TEORI HUKUM
OLEH
YOSEP COPERTINO APAUT, SH
Zoon politicon, sebuah istilah yang di
ajarkan oleh Aristoteles yang menyatakan bahwa manusia dikodratkan untuk hidup
bermasyarakat dengan manusia yang lain. Ajaran ini adalah salah satu gambaran
bahwa manusia membutuhkan keberadaan manusia yang lain untuk mengatasi
permasalahannya. Walaupun telah hidup bermasyarakat bukan berarti manusia
tersebut dapat sepenuhnya terhindar dari permasalahan. Homo homini lupus,
adalah istilah dari Plautus Asinaria (495 M) yang menggambarkan bahwa manusia
diibaratkan sebagai serigala bagi manusia yang lainnya.Manusia dapat
menyelesaikan atau mendatangkan permasalahan bagi mannusia lainnya.
Kehidupan masyarakat selalu berkembang
dengan dinamis, begitu juga dengan masalah yang ditimbulkannya. Permasalahan
yang yang ada di masyarakat selalu berkembang semakin rumit. Dalam keadaan yang
demikian itu dibutuhkan sesuatu untuk menyelesaikan permasalahn tersebut,
kemudian lahirlah hukum. Hukum mengatur interaksi antara manusia satu dengan
lainnya.
Sejak dulu hingga saat ini, masyarakat
dihadapkan pada berbagai teori tentang hukum yang lahir pada setiap babak
perjalanan sejarah hukum, Pada umumnya suatu teori hukum tidaklah dapat
dilepaskan dari lingkungan zamannya. Setiap teori hukum ada masa gemilang dan
ada masa merosot. Masa gemilang dicapai ketika sesuai dengan zaman dan jika
kadar unsur-unsur kekuatan (strength points) dari teori tersebut jauh melebihi
kadar unsur kelemahannya (weak points). Di lain sisi, pada saat kadar weak
points meningkat, saat itulah teori tersebut mulai ditinggalkan.
Teori hukum adalah ilmu pengetahuan
mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya. Teori hukum
berisi keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem
konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut
untuk sebagian yang penting dipositifkan.
Tujuan teori hukum adalah untuk
mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan, membuat jelas
nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofinya
yang tertinggi. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak
adahubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum. Teori hukum adalah formal,
suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus.[1]
Teori hukum dipelajari sudah sejak zaman
dahulu, para ahli hukum Yunani maupun Romawi telah membuat pelbagai pemikiran
tentang hukum sampai kepada akar-akar filsafatnya. Sebelum abad kesembilan
belas, teori hukum merupakan produk sampingan yang terpenting dari filsafat
agama, etika atau politik. Para ahli fikir hukum terbesar pada awalnya adalah
ahli-ahli filsafat, ahli-ahli agama, ahli-ahli politik. Perubahan terpenting
filsafat hukum dari para pakar filsafat atau ahli politik ke filsafat hukum
dari para ahli hukum, barulah terjadi pada akhir-akhir ini. Yaitu setelah
adanya perkembangan yang hebat dalam penelitian, studi teknik dan penelitian
hukum. Teori-teori hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori filsafat dan
politik umum.
Sedangkan teori-teori hukum modern
dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri. Perbedaannya
terletak dalam metode dan penekanannya. Teori hukum para ahli hukum modern
seperti teori hukum para filosof ajaran skolastik, didasarkan atas keyakinan
tertinggi yang ilhamnya datang dari luar bidang hukum itu sendiri.
Sampai saat ini ada empat teori hukum yang terkenal, empat teori hukum
tersebut yaitu:
1. TEORI-TEORI YUNANI DAN ROMAWI (KLASIK)
a. Sebelum abad ke-6 SM
1. TEORI-TEORI YUNANI DAN ROMAWI (KLASIK)
a. Sebelum abad ke-6 SM
Pada masa itu, manusia harus bertahan
hidup dari ganasnya alam. Teori ini adalah mengenai hukum sebagai kekuatan,
benar-benar merupakan strategi ‘bertahan hidup’ dari manusia zaman itu yang
memilih adaptasi terhadap alam. Sesuai tingkat peradaban masa itu, maka alam
dijadikan sebagai titik-tolak analisis. Pada masa ini terjadi suatu yang
dinamakan seleksi alam. Siapa yang kuat dan cerdik, ia selamat. Dan siapa yang
mampu selamat, dia berkesempatan menjadi sumber hukum.[2]
b. Setelah abad ke-6 SM
Masuk abad ke-6 SM yang berlanjut hingga
abad ke-1 SM, teori kekuasaan alam telah “berpindah” ke manusia lewat logos
(akal). Logos merupakan akal dewa-dewi yang mencerahkan dan menuntun manusia pada
pengenalan akan yang ’benar’, ‘baik’, dan ‘patut’. Berkat logos yang
mencerahkan itu, dimungkinkan terciptanya suasana keteraturan (nomos). Nomos
inilah yang menjadi petunjuk hidup di dunia riil. Esensi nomos sebenarnya soal
kepatutan. Kepatutan untuk menjunjung keadilan, menjamin keamanan, serta
mendatangkan kesejahteraan. Karena nomos mengandung moral logos, maka pelanggar
terhadap nomos perlu dihukum karena dianggap melakukan kesombongan.[3]
c. Teori Socrates
Bagi Socrates, sesuai dengan hakikat
manusia, maka hukum merupakan tatanan kebajikan. Tatanan yang mengutamakan
kebajikan dan keadilan bagi umum. Hukum bukanlah aturan yang dibuat untuk
melanggengkan nafsu orang kuat (kontra filsuf Ionia), bukan pula aturan untuk
memenuhi naluri hedonisme diri (kontra kaum Sofis). Hukum sejatinya adalah
tatanan objektif untuk mencapai kebajikan dan keadilan umum.
d. Teori Plato
Dengan mengambil inti ajaran
kebijaksanaan Socrates, Plato sang murid, juga mengaitkan hukum dengan
kebijaksanaan dalam teorinya tentang hukum. Akan tetapi ia tidak menempatkan
kebijaksanaan dalam konteks mutu pribadi individu warga polis. Sebaliknya, ia mengaitkan
kebijaksanaan dengan tipe ideal negara polis di bawah pimpinan kaum aristokrat.
Dasar perbedaan tersebut terletak pada perbedaan asumsi tentang peluang
kesempurnaan pada manusia. Bagi Socrates, secara individual manusia
dimungkinkan mencapai kesempurnaan jiwa secara swasembada. Sedangkan Plato
tidak percaya pada tesis gurunya tersebut. Bagi Plato kesempurnaan individu
hanya mungkin tercipta dalam konteks negara di bawah kendali para guru moral,
para pimpinan yang bijak, para mitra bestari, yakni kaum aristokrat.
e. Teori Aristoteles
Aristoteles mengaitkan teorinya tentang
hukum dengan perasaan sosial-etis yang bukanlah bawaan alamiah ‘manusia
sempurna’ versi Socrates, bukan pula mutu ‘kaum terpilih’ (aristocrat) model
Plato. Perasaan sosial-etis ada dalam konteks individu sebagai warga negara
(polis). Berdiri sendiri lepas dari polis, seorang individu tidak saja bakal
menuai ‘bencana’, tetapi juga akan cenderung liar dan tak terkendai. Oleh sebab
itu, hukum seperti halnya polis, merupakan wacana yang diperlukan untuk
mengarahkan manusia pada nilai-nilai moral yang rasional. Inti manusia moral
yang rasional menurut Aristoteles adalah memandang kebenaran (theoria,
kontemplasi) sebagai keutamaan hidup (summum bonum). Dalam rangka ini, manusia
dipandu dua pemandu, yakni akal dan moral. Akal (rasio, nalar) memandu pada
pengenalan hal yang benar dan yang salah secara nalar murni, serta serentak
memastikan mana barang-barang materi yang dianggap baik bagi hidupnya.
f. Teori Epicurus
Epicurus membangun teorinya tentang
hukum melalui konteks etika epicurunisme di mana tujuan kehidupan adalah
kebahagiaan yang hanya mungkin tercipta jika tiada penderitaan jiwa-raga.
Segala sesuatu yang dapat menyusahkan jiwa raga harus dihindari begitu juga
kesenangan sensual dan indrawi yang mengakibatkan sakit raga dan penderitaan
jiwa pun harus dijauhi. Gagasan utamanya adalah gagasan atomistik
(individu-individu yang terpisah), yang muncul di tengah peperangan dan
pergolakan politik yang melanda polis polis. Hukum diperlukan untuk mengatur
kepentingan-kepentingan individu secara damai demi terjaganya keamanan raga dan
kedamaian jiwa. Oleh karena itu, tugas hukum adalah sebagai instrument
ketertiban dan keamanan bagi individu-individu yang sama-sama merindukan hidup
tenang dan tentram.
2. TEORI HUKUM ALAM
Teori hukum alam telah ada sejak zaman
dahulu yang antara lain diajarkan oleh Aristoteles, yang mengajarkan bahwa ada
dua macam hukum, yaitu:[5]
a. Hukum yang berlaku kerena penetapan kekuasaan Negara.
b. Hukum yang tidak tergantung dari
pandangan manusia mana yang baik buruknya hukum yang “Asli”. Menurut
Aristoteles, pendapat orang tentang “Keaslian” adalah tidak sama, sehingga
seakan-akan tidak ada hukum alam yang “Asli”. Teori ini kemudian dinamakan
Teori Hukum Alam. Hukum Alam itu adalah “hukum yang oleh orang-orang berfikir
sehat dirasakan sebagai selaras dengan kodrat alam”.
Thomas Van Aquino (1225-1274)
berpendapat, bahwa segala kejadian di alam dunia ini diperintah dan dikemudikan
oleh suatu “ Undang-Undang Abadi” (lex eterna) yang menjadi dasar kekuasaan
dari semua peraturan-peraturan lainnya.
Lex Eterna ini adalah kehendak dan
pikiran tuhan yang menciptakan dunia ini. Manusia dikaruniai tuhan dengan
kemampuan berpikir dan kecakapan untuk dapat membedakan baik dan buruk serta
mengenal berbagai peraturan-perundangan yang langsung berasal dari
“Undang-undang Abadi” itu dan yang oleh Thomas Van Aquino dinamakan “Hukum
Alam” (Lex Naturalis).[6]
Hukum Alam tersebut hanyalah memuat asas-asas umum seperti misalnya:
·
Berbuat baik dan jauhi perbuatan
jahat.
·
Bertindaklah menurut pikiran yang
sehat.
·
Cintailah sesamamu seperti engkau
mencintai dirimu sendiri.
Menurut Thomas Van Aquino, asas-asas
pokok tersebut mempunyai kekuatan yang mutlak, tidak mengenal pengecualian,
berlaku di mana-mana dan tetap tidak berubah sepanjang zaman.
3. POSITIVISME DAN UTILITARIANISME
Selama abad XIX manusia semakin sadar
akan kemampuannya untuk mengubah keadaan dalam segala bidang. Dalam abad ini
pula muncul gerakan positivisme dalam ilmu hukum.
Oleh H.L.A Hart (lahir tahun 1907),
seorang pengikut positivisme diajukan berbagai arti dari positivisme sebagai
berikut:[7]
Ø
Hukum adalah perintah.
Ø
Analisis terhadap konsep-konsep hukum
adalah usaha yang berharga untuk dilakukan. Analisis yang demikian ini berbeda
dari studi sosiologis dan historis serta berlainan pula dari suatu penilaian
kritis.
Ø
Keputusan-keputusan dapat dideduksikan
secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada terlebih dahulu, tanpa
perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas.
Ø
Penghukuman (judgement) secara moral
tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian
atau pengujian.
Ø
Hukum sebagaimana diundangkan,
ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya
diciptakan, yang diinginkan. Inilah yang sekarang sering kita terima sebagai
pemberian arti terhadap positivisme ini.
John Austin (1790-1859), menyatakan
bahwa hukum adalah sejumlah perintah yang keluar dari seorang yang berkuasa
didalam negara secara memaksakan, dan biasanya ditaati. John Austin mengartikan
ilmu hukum sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya
sendiri. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat didalam
suatu negara.[8]
Jeremy Bentham (1748-1832) adalah
seorang penganut utilitarian yang menggunakan pendekatan tersebut kedalam
kawasan hukum. Pendapatnya adalah bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara
sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan
menekan serendah-rendahnya penderitaan. Tujuan akhir dari perundang-undangan
adalah untuk melayani kebahagiaan paling besar dari sejumlah terbesar rakyat.[9]
4. TEORI HUKUM MURNI
Menurut Hans Kelsen (1881-1973), hukum
murni tidak mengenal kompromi, yaitu yang bebas dari naluri, kekerasan,
keinginan-keinginan dan sebagainya.
Teori hukum murni juga tidak boleh
dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang
etika. Dasar-dasar pokok teori Hans Kelsen adalah sebagai berikut :
Ø
Tujuan teori tentang hukum adalah untuk
mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity).
Ø
Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak,
keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum
yang seharusnya ada.
Ø
Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu
alam.
Ø
Sebagai suatu teori tentang norma-norma,
teori hukum tidak berurusan dengan persoalan efektifitas norma-norma
hukum.
Ø
Suatu teori tentang hukum adalah formal,
suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan
atau pola yang spesifik.
Ø
Hubungan antara teori hukum dengan suatu
sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan
hukum yang ada.
Salah satu ciri yang menonjol pada teori
hukum murni adalah adanya suatu paksaan. Setiap hukum harus mempunyai alat atau
perlengkapan untuk memaksa. Bagian lain dari teori Hans Kelsen yang bersifat
dasar adalah konsepsinya mengenai Grundnorm, yaitu suatu dalil yang akbar yang
tidak dapat ditiadakan yang menjadi tujuan dari semua jalan hukum. Grundnorm
merupakan induk untuk melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan
sistem tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar