanya ditaati. John Austin mengartikan ilmu hukum sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat didalam suatu negara.[8]

Jeremy Bentham (1748-1832) adalah seorang penganut utilitarian yang menggunakan pendekatan tersebut kedalam kawasan hukum. Pendapatnya adalah bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan. Tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk melayani kebahagiaan paling besar dari sejumlah terbesar rakyat.[9]



4. TEORI HUKUM MURNI 
Menurut Hans Kelsen (1881-1973), hukum murni tidak mengenal kompromi, yaitu yang bebas dari naluri, kekerasan, keinginan-keinginan dan sebagainya. 

Teori hukum murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika. Dasar-dasar pokok teori Hans Kelsen adalah sebagai berikut : 
Ø  Tujuan teori tentang hukum adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity). 
Ø  Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada. 
Ø  Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam. 
Ø  Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan efektifitas norma-norma hukum. 
Ø  Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik. 
Ø  Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada. 

Salah satu ciri yang menonjol pada teori hukum murni adalah adanya suatu paksaan. Setiap hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa. Bagian lain dari teori Hans Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai Grundnorm, yaitu suatu dalil yang akbar yang tidak dapat ditiadakan yang menjadi tujuan dari semua jalan hukum. Grundnorm merupakan induk untuk melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar